Bangkitnya Nirwasita

Wening yang awalnya hanya berdiri terpaku, kini mulai bergerak mundur dengan perlahan. Makin lama, makhluk-makhluk mengerikan itu semakin banyak bermunculan dan seakan hendak memenuhi pekarangan rumahnya.

Seluruh makhluk menakutkan tersebut mematung dengan tatapan kosong ke arah Wening. Anehnya, gadis itu seakan sudah tak merasa takut lagi. Ini bukanlah kali pertama dirinya melihat makhluk-makhluk seperti mereka. “Apakah Kalajanggi yang mengirim kalian untuk melakukan teror terhadapku?” Suara Wening terdengar sedikit bergetar.

Wening terus bergerak mundur, karena jumlah makhluk yang tiba-tiba muncul tadi kini semakin banyak. Sementara, di sisi lain bau anyir darah menguar dari tubuh makhluk-makhluk yang mulai memenuhi hampir sebagian besar pekarangan. Bau anyir itu langsung menyeruak ke dalam hidung Wening, membuatnya merasa tidak nyaman. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak muntah, karena perutnya kini mulai terasa begitu mual.

Gadis berambut panjang itu kemudian menutupi mulut dengan telapak tangan. Dia sudah mencoba untuk bertahan, tapi ternyata dirinya tak mampu. Dalam hitungan detik saja, Wening langsung membungkukkan badan ke depan dan memuntahkan sesuatu. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan sekaligus menjijikan. Dalam posisi masih membungkuk, gadis dengan bola mata berwarna hitam pekat itu seketika terbelalak.

Wening merasa begitu terkejut. Tepat di dekat kakinya, berkerumun puluhan bahkan mungkin ratusan belatung yang baru saja dia keluarkan dari dalam mulut. Melihat hal itu, rasa mual kembali menyerang gadis cantik tersebut. Wening pun lagi-lagi memuntahkan belatung dalam jumlah yang jauh lebih banyak.

Lelah, gadis itu terengah-engah. Sedangkan makhluk-makhluk tadi masih terus memperhatikannya. Entah mereka benar-benar tengah melihat Wening atau hanya sekadar berdiri di sekeliling gadis tersebut sebagai patung.

Beberapa saat kemudian, angin tiba-tiba bertiup cukup kencang. Wening dengan mulut yang masih agak basah, segera menegakkan kembali tubuhnya. Dia menatap sekeliing halaman yang dipenuhi makhluk-makhluk tak kasat mata berbaju putih.

Sorot mata Wening begitu tajam dan menyala. Dia seakan hendak membakar mereka semua, sementara angin bertiup dengan jauh lebih kencang sehingga membuat rambut panjang gadis itu meriap-riap. Cahaya putih pun kembali muncul dari seluruh tubuh Wening, membuat rambut dan matanya berubah warna menjadi putih sempurna.

Gadis itu kemudian merentangkan tangan ke samping dengan lurus. Sekumpulan cahaya berwarna putih membentuk sebuah bola di atas telapaknya. Tak berselang lama, seluruh makhluk yang memenuhi pekarangan rumah pun serempak merunduk dan seperti bersujud kepadanya.

“Akulah Nirwasita, orang yang akan membebaskan kalian semua dari cengkeraman iblis Kalajanggi,” ucap Wening. Suaranya terdengar lembut tetapi begitu menggema. “Kembalilah, dan nantikan kebangkitanku,” ucapnya lagi.

Wening memejamkan kedua matanya. Sedangkan makhluk-makhluk aneh tadi tiba-tiba masuk ke dalam tanah dengan begitu saja. Mereka terserap seperti air dan tak meninggalkan jejak sedikit pun. Permukaan tanah yang tadi dipenuhi oleh makhluk-makhluk itu tampak normal, tak terlihat ada sesuatu yang janggal.

Perlahan, cahaya yang menyelimuti seluruh tubuh Wening semakin memudar. Suasana malam yang sempat terang benderang itu, kini kembali gelap gulita dan hanya berhiaskan lampu yang terangnya pun tidaklah seberapa. Tubuh Wening ambruk di atas tanah. Gadis itu kembali tak sadarkan diri.

“Nak. Sabar, ya.” Antara sadar dan tidak, sayup-sayup Wening menangkap suara ibunya, wanita yang teramat dia rindukan selama ini. “Jalani takdirmu. Hadapi semuanya dengan tabah. Biarkan kekuatanmu muncul, Nak. Jangan lagi kau tahan.” Suara wanita itu terdengar sangat lembut, khas seorang ibu

yang menasihati anaknya.

“Ibu?” Meskipun berat, Wening tetap memaksakan kelopak matanya untuk terbuka. Samar dia melihat bayangan wajah sang ibu yang menatap sendu.

“Maafkan Ibu yang tidak dapat mendampingi di saat terberat seperti inu. Akan tetapi, yakinlah selalu bahwa Ibu selalu menyertaimu, Nak,” pungkas sang ibu. Bayangannya hilang, berganti dengan sosok pria tampan yang

memiliki garis wajah mirip Wening.

“Ayah? Ayah, tolong ....” Lirih suara Wening. Tangannya lemah berusaha untukmenggapai sosok itu. Namun, pria yang merupakan wujud dari ayah Wening tersebut hanyalah berdiri menatapnya.

“Cari tahu siapa yang telah membangkitkan iblis Kalajanggi. Jika kau telah mengetahuinya, maka segera kau hentikan dia, Nirwasita. Hentikan dirinya sebelum purnama tiba,” titah sosok yang Wening panggil sebagai ayah tersebut.

“Aku lelah. Aku sudah sangat lelah,” gumam Wening. “Aku ingin beristirahat.” Air matanya mulai membasahi pipi.

“Tidak, Anakku. Jangan dulu, Nak. Bertahanlah. Kau dulu sudah pernah berhasil mengalahkan Kalajanggi. Kau berhasil membuatnya tertidur selama ratusan tahun. Ayah yakin, kali ini kau pun akan berhasil,” tutur sang ayah yang terus menyemangati.

“Aku tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Ayah, tolong aku. Tolong aku,” balas Wening. Suaranya semakin kecil dan melemah. Akan tetapi, kini matanya sudah bisa terbuka lebar. Dia bisa melihat dengan jelas orang-orang yang ada di hadapannya dan menatap dengan sorot khawatir.

Namun, orang-orang itu bukanlah orang tua yang sempat mengajaknya berbicara beberapa saat lalu, melainkan para tetangga yang terlihat cemas. “Neng. Sadar, Neng.” Seorang wanita menepuk-nepuk pipi Wening, sementara seorang lainnya sibuk mengoleskan minyak kayu putih ke dekat hidung.

“Dibawa masuk saja,” saran seorang tetangga pria.

Wening segera terduduk dan menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian. Para tetangga berkerumun mengelilingi dia dengan tatapan heran bercampur khawatir. “Bu Elis, Teh Imas, Pak Jaka?” Wening mulai menyebutkan nama tetangga yang paling dekat dengan rumahnya satu per satu. “Saya kenapa ada di sini?” tanyanya sambil memegangi kepala yang mulai

berdenyut nyeri.

“Ibu tadi hendak ke pasar, terus melihat Neng Wening pingsan di depan rumah. Jadi, Ibu panggil pak Jaka saja untuk membantu,” jelas wanita bernama Elis. Seorang ibu-ibu dengan rentan usia antara empat sampai lima puluh tahun.

“Ke pasar?” Wening tersadar bahwa matahari sudah menyingsing. “Ini sudah pagi?”

“Sekarang sudah jam enam pagi. Memangnya Neng Wening tidak berangkat kerja?” Tetangganya balik bertanya.

“Saya ....” Belum sempat Wening menyelesaikan kalimatnya, berhentilah sebuah mobil mewah tepat di depan halaman rumah. Tak lama kemudian, Gandhi keluar dari kendaraan dan berdiri di balik pagar.

Sontak semua mata memandang ke arah pria tampan itu. Tanpa mempedulikan arah mata para tetangga yang terus memperhatikan dirinya, Wening bangkit dan berjalan mendekati Gandhi.

“Bapak? Ada apa bapak kemari pagi-pagi?” Wening mengernyitkan kening keheranan.

“Maaf, jika saya tak sopan datang ke sini di waktu yang tidak tepat. Akan tetapi, saya benar-benar minta tolong. Saya sangat mengharapkan Suster untuk ikut bersama saya. Ini tentang Raline,” terang pria itu.

“Ada apa dengan Raline?” tanya Wening sembari membuka pintu pagar rumah dan semakin mendekat kepada Gandhi.

“Sejak tadi malam, Raline tidak sadarkan diri. Saya sudah membawanya ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa seluruh kondisi vitalnya normal. Akan tetapi, Raline tetap tak mau membuka mata,” keluh Gandhi seraya mengusap kening. Jemarinya terlihat gemetar. Dia sepertinya tengah dilanda rasa gelisah.

“Apa Raline koma?” terka Wening seraya menautkan alisnya.

“Tidak. Apa yang dia alami bukanlah koma. Manurut hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh tim medis, aktivitas otak Raline seperti orang yang berada dalam kondisi tidur. Akan tetapi, anehnya dia tidak bisa dibangunkan sama sekali,” jawab Gandhi kembali menjelaskan. Raut pria itu menyiratkan rasa khawatir bercampur heran.

Wening tiba-tiba terhenyak. Sepasang matanya tampak berkilat. Dia menatap Gandhi dengan pandangan tajam, membuat duda tampan tersebut menjadi salah tingkah. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan ikut denganmu. Tunggulah di sini sebentar. Aku akan bersiap-siap,” pesan Wening masih dengan tatapan aneh yang dia layangkan kepada Gandhi.

Duda satu anak itu pun terlihat cukup heran dengan perbedaan yang Wening tunjukkan dengan tiba-tiba. Nada bicara gadis itu terdengar sangat berbeda dari Wening yang biasanya. Suara gadis tersebut begitu datar sekaligus lembut dalam waktu bersamaan. Sesuatu yang terasa begitu melenakan pendengaran seorang Gandhi Wiratama.

Terpopuler

Comments

buk seh

buk seh

semangat wening!! mari ku bsntu dg doa

2022-07-14

0

VR Sandita

VR Sandita

horee Nirwasita bangkit.🎉🎉

2022-06-16

1

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

lanjut makin seru dan bikin penasaran 😁😁

2022-06-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!