Pesona Gandhi Wiratama

Raline tersenyum aneh saat menanggapi ucapan Wening tentang sang pemilik rumah. Gadis itu kembali mengarahkan pandangannya pada jendela kaca yang terbuka. Semilir angin pagi mulai menerobos masuk dan menggerakkan tirai yang terpasang di sana, membuatnya menari. Hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Raline yang setiap hari hanya dia habiskan di dalam kamar.

"Kakak tahu? Ibu tiada saat usiaku masih kecil. Menurut cerita ayah, setelah mereka menikah, ibuku menjadi sering sakit-sakitan. Tubuhnya begitu lemah dan seakan tak memiliki kekuatan lagi untuk melanjutkan hidup. Apa yang ayah katakan ternyata memang menjadi kenyataan. Ibu akhirnya meninggal dunia." Raline mulai bercerita tentang sang ibu yang telah tiada.

"Lalu, ketika aku menginjak umur tujuh tahun. Aku didiagnosa mengalami berbagai penyakit yang entah datang dari mana. Aku ataupun ayah tak ingin berprasangka buruk. Namun, terkadang aku berpikir apakah itu penyakit turunan, atau memang sebuah kiriman," tutur Raline lagi pelan dan datar. Pandangannya masih tertuju ke luar jendela.

"Kiriman? Siapa yang tega melakukan hal seperti itu padamu?" tanya Wening ragu. "Di zaman modern seperti ini, apakah hal seperti itu masih ada?"

"Ada banyak hal yang tak dapat kita tangkap dengan kelima panca indera secara langsung. Kakak tahu? Aku sudah bertemu dengan Paundra sejak lama. Namun, dia tak pernah berbicara padaku. Paundra hanya menatapku dari depan paviliun. Sorot matanya begitu aneh dan sangat misterius. Selain itu, terkadang aku melihat bayangan lain di balik tubuhnya," terang gadis belia itu lagi, membuat Wening merasa semakin tak bisa memahami semuanya.

"Apakah kau bercerita pula pada perawat-perawat sebelum aku?" tanya Wening dengan alis yang hampir bertaut.

Raline segera menggeleng saat menanggapi pertanyaan tersebut. Dia lalu mengalihkan pandangannya kepada Wening. Sorot mata gadis itu terlihat begitu sendu.

"Aku tak merasa memiliki ikatan batin dengan mereka, karena itu aku tidak berbicara tentang apapun. Mereka tak pernah mengetahui semua hal yang terjadi padaku," terang Raline.

"Aku memang kerap memimpikanmu. Karena itulah aku merasa sudah mengenalmu dengan cukup lama. Akan tetapi, kau selalu terlihat menyedihkan dalam mimpiku. Jika memang bisa, maka aku pasti akan melakukannya dengan segenap kemampuan," ucap Wening yakin. "Bisakah kau memberitahu sedikit saja tentang Paundra?" pintanya kemudian. Dia terdengar begitu berharap.

Raline tak segera menjawab. Gadis itu tertunduk sejenak, kemudian kembali mengangkat wajahnya. Sebelum menjawab pertanyaan dari Wening, Raline sempat mengedarkan pendangan pada setiap sudut kamar. Tatapan nanar gadis berambut panjang tersebut, kemudian terkunci pada sudut ruangan di dekat sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi.

"Saat itu usiaku sekitar sepuluh tahun, ketika untuk pertama kali aku melihat seorang pria berdiri di sana." Raline menunjuk pada tempat yang masih menjadi pusat perhatiannya.

"Pada awalnya aku menganggap jika itu hanya halusinasi, terlebih karena ayah mengatakan jika anak seusiaku memang terbiasa berimajinasi dengan hal-hal yang dianggap aneh oleh kebanyakan orang dewasa. Akan tetapi, lama-kelamaan aku merasa takut." Raline mengalihkan tatapannya kepada Wening yang masih menyimak penuturan gadis itu dengan saksama.

"Apa yang membuatmu takut, Raline?" tanya Wening semakin tertarik dengan cerita dari gadis belia tersebut.

"Pria itu terus saja melihat ke arahku. Tatapannya tak seperti manusia biasa. Terasa begitu janggal. Aku bahkan kerap bersembunyi di balik selimut, tapi dia tetap menatap dengan tajam padaku. Hal itu terus berlangsung, hingga akhirnya dia menghilang dengan begitu saja. Akan tetapi, selang beberapa hari, aku kembali melihat pria itu di dekat paviliun. Belakangan aku tahu jika namanya adalah Paundra. Entah apa yang dia inginkan, tapi dirinya selalu mengawasiku." Nada bicara Raline semakin terdengar pelan.

"Paundra tak pernah berbicara sedikit pun padamu?" Wening merasa semakin penasaran.

"Tidak, Kak. Aku rasa dia merasa takut dengan seseorang," jawab Raline yang kembali memunculkan rasa penasaran di benak Wening. "Pemilik rumah ini," lanjut gadis itu lagi. Namun, sebelum Wening sempat bertanya kembali, Raline memutuskan untuk merebahkan tubuhnya. "Aku ingin istirahat dulu. Bangunkan nanti jika sudah waktunya minum obat," pungkas gadis itu seraya memejamkan mata.

Mau tak mau, Wening harus mengakhiri perbincangan mereka. Dia berdiri dan membetulkan selimut yang menutupi tubuh gadis belia itu. "Beristirahatlah, Raline. Aku akan keluar sebentar untuk menemui ayahmu." Seusai bicara demikian, Wening beranjak dari dalam kamar, kemudian menuju ke ruang kerja Gandhi Wiratama.

Suasana di dalam rumah megah itu memang terasa begitu mencekam. Aura seram terlukis dengan begitu jelas, pada setiap dinding penyekat antara ruangan yang satu dengan yang lainnya. Sambil berjalan menyusuri lorong temaram, Wening terus mengedarkan pandangan. Gadis dua puluh lima tahun tersebut berusaha untuk menangkap setiap keganjilan yang hadir dan seakan menyambutnya di sana.

Suara derap hak sepatu yang ditimbulkan oleh langkah Wening di atas lantai berlapis marmer hitam itu, terdengar begitu menggema mengiringi gadis tersebut menuju ruang kerja Gandhi Wiratama. Sesampainya di depan pintu ruangan yang dia tuju, Wening terdiam untuk sejenak. Gadis itu berdiri mematung, kemudian menoleh ke belakang. Pandangannya menyapu seluruh ruangan dengan suasana temaram, seperti di dalam sebuah gua berhiaskan obor kecil. Wening merasa jika ada seseorang yang tengah mengawasinya saat itu, tapi entah di mana dan juga siapa.

Wening mencoba untuk bersikap tak peduli. Segera diketuknya pintu ruang kerja tersebut. Terdengar suara berat Gandhi dari dalam yang mempersilakannya untuk masuk. Wening pun memutar pegangan pintu hingga terbuka. Setelah itu, dia kembali melangkah dan masuk, lalu berdiri di dekat meja kerja Gandhi yang tengah sibuk dengan komputer. "Apakah Anda sedang sibuk, Pak?" tanya Wening datar.

Gandhi segera menghentikan pekerjaannya. Perhatian duda satu anak itu kini tertuju pada gadis muda cantik berseragam perawat di hadapannya. "Tidak apa-apa, hanya urusan kantor. Saya tidak bisa meninggalkan Raline di rumah sendirian, karena itu saya harus memantau semua bisnis dari rumah," jelas pria empat puluh tahun tersebut tanpa diminta. "Bisakah saudari menunggu sebentar lagi? Silakan duduk dulu," lanjutnya sambil menunjuk pada sofa di bagian lain ruangan itu.

Wening mengangguk pelan. Sejujurnya dia merasa bingung harus berkata apa. "Um, tak apa-apa. Saya berdiri saja," sahut gadis itu sopan sambil terus mendekap buku catatan dengan tangan kanannya. Tiba-tiba, dia teringat pada ucapan Raline. Tanpa sadar, Wening memperhatikan pria yang masih sibuk di depan layar komputer itu dengan begitu lekat. Sekelebat bayangan tentang seorang pria yang tengah bergumul di balik kelambu, hadir dalam benaknya meskipun begitu samar. Wening tak tahu kenapa bayangan seperti itu bisa masuk ke dalam memorinya.

Segera ditepis penglihatan nakal itu dari dalam ingatan. Wening kembali menatap pria di hadapannya. Gandhi memang tampak begitu memesona. Pria itu masih terlihat awet muda dengan perawakan yang tegap dan sangat gagah. Dia memiliki tinggi di atas rata-rata pria Indonesia. Wajahnya pun sangat maskulin berhiaskan janggut tipis dan rapi yang menghiasinya. Begitu juga dengan tatanan rambut pria itu yang membuat dia terlihat semakin parlente. Siapa yang akan menyangka bahwa Gandhi adalah seorang duda dengan putri yang sudah beranjak remaja.

Makin lama, Wening semakin menikmati pemandangan indah di depannya. Selama ini, dia tak pernah mengagumi seorang pria secara berlebihan. Namun, sekarang sungguh berbeda. Lagi-lagi, Wening teringat pada ucapan Raline yang mengatakan bahwa tidak ada perempuan yang tak terpikat oleh pesona ayahnya. Kini, Wening membuktikan hal itu pada diri sendiri.

“Jadi, bagaimana?” Suara berat Gandhi tiba-tiba mengejutkan Wening, dan membuat semua lamunan gadis itu buyar seketika.

“Ah eh iya, Tuan. Ehm maksud saya, Pak.” Entah kenapa Wening jadi tergagap. Dia terlihat salah tingkah di hadapan duda satu anak tadi. Karakternya yang tenang dan dingin, seakan menguap begitu saja. Wening kini merasa begitu normal seperti wanita pada umumnya, di mana dia merasakan sesuatu yang membuat dirinya tersipu malu.

“Saya kurang nyaman jika harus bercakap-cakap dengan cara seperti ini. Silakan duduklah dulu, Suster Wening.” Tangan Gandhi terulur dan mengarah pada kursi yang terletak tepat di depan meja.

Wening merasa sangat bodoh saat itu. Dia menertawakan diri sendiri di dalam hati. Bagaimana bisa dia merasa grogi, terhadap pria dengan usia terpaut cukup jauh darinya.

Sambil memegang buku catatan dan tas berisi perlengkapan medis, Wening maju dan bermaksud duduk di kursi yang telah ditunjukkan oleh Gandhi. Namun, tatapan mata Wening spontan berhenti pada lukisan besar di belakang pria itu, sehingga dia kembali terpaku dan dengan tatapan menerawang.

Terpopuler

Comments

Maliqa Effendy

Maliqa Effendy

memang bodoh..bisa sampai traveling yg macem2.. Manusiawi..wanita klo udah lihat pria berkharisma secuek apapun pasti luluh

2022-09-07

2

Rania puspa

Rania puspa

terlalu misterius & penuh teka teki

2022-07-17

0

wening

wening

aku baca nya sambil tahan nafas🤣

2022-07-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!