Tabir yang Terkuak

"Ada apa, Suster? Tenangkan dirimu." Gandhi berusaha untuk menahan Wening yang terus berontak dan mencoba melepaskan diri

Dalam pandangan Wening, saat itu dia tengah berusaha untuk menghindar dari Paundra yang terus memburunya.

Wening tak melihat Gandhi atau ornamen lain di sana, selain tanah lapang berumput liar dan pria yang berusaha untuk menghabisinya. Ia berusaha untuk melepaskan diri, ketika Paundra berhasil meraih tubuh dan mencengkeram lehernya. Sekuat tenaga, Wening mendorong pria itu hingga melepaskan diri.

“Pa-Paundra?” Wening terus bergerak mundur. Dia begitu ketakutan saat pria tersebut kembali mengejar dan berjarak semakin dekat dengannya. Satu hal yang membuat Wening merinding, ialah sorot mata Paundra yang terlihat begitu kosong. Karenanya, yang harus Wening lakukan saat itu adalah berlari sekuat tenaga.

Kaki jenjang yang dibalut celana putih khas seragam perawat itu bergerak cepat, melintasi lapangan berumput menuju rumah utama. Bentuk bangunan tersebut, tak berubah sama sekali sejak terakhir kali Wening melihatnya.

Dengan terburu-buru, dia membuka pintu kaca yang langsung menuju ke dapur. “Pak Gandhi? Pak!” seru Wening setengah putus asa. Sementara Paundra masih terus mengikutinya dari belakang.

“Pak Gandhi! Raline!” seru Wening lagi dengan nyaring. Akan tetapi, sekeras apapun dia berseru, semuanya terasa sia-sia. Di rumah itu seakan tak ada siapa pun selain dirinya. Wening mulai mengingat-ingat denah rumah. Dia sangat yakin bahwa setelah lorong temaram tempatnya berada saat itu, dirinya harus berbelok ke kiri untuk sampai di ruang kerja Gandhi.

Perkiraan gadis itu memang tepat. Tampaklah pintu kayu dengan ukiran yang khas, sebagai penanda jalan masuk ke dalam ruangan yang beberapa saat lalu dia masuki. Tanpa membuang waktu, Wening membuka pintu tersebut lalu menutupnya kembali. Dia juga menyelot dan mengunci pintu itu dengan tergesa-gesa. Napasnya pun terengah-engah tak beraturan.

Wening kemudian membalikkan badan. Dia mengedarkan pandangan pada setiap sudut tempat itu. Detail ruangan tersebut masih sama persis dengan yang terakhir kali dirinya lihat. Namun, tak ada apapun di sana. Tidak ada perabot atau hiasan lainnya. Begitu juga dengan lukisan berukuran besar yang berisikan wajah Raline dan Gandhi. Benda itu juga tak terlihat lagi menempel di salah satu dinding ruang kerja tersebut. Sedangkan yang ada di sana hanya sebuah perapian di hadapannya.

Bulu kuduk Wening seketika merinding, kala dia melihat sebuah bayangan hitam yang keluar dari perapian. Bayangan itu makin lama semakin membesar, kemudian bergerak seperti pusaran angin yang mengelilingi. Wening berteriak nyaring saat zat itu berusaha menutupi penglihatannya.Tanpa dia sadari, ada seberkas sinar yang menyala terang benderang dari dalam diri. Tubuh semampai Wening mengeluarkan cahaya putih dari tiap pori-pori kulit dan menembus kabut hitam pekat itu hingga bayangan tadi hilang tak tersisa.

Jantung Wening berdebar dengan kencang. Sementara napasnya semakin terengah-engah. Entah kengerian macam apa yang tengah dia alami saat itu. Wening berharap agar hal tersebut hanya sekadar mimpi belaka. Di tak merasa yakin, apakah itu merupakan kenyataan aneh yang harus dirinya hadapi. Gadis itu meraba tubuh sendiri. Dia sama sekali tak habis pikir, dari mana cahaya putih itu berasal. Di saat rasa penasaran mulai menguasainya, sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil nama gadis itu.

“Seharusnya kau tak masuk kemari.” Suara itu kini terdengar tepat di belakang tubuh Wening. Spontan dia membalikkan badan. Tampaklah sesosok gadis kecil berdiri dengan tenang. Wajah gadis kecil tadi mirip dengan seseorang. Cukup lama Wening mengingat-ingat, hingga akhirnya dia sadar bahwa wajah anak itu mirip dengan Gandhi.

"Siapa kau?" tanya Wening sambil bergerak mundur dengan perlahan. Dalam situasi aneh seperti yang tengah dia alami saat itu, Wening tak bisa memercayai siapa pun juga.

“Aku adalah kakaknya,” jawab sosok gadis kecil misterius itu.

“Kakak? Kakak siapa?” tanya Wening tak mengerti.

“Kakak dari Gandhi,” jawab gadis kecil tadi dengan lirih.

“Pak Gandhi ... memiliki kakak?” tanya Wening lagi merasa kurang yakin dengan apa yang dia dengar.

Gadis kecil itu tersenyum dingin. Wajahnya begitu putih, seakan dirinya tak memiliki darah sedikit pun. Sementara kelopak mata bagian bawah bocah tersebut berwarna kemerahan, disertai dengan bibir yang terlihat membiru dan begitu pucat.

“Kami merupakan tiga bersaudara. Aku dan adik bungsuku sama-sama perempuan. Gandhi satu-satunya saudara laki-laki di keluarga kami,” jelas gadis kecil tadi pelan dan datar.

“Kenapa saya baru melihatmu sekarang di rumah ini?” tanya Wening curiga.

“Sang pemilik rumah tak menyukai anak perempuan. Oleh karena itu, dia membunuhku dan juga adik bungsu kami,” tutur gadis kecil itu lagi dengan tanpa ekspresi.

Seketika, nyali Wening makin menciut saat mendengar penuturannya. Dia kembali mundur beberapa langkah, agar semakin menjauh dari gadis kecil tadi, terlebih saat dia menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah sosok manusia normal.

“Jangan takut. Aku hanya datang untuk memperingatkanmu saja. Berhati-hatilah dengan pemilik rumah,” pesannya masih dengan ekspresi yang sama.

“Lalu, siapa Paundra yang sebenarnya?” tanya Wening lagi.

“Paundra?” Gadis kecil itu mengernyitkan kening. Belum sempat dia menjawab, terdengar seseorang menggedor pintu.

“Sus? Suster Wening? Suster!” seru suara di balik pintu yang terdengar begitu nyaring, seperti sebuah teriakkan dan tepat berada di dekat telinga Wening. Saking nyaringnya suara tersebut, sehingga telinga Wening sampai berdengung. Dia lalu memejamkan mata sekali lagi, sambil menutupi kedua telinga. Wening merasa tak tahan karenanya.

“Suster?” Panggilan itu terdengar lagi. Namun, kini suaranya terdengar jauh lebih lembut. Wening pun memberanikan diri untuk membuka mata. Tampaklah Gandhi dengan sorot keheranan, memandang pada wajahnya yang pucat pasi.

“Pak Gandhi?” desis Wening lirih. Tak berselang lama, tubuhnya terasa lunglai. Dia bahkan hampir jatuh ke lantai. Entah apa yang baru saja dirinya alami, yang jelas kejadian itu telah begitu menguras energi.

Sigap, Gandhi menahan tubuh ramping Wening agar tak jatuh. Segera dibopongnya gadis itu, lalu dia baringkan di atas sofa. Gandhi kemudian memperhatikan Wening yang tengah pingsan dengan lekat. Tatapannya begitu dalam dan penuh arti. Tanpa rasa canggung, dia menggenggam jemari Wening dan menggosok-gosoknya perlahan. Setelah itu, Gandhi beranjak menuju sudut ruangan di mana terdapat kotak P3K. Pria tadi mengambil minyak angin dari sana dan kembali ke dekat sofa. Segala macam cara duda itu lakukan, agar Wening kembali siuman.

Beberapa saat lamanya, Gandhi menunggui gadis itu. Dia tak berani meninggalkannya sendirian. Sesat kemudian, Wening mulai membuka mata. Seketika dia bangkit, kemudian memeluk Gandhi dengan begitu erat.

Terpopuler

Comments

Maliqa Effendy

Maliqa Effendy

Sekedar info..saya punya teman,seumur Wening yg punya indra keenam kata orang..tp dia udah bisa mengendalikan kelebihannya dan udah tau ada yg beda sm dirinya ...itupun saat dia msh remaja,kalau Wening kan udah dewasa mengingat umurnya udah dua lima..aneh aja klo sampe ga menyadarinya..

2022-09-07

2

Rania puspa

Rania puspa

'pemilik rumah' sosok astral yg jahat spertinya 🤔

2022-07-17

0

Titik pujiningdyah

Titik pujiningdyah

hmmm mulai tahu aku

2022-07-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!