Bayangan Ruang Kayu

Wening tak berkedip saat memperhatikan lukisan berbingkai emas itu. Terakhir kali dia melihatnya, tak ada apapun di belakang gambar kepala Raline. Akan tetapi, kini sosok Raline dalam lukisan tersebut dipenuhi oleh warna hitam. “Itu ... gambarnya ....” Tunjuk Wening, membuat Gandhi seketika menoleh ke belakang.

“Ada apa dengan gambarnya?” Gandhi kembali memusatkan perhatian kepada Wening.

“Anda tidak melihatnya?” Gadis itu malah balik bertanya.

“Melihat apa?” Gandhi semakin terheran-heran atas sikap Wening yang dirasa aneh.

“Warna hitam di sekitar lukisan Raline?” Wening kembali mengarahkan telunjuk pada lukisan tadi.

Untuk kesekian kalinya, Gandhi menoleh ke belakang. Kali ini, dia menatap gambar berukuran raksasa itu agak lama. Sesaat kemudian, Gandhi lalu berbalik kepada Wening. “Warna hitam apa yang saudari maksud, Suster Wening? Tidak ada yang apapun di sana selain rambut putri saya, dan rambut saya tentunya,” ujar Gandhi, masih dengan sikap kalem serta tutur kata yang lembut.

“Eh maaf, Pak. Sepertinya saya mulai lelah.” Wening menggaruk keningnya saat menyadari bahwa Gandhi sama sekali tak bisa melihat warna hitam itu.

“Baiklah. Kita sudahi saja pembicaraan aneh ini. Sekarang, tolong jelaskan kepada saya tentang kondisi Raline,” pinta Gandhi.

“Kita duduk di sofa saja supaya saudari tidak teralihkan dengan gambar lukisan di belakang saya,” ajak pria itu.

Wening yang masih berdiri tepat di depan meja kerja, segera mengangguk. Dia berbalik dan berjalan menuju ke sofa yang ditunjuk oleh Gandhi. Demikian pula pria itu yang segera beranjak dari meja kerjanya. Gandhi melangkah gagah menuju sofa tempat Wening berada. Duda satu anak itu pun duduk dengan menyilangkan kaki. Dia terlihat begitu berwibawa. "Jadi bagaimana, Suster Wening?" tanya Gandhi.

“Baik, Pak. Seperti yang Anda lihat. Hari ini tekanan darah dan denyut jantung Raline sangatlah normal. Itu artinya bahwa Raline dapat menjalankan tes darah untuk beberapa hari ke depan,” jelas Wening sembari membuka buku catatan dan jurnal yang diberikan oleh pihak rumah sakit tempat dirinya bekerja. Dia menyodorkan itu kepada ayah dari gadis yang tengah berada dalam perawatannya.

Gandhi segera menerima buku catatan dan jurnal yang diberikan oleh Wening. Pria itu pun mulai membaca dengan teliti. Sesekali, dia mengangguk-angguk sebelum membuka halaman berikutnya. “Syukurlah kalau begitu,” ucap Gandhi seraya mengembalikan buku dan lembaran jurnal tadi kepada Wening.

Sejenak tatapannya beradu dengan mata hitam gadis itu. Seperti terhipnotis, Gandhi tak dapat mengalihkan pandangannya. Dia seakan terisap begitu kuat ke dalam bola mata indah milik Wening. Hal tersebut membuat Wening merasa agak risih.

“Pak? Pak Gandhi?” panggil Wening ketika melihat pria tampan tersebut menatap lekat kepadanya. Setelah panggilan yang ketiga kalinya, barulah Wening dapat menyadarkan pria itu.

“Ah, maafkan saya. Hari ini saya agak sulit berkonsentrasi. Lelah sekali rasanya Terutama di bagian belakang kepala. Entah kenapa, tapi ini terasa begitu berat,” Gandhi memijat tengkuknya sambil melirik pada gadis itu.

Entah apa yang telah mempengaruhi diri Wening saat itu. Mendengar keluhan demikian dari Gandhi, gadis tersebut beranjak dari duduknya. “Jika Anda tak keberatan, biar saya bantu untuk meregangkan otot-otot leher Anda yang tegang dan kaku,” tawar Wening.

Sementara Gandhi pun tak kuasa menolak tawaran tersebut. Dia tidak menjawab, tapi bahasa tubuhnya seakan memberi izin kepada Wening untuk melakukan apa yang gadis itu tawarkan.

Wening pun melangkah ke belakang sofa tempat Gandhi berada. Seakan ada kekuatan begitu besar yang mempengaruhi keduanya, hingga tak merasakan kecanggungan lagi. Gandhi terdiam ketika tangan halus Wening mulai menyentuh dan memijit tengkuk kepala, leher, serta pundaknya dengan hati-hati. Duda tampan tersebut bahkan sampai memejamkan mata, demi meresapi itu semua. Sudah lama sekali dari semenjak kematian sang istri, dia tak mendapat perlakuan seperti itu.

Sementara Wening pun merasa aneh. Seperti ada sesuatu yang memandunya untuk bergerak, sehingga dia berani melakukan hal demikian kepada Gandhi. “Posisi tidur dan bantal yang kurang benar juga bisa memicu sakit leher seperti ini, Pak,” ucap Wening pelan.

“Ya, Suster benar,” jawab Gandhi yang begitu menikmati pijatan dari Wening. Entah mengapa, Gandhi merasa jika dirinya pernah bahkan tak asing lagi dengan hal seperti yang tengah dia rasakan kali ini. Sentuhan tangan Wening pernah dia dapatkan dulu, tapi tak tahu kapan dan di mana.

“Apakah sudah lebih baik, Pak?” tanya Wening yang baru saja mengakhiri pijatannya pada leher dan pundak Gandhi.

“Ya, terima kasih. Saya tidak menyangka ternyata Suster Wening pintar memijit juga,” puji pria empat puluh tahun tersebut. Dia mengikuti gerak- gerik Wening dengan tatapannya. Saat itu, Wening tengah merapikan jurnal dan beberapa catatan hingga terkumpul menjadi satu.

“Almarhum ibu saya yang mengajarkan. Katanya itu sudah bakat turun-temurun,” jelas Wening setelah selesai dengan yang dia kerjakan barusan. “Pak, apakah Anda tidak terpikirkan untuk memasang kamera CCTV di dalam kamar Raline, sehingga Anda dapat memantau keadaan dia tanpa harus bolak-balik ke kamarnya,” saran Wening pelan.

Sedangkan Gandhi terdiam sejenak memikirkan hal itu. Apa yang Wening katakan memang ada benarnya juga. “Ya, selama ini saya pernah memikirkan hal seperti itu. Akan tetapi, kenyataannya hanya menjadi rencana dan terlupakan, tertumpuk oleh kesibukan saya yang lain,” ujar Gandhi terlihat jauh lebih rileks. Semua rasa canggung di antara mereka berdua kini mulai mencair dan perlahan berubah. “Lagi pula, kamera CCTV tak pernah bisa berfungsi dengan baik di rumah ini,” tuturnya kemudian, membuat Wening menatap dengan heran.

“Semenjak istri saya meninggal, saya mulai memasang kamera pengawas di setiap sudut rumah. Namun, anehnya tak sampai seminggu kamera-kamera itu langsung rusak,” lanjut Gandhi.

“Rusak bagaimana, Pak?” Wening mendengarkan penjelasan pria itu dengan antusias.

“Tak ada gambar yang terekam. Di layar monitor hanya tampak hitam saja,” jawab Gandhi seraya berdiri dan kembali ke mejanya.

“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Bapak tinggal di sini?” tanya Wening hati-hati.

“Saya tinggal di sini dari semenjak lahir. Rumah ini diwariskan turun-temurun. Suster bisa amati dinding ruang kerja saya yang separuhnya terbuat dari kayu.” Gandhi menggerakkan tangan sebagai isyarat agar Wening berjalan mendekat.

“Kayu ini sudah berusia ratusan tahun,” telunjuk Gandhi mengarah ke dinding kayu di sekeliling ruangannya. “Suatu hari saya pernah berniat merenovasi rumah ini, tapi tidak dilanjutkan,” terang Gandhi. Dia menatap mata indah Wening lekat-lekat, membuat gadis itu merasakan sensasi aneh di dalam dirinya.

Tiba-tiba saja, suhu tubuh Wening memanas. Keringat mulai membasahi kening. Tak hanya itu, sekeliling Wening mulai berputar. Awalnya perlahan, tetapi lama- kelamaan bergerak semakin cepat. Gadis itu memegangi kepalanya. Dia takut jika apa yang dirinya alami saat ini hanyalah halusinasi. Untuk beberapa saat, Wening mencoba memejamkan mata, walaupun tubuhnya kini seakan berada di atas kapal yang sedang terombang-ambing.

Pada akhirnya, Wening memberanikan diri untuk membuka mata. Akan tetapi, bukan Gandhi dan ruang kerjanya yang dia lihat kini, melainkan halaman belakang yang seharusnya terdapat paviliun dan kolam renang. Kini, di sana hanya terlihat halaman rumput tanpa bangunan apapun. Tak berapa jauh jaraknya dari Wening, terlihat Paundra diam berdiri di sana sambil memegang kapak. Pria itu lalu berjalan ke arah Wening dengan tatap mata yang kosong. Sementara Wening berdiri terpaku, menatap gelisah kepada Paundra yang semakin mendekat kepadanya.

Perlahan Wening bergerak mundur ketika pria itu mulai mengangkat dan mengayunkan kapak yang dia bawa ke arahnya. Sementara Wening tak sempat untuk menghindar. Dia menjerit histeris dan mencoba melindungi kepala dengan menggunakan lengan kanan. "Tidak! Jangan!" pekik Wening dengan nyaring.

"Suster Wening, ada apa?" seru Gandhi panik. Dia segera menghampiri gadis itu dan meraih tubuh Wening yang menggigil ketakutan. Refleks, pria berbadan tegap tersebut mendekap dengan begitu erat dan berusaha untuk menenangkannya. "Tenanglah, Suster," ucap Gandhi lagi.

Terpopuler

Comments

Ima Diah

Ima Diah

kayak nya Paundra ini mencurigakan.... jadi penasaran tingkat dewa aq...

2022-07-30

1

wening

wening

waduh waduh

2022-07-14

1

Titik pujiningdyah

Titik pujiningdyah

siapa sih paundra ini??? maaak aku kepo

2022-07-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!