Tarian Pembawa Obor

"Ya, aku tahu kau Paundra. Maksudku ...." Wening menatap lekat dan terus memperhatikan pria yang masih terlihat tenang itu.

Paundra menghela napas pelan seraya memasukan tangan kanan ke dalam saku celana panjangnya. "Sudah terlalu malam. Sebaiknya kau segera tidur. Jangan khawatir, Wening. Esok semuanya akan baik-baik saja. Tak ada seorang pun yang akan menyadari kejadian malam ini," terangnya.

"Bagaimana kau bisa begitu yakin?" Wening kembali mengernyitkan kening. "Dengar! Jika mereka tak pernah menyadari semua yang Raline alami, maka bagaimana dengan nasib gadis itu nantinya?" Wening terlihat begitu khawatir.

Sementara Paundra hanya tersenyum kecil melihat kepanikan yang terpancar dari wajah Wening. Dia seperti sengaja bersikap seperti itu. Hal tersebut membuat Wening tampak jauh lebih hidup, jika dibandingkan dengan saat pertama kali Paundra bertemu dengannya. "Salurkanlah emosi dalam dirimu, Wening. Dengan begitu, kekuatan yang selama ini tersembunyi bisa segera kau sadari. Belajarlah untuk mengendalikannya dengan baik," saran Paundra membuat Wening merasa semakin tak mengerti.

"Apa maksudmu? Kekuatan apa? Memangnya seberapa banyak kau mengetahui hal yang bahkan tidak kusadari sama sekali?" desak Wening.

Paundra tertawa renyah. Sikap dan mimik wajah yang dia tunjukan masih sama seperti sebelumnya. Namun, kini pria itu melangkah dan semakin mendekat kepada Wening, hingga pria jangkung tersebut berada tepat di hadapan gadis berkuncir kuda tadi. Tanpa perasaan canggung sama sekali, Paundra menempelkan ujung telunjuk di antara kedua alis Wening. Dia pun memejamkan matanya perlahan.

Makin lama, gadis itu semakin terpejam dengan dalam. Tiba-tiba, dia berada pada sebuah jalanan sepi di antara lautan pepohonan rindang. Wening mengedarkan pandangan pada sisi kiri dan kanan. Gadis itu terus melangkah dan menembus pekatnya malam seorang diri.

Samar-samar dari kejauhan Wening melihat cahaya terang yang cukup banyak dan memanjang ke belakang, layaknya seekor ular dari api. Wening merasa begitu penasaran sedang berada di mana dia saat itu. Gadis cantik tersebut mempercepat langkah, hingga jaraknya pada cahaya tersebut semakin mendekat. Namun, seketika langkahnya terhenti. Wening terpaku ketika dia melihat segerombolan orang yang membawa obor di tangan mereka.

Beberapa dari orang itu yang merupakan perempuan, mengenakan kemben dengan selendang di pinggangnya. Mereka berjalan sambil menggerakan tubuh seperti melakukan sebuah tarian, mengikuti alunan gamelan dengan ritme yang cukup lambat. Sementara, pria-pria yang membawa obor semuanya bertelanjang dada. Namun, satu hal yang membuat Wening merasa aneh dengan bulu kuduk yang mulai meremang, ialah sorot mata dan ekspresi mereka semua yang terlihat begitu dingin dan seakan tak bernyawa.

Perlahan gadis itu bergerak mundur ketika rombongan pembawa obor tersebut semakin mendekat. Akan tetapi, tak ada waktu baginya untuk lari ataupun bersembunyi, meskipun dia terus bergerak mundur. Semakin lama, suara gamelan yang mengiringi tarian para wanita itu terdengar semakin cepat, dan mereka pun bergerak dengan semakin cepat.

Wening terpaku ketika rombongan orang-orang tadi melewatinya begitu saja. Rasanya begitu mengerikan ketika dia berada di antara mereka yang terlihat aneh. Satu hal yang membuat Wening ingin segera menggerakan kakinya dan berlari dari sana, ialah ketika dia melihat empat orang pria bertubuh tambun membawa tandu tanpa atap. Di atas tandu tadi terbaring seorang gadis tanpa busana, dengan tangan dan kaki terikat pada setiap sudut tandu.

Rasa gugup itu kian menjadi, ketika tandu tersebut melintas di dekat Wening. Gadis tersebut memaksakan diri untuk menoleh ke samping. Seketika, matanya bersitatap langsung dengan mata wanita di atas tandu tadi. Wening tersentak. Namun, dia tak mampu bergerak atau mengucapkan sepatah kata pun, terlebih ketika melihat kondisi wanita tersebut yang sepertinya tengah meregang nyawa. Kedua mata wanita tadi terus mendelik ke atas. Dia seperti begitu tersiksa. Sementara darah segar terus mengucur dari lehernya yang tersayat cukup dalam.

Wening yang seorang perawat, tentu sudah terbiasa melihat hal seperti itu. Namun, kali ini rasanya tetap berbeda. Tubuh gadis tersebut bergetar seperti menahan sesuatu yang hendak keluar dari dalam dirinya. Wening kemudian memejamkan mata, ketika rombongan orang-orang aneh tadi telah berlalu hingga cukup jauh. Sesaat kemudian, gadis itu merasakan tubuhnya begitu lemas. Dia pun ambruk dan terduduk di atas jalanan berbatu, yang menjadi tempat dirinya berpijak.

Tubuh Wening seakan tembus pandang. Tak satu pun dari orang-orang itu yang melihatnya. Sementara tenaga semakin terhisap entah oleh apa. Wening merasakan dirinya semakin lemah hingga tak sanggup berdiri.

Sayup-sayup, terdengar seseorang memanggil namanya. Akan tetapi, dia sama sekali tak kuasa membuka kelopak mata. Wening pun tak dapat mengetahui secara pasti, sudah berapa lama dia tergeletak seperti itu.

“Sus. Suster Wening!" Lambat laun, suara yang samar kini terdengar semakin jelas disertai tepukan pelan di pipi. Susah payah dia membuka mata. Pandangannya masih terasa kabur. Butuh beberapa saat sampai semuanya kembali normal. Dengan seketika Wening terduduk, saat dia menyadari bahwa sedari tadi dirinya tengah berbaring di depan kamar Raline.

Wening mendapati Gandhi dengan posisi setengah berjongkok di dekatnya sambil menatap keheranan. “Sedang apa saudari di sini?” tanyanya pelan.

“Ja-jam berapa ini?” Wening malah balik bertanya.

“Pukul setengah lima pagi,” jawab Gandhi. Pria itu mengulurkan tangannya untuk membantu Wening berdiri.

Ragu-ragu, Wening menerima uluran tangan itu, lalu bangkit. Seketika, dia teringat akan gadis remaja yang semalam tengah berjuang melawan sesuatu yang masih misterius. “Raline! Raline, Pak. Ia dalam bahaya! Saya harus segera menyelamatkannya!" racau Wening.

“Saudari ini bicara apa?” Gandhi semakin terheran-heran. Dibukanya pintu kamar putri semata wayangnya itu dan menunjukkan pada Wening bahwa Raline sedang tertidur pulas.

“Jika saudari panik seperti tadi, maka putri saya bisa terbangun. Sementara dia harus banyak istirahat untuk mempercepat proses penyembuhannya,” ucap Gandhi setengah berbisik.

Wening menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan. Segala kekacauan yang terjadi malam tadi, sama sekali tak ada bekasnya. Raline terlihat pulas, seakan tak pernah mengalami apapun. Semua yang Paundra katakan memang benar adanya.

Segera, Wening berinisiatif untuk meraba denyut nadi gadis itu. Dengan teliti dan saksama, dia merasakan bahwa denyut nadi Raline sangatlah normal. Itu artinya gadis remaja tersebut memang tengah tertidur.

“Ta-tapi,” Wening tergagap.

“Sudahlah. Saya tahu saudari lelah. Bi Lastri tadi malam mendapati saudari tidur di sisi ranjang Raline sembari memegangi telapak tangannya. Saya ucapkan banyak terima kasih untuk Suster Wening yang telah menjaga putri saya dengan baik,” tutur Gandhi tulus. Sorot matanya terlihat teduh, sekaligus sendu.

Wening mendengarkan itu semua tanpa berkedip. Bingung dan takut, sekarang berbaur di dadanya. Tak pernah sekalipun dia mengalami hal aneh semacam itu. “Kalau begitu, saya pamit dulu. Saya harus ke kamar,” ucapnya. Tanpa menunggu jawaban Gandhi, Wening langsung berbalik meninggalkan pria itu.

Tujuannya kini adalah paviliun yang dia tempati. Paundra adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa ia mintai penjelasan.

Setengah berlari, Wening melintasi kolam renang. Dia berpapasan dengan wanita yang Gandhi panggil dengan sebutan Bi Lastri.

“Bi, apa Paundra ada di kamarnya?” tanya Wening dengan terengah-engah.

“Siapa, Neng?” tanya si bibi sambil mengerutkan keningnya.

“Paundra. Pria yang tinggal bersebelahan dengan kamar paviliun saya,” jelas Wening.

“Apakah saudara pak Gandhi?” tebak bi Lastri.

Wening mengangguk cepat. Tak sabar rasanya ia mendengar jawaban wanita paruh baya itu.

“Anu, Neng. Kalau saudara pak Gandhi, tidak pernah tidur di paviliun. Mereka biasanya menginap di kamar utama,” terang bi Lastri lagi.

“Paundra mengatakan dia tidur di paviliun. Sebelah kamar saya,” tutur Wening.

Bi Lastri hanya menggeleng pelan. Tatapan matanya terlihat kebingungan. Wening berniat untuk bertanya kembali, tetapi sosok yang ia cari sudah berdiri di depan pintu kamar paviliun. Paundra melambaikan tangan padanya, membuat Wening berlari meninggalkan bi Lastri yang berdiri membeku sambil memandangnya, dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Terpopuler

Comments

rosie

rosie

baca dari awal sampe skrng gk bisa brenti..,,😅😅😅
tegang...
merinding..

2022-08-02

2

Ima Diah

Ima Diah

penuh teka-teki cerita nya...buat penasaran...ingin baca terus...👍👍👍👍👍

2022-07-30

1

Rania puspa

Rania puspa

crtanya ngerii ni aku kok merinding wah gk brni baca mlm ni kyy hadeeeuh

2022-07-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!