Kunjungan Kejutan

Wening mengemasi barang-barang dan memasukkan semuanya ke dalam tas ransel hitam kesayangannya. Hari itu adalah jadwalnya untuk pulang setelah dia dirawat selama dua hari. Wening juga telah mengajukan cuti selama seminggu yang disetujui oleh suster kepala.

“Mau pulang sekarang? Ada yang mengantar tidak?” tegur seorang rekan perawat padanya. Wening mengenali gadis itu sebagai Anggita.

“Pulang sendiri. Lagi pula, rumahku dekat dari sini,” sahut Wening dengan nada bicara yang teramat datar. Tak lupa, dia menyunggingkan senyuman walaupun terkesan kaku.

“Aku bisa mengantar jika kau mau. Kebetulan, shiftku sudah berakhir beberapa menit yang lalu,” tawar Anggita.

Di antara rekan-rekan sejawat lain, sosok Anggita adalah perawat yang paling ramah padanya. Gadis itu sama sekali tak pernah menunjukkan rasa takut terhadap Wening. Tak seperti teman-temannya yang lain. Akan tetapi, Wening lah yang memilih untuk menjaga jarak dengan siapa pun. Dia sudah merasa nyaman dan terbiasa dengan kesendiriannya. Karena itu, saat Anggita menawarkan bantuan kecil tersebut, Wening segera menolak.

“Ayolah. Lagi pula, kau baru saja sembuh. Aku akan mengantarmu. Tak apa, aku tidak akan meminta ongkos padamu.” Anggita sedikit memaksa dengan diakhiri kata candaan, meskipun dia tahu jika Wening tak akan tertawa karena mendengar leluconnya.

Wening terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah memikirkan maksud baik sang rekan, sehingga tak ada alasan bagi dirinya untuk menolak. “Baiklah,” sahut Wening pada akhirnya. Dia mengikuti Anggita di belakang. Langkahnya ringan menuju tempat parkir khusus pekerja rumah sakit. Pada deretan tempat parkir, Anggita memutar kunci motor dan menyalakan mesinnya.

“Kau masih tinggal di rumah peninggalan orang tuamu, kan?” tanya Anggita. Dia kemudian menyodorkan helm kepada Wening.

“Masih. Memangnya aku tinggal di mana lagi selain di sana?” jawab Wening. Dia tengah sibuk memasang tali helm.

“Kupikir kau tinggal bersama tantemu,” sahut Anggita sembari melajukan motornya pelan.

“Dari mana kau tahu kalau aku punya tante?” selidik Wening. Sementara otaknya bekerja keras mengingat seberapa dekat dia dengan gadis yang tengah memboncengnya kini.

Sejauh yang Wening tahu, dia hanya dua kali berinteraksi dengan Anggita, yaitu ketika dirinya pertama kali mengikuti uji kompetensi perawat yang diselenggarakan serentak setiap tahun. Mereka berdua lulus dan mendapatkan surat izin perawat secara bersamaan. Setelah itu dia dipertemukan kembali dengan Anggita dalam tim keperawatan di rumah sakit tempatnya bekerja.

“Aku masih ingat saat pertama kali bertemu denganmu di tempat ujian. Kau diantar seorang wanita yang kukira ibumu. Ternyata kau mengenalkannya sebagai tantemu,” jelas Anggita sambil tetap waspada memegang kemudi. “Waktu istirahat makan siang, kau juga sempat bercerita bahwa kedua orang tuamu sudah tiada,” sambung gadis dengan wajah khas asli Indonesia itu. Sementara Wening masih terdiam, tak menanggapi semua ucapannya.

“Apa kau lupa kalau kau pernah mengajakku ke rumahmu?” tanya Anggita kemudian.

“Pernahkah?” Wening malah balik bertanya.

“Ya, ampun. Apakah keberadaanku tidak penting, Wening? Sampai-sampai kau tidak pernah mengingat kalau kita pernah merayakan kelulusan uji kompetensi, dengan makan bermangkuk-mangkuk bakso di rumahmu,” celoteh gadis itu panjang lebar.

“Aku ... lupa,” jawab Wening singkat. Dia terlalu malas untuk berbasa-basi. Padahal dirinya mulai dapat mengingat kenangan tersebut.

Saat itu adalah ketika pertama kalinya Wening tertawa lebar dan bercanda bersama seorang teman tanpa beban. Akan tetapi, apa yang terjadi setelahnya membuat Wening memutuskan untuk tidak lagi ingin berteman dengan siapa pun.

Adalah Agni, sang tante yang melarang dirinya untuk akrab dengan yang lainnya. Agni bahkan mengancam bahwa siapa saja yang dekat dengan Wening, maka dia akan celaka. Setidaknya, kalimat itu yang tetap Wening ingat, sebelum tantenya menghilang tanpa kabar. Hingga detik itu, Wening tak pernah bertemu dengan sang tante lagi. Karena itulah, dia menganggap jika dirinya memang hidup sebatang kara di dunia ini.

“Sudah sampai, Ning!” seru Anggita yang menyadarkan Wening dari lamunannya.

“Oh, iya. Tunggu sebenta.,” Wening segera turun, lalu sigap membuka kunci gerbang. Dia mendorong pagar itu hingga terbuka separuh, kemudian mengajak Anggita untuk masuk. Anggita pun tak menolak tawaran tersebut.

“Sebenarnya, rumahmu cukup unik, Ning. Asri tapi sayangnya sedikit misterius,” ujar Anggita setelah memarkirkan motornya di teras rumah sederhana itu.

“Masuklah.” Wening membuka pintu rumah kemudian mempersilakan Anggita, tanpa menanggapi ucapan gadis yang berusia sebaya dengannya. Setelah di dalam, Wening segera meletakkan ransel pada kursi rotan yang berada di ruang tamu. Semua perabotan yang ada di dalam rumah tersebut, belumlah berubah. Itu adalah peninggalan dari kedua orang tua Wening. Gadis itu, tak terlalu peduli dengan furniture atau pernak-pernik. Wening hanya melakukan tugasnya, yaitu merawat rumah tersebut agar tetap bersih dan nyaman untuk ditinggali.

“Aku kagum padamu.” Anggita mengedarkan pandangannya sebelum duduk di sofa. “Kau tak punya rasa takut sama sekali. Padahal kau tinggal sendirian di sini,” ujar Anggita seraya menggeleng-gelengkan kepala.

“Mau minum apa, atau ingin kupesankan makanan?” tawar Wening. Lagi-lagi, dia tak menanggapi ucapan gadis itu.

“Minum saja sudah cukup. Aku tidak bisa berlama-lama. Aku ada janji bersama pacarku.” Anggita tersenyum malu-malu

“Baiklah. Sebentar akan kuambilkan.” Wening bergegas masuk ke bagian dalam rumah. Sementara Anggita masih terus menyapu pandangan ke setiap sudut ruang tamu. Ada satu hal yang ganjil bagi dirinya. Anggita sama sekali tak menemukan satu pun gambar diri dari Wening maupun keluarganya.

Tak seperti keadaan di rumah-rumah pada umumnya yang selalu memajang foto keluarga, atau potret masa kecil. Namun, di dinding rumah itu tak ada satu pun foto yang terpajang. Anggita bermaksud untuk menyusul Wening ke dalam dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran. Akan tetapi, belum sampai melangkah lebih dalam, terdengar ketukan pelan di pintu depan.

Anggita menoleh ke arah pintu tersebut. Ragu-ragu, dia membukanya. Seorang pria rupawan berdiri gagah di hadapan. Rautnya tampak tegang bercampur cemas menatap aneh kepada Anggita. “Maaf, apa benar ini rumah suster Wening?” tanya pria tersebut.

“I-iya, betul sekali.” Anggita tergagap dan tampak salah tingkah. Gadis itu seakan-akan baru kali ini bertemu dengan seorang pria tampan.

“Bolehkah saya bertemu dengan suster Wening?” pinta pria itu. Suaranya terdengar begitu berat, tetapi merdu di saat yang bersamaan.

Belum sempat Anggita menjawab, suara Wening terlebih dulu terdengar. “Siapa yang datang?” tanyanya yang kini sudah berdiri tepat di belakang gadis itu. Dia terkejut melihat pria yang berdiri di depan pintu rumahnya. "Pak Gandhi? Ada apa Anda datang kemari?" tanya Wening heran bercampur penasaran.

Terpopuler

Comments

Fay

Fay

lanjut thor

2022-07-12

0

𝓜𝓪𝔀𝓪𝓻

𝓜𝓪𝔀𝓪𝓻

Take care juga Pak Gandhi pada Wening. Ada apa yang berlaku pada Raline ke?

2022-06-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!