Teka-teki Pemilik Rumah

Wening menatap lekat pria yang tengah tersenyum ramah kepadanya. Paundra terlihat bersikap biasa saja. Tak ada raut cemas sama sekali, padahal saat itu Wening melayangkan tatapan yang semakin tajam dan tampak serius. "Katakan sesuatu padaku!" pinta Wening.

"Tentang apa?" tanya Paundra tenang.

"Apa yang terjadi padaku semalam?" tanya gadis itu lagi. Wening yang tak terbiasa banyak bicara, kini harus memaksakan diri untuk bersikap sebaliknya. Kejadian janggal yang dia alami, mendorongnya untuk mencari informasi sebanyak mungkin.

"Kenapa kau harus bertanya padaku. Bukankah kau melihatnya sendiri?" Paundra seakan tengah bermain-main dengan rasa penasaran di hati Wening. Dia tak peduli meskipun saat itu gadis di hadapannya terlihat gelisah. "Apa yang kau lihat semalam, itulah yang terjadi pada beberapa puluh tahun silam," jelasnya.

"Ceritakan padaku!" pinta Wening dengan penuh harap.

"Aku tak bisa bercerita banyak padamu saat ini. Rasanya tak leluasa bagiku untuk melakukan hal itu. Lagi pula, meskipun aku menjelaskannya padamu dengan panjang lebar, aku tak yakin kau akan memahaminya. Oleh karena itu, aku memberimu sebuah penglihatan. Selebihnya, silakan kau cari tahu sendiri. Satu hal yang ingin kukatakan padamu, Wening. Berhati-hatilah, karena rumah megah ini memiliki telinga yang bahkan dapat menangkap suara helaan napasmu dengan jelas," tutur Paundra serius. Namun, sesaat kemudian raut wajah serius itu segera berganti dengan sebuah senyuman ramah khas dirinya.

"Kenapa kau suka sekali berteka-teki?" protes Wening pelan. "Aku bahkan tak tahu siapa dirimu sebenarnya, dan kau juga mengatakan banyak hal yang membuatku pusing," ucap Wening lagi dengan datar.

"Kau akan segera mengetahuinya, Wening. Tak lama lagi, segalanya akan terungkap. Aku hanya berpesan agar kau mempersiapkan dirimu dengan baik, untuk menghadapi hal terbesar yang akan menjadi takdirmu," balas Paundra dengan raut wajah yang kembali tampak serius.

"Tahu apa kau dengan takdirku? Kau bukan Tuhan," bantah Wening. Dia bergegas masuk ke ruang paviliun dan meninggalkan Paundra di luar. Hari pertama di kediaman Wiratama, Wening rasa telah membuat pikirannya begitu kacau. Entah misteri apa yang harus dia pecahkan. Wening pun belum dapat menerka dengan pasti. Segalanya masih terasa begitu samar.

Keesokan harinya. Pukul tujuh tepat, Wening sudah bersiap dengan seragam perawat. Dia bergegas menuju kamar Raline, diikuti oleh bi Lastri yang berada di belakangnya sambil membawa nampan berisi menu sarapan untuk gadis belia itu. Raline sudah bangun dan terlihat duduk termenung sambil bersandar pada kepala tempat tidur. Wening ke sana membawa satu tas peralatan medis. Dia segera menghampiri putri dari Gandhi Wiratama tersebut.

Setelah bi Lastri meletakkan nampan yang dia bawa di atas meja sebelah tempat tidur, wanita itu segera pamit. Sementara Wening tetap di dalam kamar. Gadis berusia dua puluh lima tahun tersebut kemudian duduk di tepian ranjang sambil menghadap kepada Raline. "Selamat pagi, Raline. Bagaimana keadaanmu hari ini?" sapa Wening mencoba untuk terlihat biasa saja. Sebisa mungkin dia menyembunyikan segala rasa was-was yang sempat menguasai akal sehatnya. Wening menunjukan sikap yang bersahabat, meskipun tak seramah seperti orang biasa.

"Selamat pagi, Kak. Seperti yang Kakak lihat pagi ini. Aku masih bernapas dan berhasil selamat. Terima kasih," jawab Raline pelan dan datar seakan tanpa semangat sama sekali.

Wening menatap lekat gadis belia di hadapannya. Sepasang bola mata berwarna hitam pekat itu menyiratkan sesuatu yang sulit untuk diartikan. "Seberapa sering hal seperti itu terjadi padamu? Apakah kau sadar dan dapat merasakannya, ketika hal tersebut sedang menimpamu?" tanya Wening terdengar serius.

“Aku mengetahuinya, Kak. Aku dapat melihat hal itu dengan sangat jelas. Ragaku terombang-ambing, sementara jiwaku mencari tempat untuk bersembunyi, karena aku sangat takut. Aku menyaksikan saat Kakak menarik dan membawaku kembali,” terang Raline datar.

“Apakah dia selalu mendatangimu setiap malam?” tanya Wening lagi. Sementara Raline segera menggeleng saat menanggapi pertanyaan tersebut. “Lalu? Seberapa sering bayangan hitam itu mendatangimu?” cecar Wening lagi.

Raline terdiam untuk sejenak. Gadis manis itu tampak memejamkan matanya. “Aku tak dapat memastikan. Akan tetapi, biasanya dia akan muncul pada malam dengan hitungan ganjil. Entah apa alasannya, tapi itu yang biasa terjadi,” jelas gadis berambut panjang tersebut.

“Sudah berapa lama hal seperti ini kau alami?” selidik Wening lagi. Dia begitu penasaran.

Raline kembali terdiam. Dia lalu mengalihkan tatapan ke luar jendela. Sorot matanya kosong menerawang dan menembus tirai yang masih tertutup. “Kakak, tolong buka tirainya. Aku ingin melihat cahaya matahari,” pinta gadis itu pelan.

Tanpa banyak bicara, Wening segera berdiri. Dia lalu melangkah ke arah jendela dan menyibakkan tirai yang menutupinya. Seketika, cahaya matahari pagi masuk menembus kaca dan mengarah langsung ke tempat tidur Raline. Gadis itu juga menatap lekat ke arah paviliun yang Wening tempati.

“Apa kau mengenalnya, Raline?” tanya Wening lagi yang saat itu mengikuti arah tatapan gadis belia tersebut.

“Siapa? Paundra?” Raline balik bertanya.

Wening mengangguk pelan. Dia kembali duduk di tepian ranjang sambil menghadap kepada Raline. “Paundra mengetahui banyak hal yang tidak aku ketahui. Dia berbicara tentang sesuatu yang sama sekali tidak kumengerti. Aku tak tahu apa maksudnya,” tutur Wening. Entah mengapa dia bisa merasa begitu dekat dengan Raline, sehingga tak ada rasa canggung sama sekali. Wening yang tak terbiasa banyak bicara kepada orang-orang di sekitarnya, kini seakan tak merasa risih dan kaku untuk mengungkapkan isi hati.

Namun, tidak demikian dengan Raline. Gadis remaja itu hanya terdiam dengan raut wajah yang terkesan begitu dingin. Dia seakan tak punya keinginan untuk membalas kalimat Wening.

“Baiklah, kalau begitu. Kau harus segera sarapan. Setelah ini, aku akan memeriksa kondisi kesehatanmu,” ujar Wening pada akhirnya. “Kau juga harus meminum obat setelah sarapan,” imbuhnya.

Raline mengangguk tanpa kata. Dengan cekatan, Wening mendorong meja makan portabel yang ada di sudut kamar, lalu mendekatkannya ke tepi ranjang. Dia juga menegakkan posisi duduk Raline dan meletakkan nampan di atas meja. “Kau mau aku suapi?” tawar Wening lembut.

“Tidak perlu,” tolak Raline seraya menggeleng pelan, lalu mulai menyantap menu sarapannya.

Tak membutuhkan waktu lama bagi gadis pendiam itu untuk menghabiskan santap paginya. Dia meletakkan mangkuk kosong pada nampan yang masih berada di atas meja makan portabel, kemudian meraih segelas air dan meneguk pelan-pelan hingga habis. Wening lalu memindahkan meja itu kembali ke posisi semula, yaitu di sudut ruangan.

“Saatnya untuk mengecek tekanan darah dan minum obat.” Senyum Wening melebar, tatkala Raline membalas ucapannya dengan tawa pelan. “Kenapa?” Wening mengangkat salah satu alisnya.

“Aneh saja rasanya, Kak,” jawab Raline.

“Aneh bagaimana?” tanya Wening tak mengerti.

“Aku pernah mendengar ayah berbicara dengan dokter Adnan di luar kamar. Dokter Adnan mengatakan bawha penyakit kelainan darahku ini tidak bisa disembuhkan, tapi kenapa aku harus terus meminum obat dan diperiksa jika tidak dapat diobati. Bukankah itu sia-sia?” Raline menatap lekat, jauh ke dalam bola mata Wening.

“Lagi pula .…” Gadis belia itu tiba-tiba mendekatkan bibirnya pada telinga sang perawat. Dia seperti hendak membisikkan sesuatu. Namun, hal itu Raline urungkan tatkala pintu kamarnya terbuka. Gandhi muncul dari balik pintu dan masuk dengan langkah yang terlihat begitu gagah.

“Bagaimana, Sus? Apa Raline kesulitan untuk menghabiskan makanannya lagi hari ini?” tanya pria itu sambil mendekat ke arah Wening.

“Tidak, Pak. Seperti yang Anda lihat.” Wening mengarahkan tangannya pada mangkuk dan gelas kosong di atas nampan.

Gandhi merasa takjub saat mendapati hal itu. Dia menatap Wening dengan sorot penuh keheranan, “Kalau boleh tahu, metode apa yang saudari gunakan untuk membujuk putri saya?” tanyanya dengan alis yang hampir bertaut.

Wening memandang tak mengerti pada Gandhi dan Raline secara bergantian. “Saya tidak memakai metode apapun, Pak. Raline langsung saja melahap makanannya. Apakah sebelum saya di sini, Raline memang susah makan?” tanya Wening ragu.

Bukannya menjawab, Gandhi malah mengalihkan perhatiannya kepada Raline. “Dia kerap menggoda kesabaran saya. Entah kenapa, Raline seperti sangat membenci ayahnya sendiri,” ujar pria itu dengan tatapan sendu.

“Tidak ada yang membenci ayah. Sekarang, izinkan suster Wening untuk melaksanakan tugasnya, Yah. Tekanan darahku belum diperiksa. Denyut jantung dan bunyi perutku juga belum dicek. Sebaiknya Ayah keluar agar suster tidak grogi,” celetuk Raline. Sebuah kalimat pengusiran yang halus, tetapi cukup membuat dada Gandhi terasa sesak.

“Baiklah, kalau begitu. Saya tunggu hasil pemeriksaan suster di ruang kerja.” Gandhi mengangguk dan menatap Wening sesaat, sebelum dia meninggalkan mereka ke luar kamar.

“Suster-suster sebelum Kakak yang pernah bekerja di sini, semuanya tak ada yang berhasil melawan pesona ayah,” tutur Raline beberapa saat setelah Gandhi menghilang di balik pintu kamar.

“Oh ya?” Wening hanya tersenyum kalem menanggapi ucapan gadis remaja itu. Perhatiannya terpusat pada alat pengukur tekanan darah, yang saat itu sudah melingkari lengan mungil Raline. Wening kemudian mencatat hasilnya pada buku khusus. “Normal,” ujarnya singkat.

Dia lalu meraih beberapa botol pil. Wening membukanya satu per satu. Sebutir obat dia keluarkan dari tiap botol. Wening meletakkan pil-pil putih tadi pada telapak tangan Raline. “Minumlah,” suruhnya sambil menuangkan air dari poci kaca ke dalam gelas kosong.

Tanpa banyak membantah, Raline menuruti perintah Wening dan menelan obat-obatan itu seluruhnya tanpa sisa. Dia juga meneguk air minuk hingga habis. “Suster-suster sebelum Kakak, nasibnya mengenaskan,” celetuk Raline sambil mengusap mulut menggunakan

punggung tangan.

“Maksudmu?” Akhirnya rasa penasaran itu menggelitik Wening.

“Pemilik rumah tak suka pada siapa pun yang menaruh hati pada ayahku,” desis Raline.

“Pemilik rumah?” ulang Wening. Tiba-tiba saja kepalanya terasa penat. Begitu banyak teka-teki yang harus dia hadapi dalam kurun waktu dua puluh empat jam. "Bukankah pemilik rumah ini adalah pak Gandhi Wiratama? Ayahmu." Wening terlihat heran.

Terpopuler

Comments

Jepri Sal

Jepri Sal

salam kenal author aku pembaca baru disini ceritanya bagus👍👍👍 aku suka tetap semangat dan teruslah berkarya
salam
yl

2023-04-02

1

Yeni Eka

Yeni Eka

pemilik rumah siapa? semoga Wening nasibnya enggak ikut mengenaskan kayak suster2 yg dulu

2022-11-06

1

Ning Hari Mulyana

Ning Hari Mulyana

Terlalu dini sudah banyak teka-teki...
Wening aja pusing... saya lebih pusing lagi, belum lagi mikiran setoran dan hutang2 di warung... he he he 😅😅😅

2022-08-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!