Tamu Tak Diundang

Gandhi terlihat salah tingkah. Sesekali dia mengusap-usap bagian belakang lehernya. Pandangan pria itu pun terlihat tak terfokus pada apapun. "Itu ... um ... saya sepenuhnya sadar saat melakukan itu," ungkap Gandhi seraya kembali mendekat kepada Wening. "Kembalilah. Suster bisa beristirahat di kediaman saya, daripada sendirian di sini," ajak pria itu dengan sedikit berharap.

"Bukankah di sana sudah ada perawat baru yang menggantikan saya? Lagi pula, saya sudah meminta izin kepada suster kepala untuk cuti selama satu minggu," jawab Wening.

"Ya, tapi Raline terlihat jauh lebih nyaman jika Suster yang merawatnya," bujuk Gandhi lagi tetap berharap agar Wening bersedia kembali ke kediamannya. Pria itu kemudian terus mendekat dan kini berdiri tepat di hadapan Wening. "Dua hari tidak melihat keberadaan Suster di sana, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang," ucap Gandhi lagi dengan setengah berbisik.

Namun, Wening tak ingin larut dalam godaan dan pesona duda empat puluh tahun itu. Dia memundurkan tubuh untuk memberi sedikit jarak antara dirinya dengan pria rupawan tersebut. "Saya ingin menenangkan diri," balas Wening. Dia menunduk dan menyembunyikan wajah dari Gandhi. Gadis itu tak ingin jika pria yang ada di hadapannya tersebut melihat rona merah pada kedua pipinya.

Akan tetapi, kenyataannya Wening tak mampu bersembunyi terlalu lama, ketika jemari duda satu anak itu menyentuh dagu dan mengangkatnya perlahan. Tanpa permisi, Gandhi mengulangi apa yang dia lakukan beberapa hari yang lalu di ruang kerja. Sedangkan Wening pun tak mampu untuk menolak. Gadis itu hanya berdiri terpaku dan menerima sentuhan lembut nan mesra di bibirnya. Hingga beberapa saat, mereka berdua kembali terhanyut dalam alunan permainan kecil yang cukup membuat dada keduanya bergemuruh.

Namun, perasaan itu harus seketika mereka hentikan saat terdengar suara dering ponsel milik Gandhi berbunyi. Dengan segera Wening melepaskan diri. Sementara Gandhi mengeluh pelan karena merasa terganggu.

Dirogohnya ponsel dari dalam saku celana. Nama bi Lastri tertera dengan jelas di layar ponsel tersebut. Gandhi pun segera menjawab panggilan itu. "Ada apa, bi?" tanyanya. Raut wajah Gandhi yang maskulin terlihat begitu serius saat mendengarkan penuturan dari pembantu rumah tangga di kediamannya.

"Baiklah, saya akan segera pulang," ucap Gandhi lagi kemudian. Dia lalu menutup sambungan teleponnya dan kembali kepada Wening yang saat itu masih terlihat kikuk akibat adegan ciuman tadi.

"Ada sedikit masalah dengan Raline. Dia tidak mau makan," ucap Gandhi yang seketika membuat Wening terkejut.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Wening heran, karena selama dengannya, Raline selalu bersikap baik dan penurut.

"Seperti yang saya beritahukan tadi. Raline merasa tidak nyaman dengan perawat barunya." Gandhi terlihat serba salah. Dia terdiam sejenak, kemudian merapikan kemeja serta rambut. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Selamat beristirahat, Suster. Saya dan Raline menunggu Suster kembali ke kediaman kami," tutup Gandhi. Paras rupawannya terlihat dengan begitu nyata, ketika pria itu menyunggingkan senyuman kalem kepada Wening.

Wening yang jarang sekali tersenyum, saat itu membalas dengan sebuah senyuman manis. Dia tak terlihat kaku sama sekali. Diantarnya Gandhi hingga ke pintu, bahkan sampai pria bertubuh tegap tadi masuk ke mobil SUV hitamnya dan pergi meninggalkan halaman rumah Wening yang asri.

Sepeninggal Gandhi, Wening kembali sendirian di dalam rumah. Suasana di sana begitu sunyi, sehingga dapat terdengar dengan begitu jelas setiap helaan napas berat yang Wening embuskan dalam renungannya. Gadis itu terdiam dan benar-benar menenangkan diri di sana. Namun, hal itu tak berlangsung lama ketika dia mendengar suara aneh dari bagian dalam rumah. Sontak Wening beranjak dan memeriksa ke arah ruang tengah.

Saat itu sudah menjelang senja. Akan tetapi, Wening belum menyalakan lampu, karena kebetulan masih ada pantulan cahaya dari genting kaca yang sengaja dipasang di atap, agar suasana ruangan tersebut tidak terlalu gelap. Wening terus melangkah dengan hati-hati. Gadis tersebut menajamkan pendengarannya.

Suara itu terdengar dari ruang makan di sebelah dapur. Wening tertegun untuk sejenak. Dia menghela napas dalam-dalam dan kembali menajamkan pendengaran. Gadis itu yakin jika suara yang dirinya dengar adalah deritan rantai yang saling bergesekan dengan lantai ubin di dalam ruangan. Wening merasa heran, tetapi juga begitu penasaran. Gadis berkuncir kuda tersebut mempercepat langkah.

Akan tetapi, laju kakinya seketika terhenti. Wening pun bergegas mundur dengan raut wajah yang teramat ketakutan. Gadis itu ingin berteriak sekencang mungkin, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Wening pun hanya dapat tergagap. Napasnya tersengal-sengal dengan wajah pucat, ketika dia mendapati seseorang yang tengah berjalan dengan langkah terseok menuju ke arahnya.

Adalah seorang gadis tanpa busana dengan tubuh berlumur darah. Pada leher, tangan, dan kedua kaki gadis tersebut melingkar rantai dan juga membelit sebagian tubuhnya yang penuh luka menganga. Bau anyir darah segar dan nanah menyeruak membuat Wening merasa tak nyaman. Gadis itu menatap kepada Wening dengan mata kirinya, karena bola mata sebelah kanan terlepas dan tampak bolong. Dia merentangkan tangan kepada Wening, seakan ingin meminta bantuan. Akan tetapi, Wening menggeleng. Dia terus bergerak mundur hingga akhirnya berlari menuju pintu keluar.

Satu keanehan kembali terjadi. Ketika Wening membuka pintu, yang dia dapati bukanlah halaman rumah rindang, melainkan sebuah padang ilalang. Gadis itu tersentak. Dia membelalakan mata lebar-lebar karena merasa tak percaya, terlebih ketika dirinya melihat sosok Paundra di sana.

Pria itu berdiri menatap ke arah Wening. Sorot matanya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Di tangan Paundra tergenggam gagang kapak yang tampak begitu tajam. Wening ingat, terakhir kali mendapat penglihatan seperti itu, dirinya langsung jatuh pingsan.

Wening menggelengkan kepala, kemudian menoleh ke bagian dalam rumah. Gadis tadi masih melangkah gontai sambil menyeret rantai di kakinya. Wening tak tahu harus ke mana lagi. Dalam situasi seperti itu, terdengar sebuah panggilan nyaring. "Nirwasita!"

Seketika Wening menoleh. Sosok Gandhi berdiri tak jauh darinya. Dia melambai dan menyuruh Wening agar mendekat. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera berlari ke arah pria tadi. Akan tetapi, belum sampai dirinya ke sana, sosok wanita menakutkan telah terlebih dahulu menghadang.

Kalajanggi menyeringai dengan bola mata yang berwarna merah menyala, bagaikan kobaran api di malam gelap. Dia mengangkat tangan yang berkuku panjang dan tajam. Dengus napasnya pun terdengar begitu kasar, membuat Wening seketika mundur. "Apa kabar, Gadis muda?" seringai Kalajanggi. Bau aroma napasnya menyeruak dan menerpa wajah Wening, hingga gadis itu harus segera berpaling ke sebelah kiri. Sementara Kalajanggi hanya terkekeh. Makin lama, suara tawanya semakin melengking serta memekakan pendengaran.

Terpopuler

Comments

Fay

Fay

lanjut thor

2022-07-12

0

Winna

Winna

Hmmm beneran .. bagus banget novel nya..

2022-06-23

1

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

dengan di bacain ayat kursi bisa kalah gk tuh setan kalajanggi thor

2022-06-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!