Nirwasita

Wening melangkah dengan pandangan kosong menuju paviliun yang dia tempati. Terlalu banyak beban di tempat itu dan seperti tak akan sanggup untuk dia pikul sendirian. Semua begitu tiba-tiba, seakan tak memberikan kesempatan baginya untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu.

Terngiang kembali di telinganya tentang ucapan Raline. Satu hal yang tak pernah dia sangka, bahwa Paundra bukanlah sosok manusia biasa. Tentu saja hal itu sangat aneh bagi Wening, karena sudah menjadi keahliannya untuk dapat dengan mudah membedakan antara sosok tak kasat mata dengan manusia normal. Baginya, Paundra bukan merupakan sosok makhluk halus. Ciri fisik pria itu sungguh nyata dan tidak memiliki aura negatif sama sekali.

Selama ini, Wening tak pernah salah dengan instingnya. Akan tetapi, kali ini dia keliru.

Wening menghela napas dalam-dalam. Terpikir oleh gadis itu untuk mengundurkan diri dari tugas yang telah diamanatkan pihak rumah sakit padanya. Dia harus berbicara dan meminta izin kepada Gandhi. Sepertinya bekerja di rumah sakit jauh lebih mudah, daripada bertugas di tempat misterius seperti rumah keluarga Wiratama.

Tanpa pikir panjang, Wening meraih ponsel dari saku celana. Dia berniat menghubungi suster kepala. Namun, perhatiannya malah tertuju pada simbol sinyal di pojok atas layar telepon seluler tersebut. Tak ada jaringan sama sekali di sana. Sesuatu yang sungguh aneh, padahal beberapa saat yang lalu dia baru saja mendapat notifikasi dari salah satu judul novel, yang selalu dirinya baca di sebuah aplikasi online ternama.

Wening mengangkat ponselnya tinggi-tinggi sembari memutar badan. Dia berharap dengan cara tersebut, sinyal telepon akan muncul kembali. Namun, harapannya sia-sia saja. Dia malah terlihat seperti anak kecil yang tengah bermain-main.

“Kau tidak boleh pergi dari sini sebelum berhasil membantuku.” Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar dari belakang Wening. Gadis berkuncir kuda itu refleks menoleh dan segera mundur beberapa langkah, begitu menyadari bahwa Paundra lah yang berbicara padanya. Seketika, raut wajah gadis cantik tersebut menjadi pucat, terlebih ketika dia kembali teringat pada 'penglihatannya' tadi. Tanpa bicara sepatah kata pun, Wening segera menghindari pria itu.

“Kau tidak boleh takut padaku, Wening! Hanya kaulah satu-satunya yang bisa membantuku!” seru Paundra saat Wening berlari menghindarinya. Akan tetapi, gadis itu sama sekali tak mau mendengarkan penjelasan Paundra. Dia malah memasuki kamar paviliun dan langsung menutup serta mengunci pintu rapat-rapat. Wening kemudian menyandarkan kepala di sana sambil terengah-engah. "Tidak! Aku tidak ingin terjebak dan mati di tempat ini dengan mengenaskan," gumamnya tegas.

“Wening! Tolong bukalah pintunya. Aku ingin bicara," pinta Paundra dari luar kamar.

“Kau ‘kan hantu? Kenapa tidak langsung masuk saja menembus dinding?” ujar Wening. Nada bicaranya sedikit pedas, karena sudah teramat lelah menjalani segala sesuatu di tempat itu. Baru beberapa hari Wening tinggal di kediaman Wiratama, tapi energinya seakan telah terkuras habis oleh hal-hal aneh di luar nalar dan sulit untuk dia jelaskan.

Paundra tertawa lirih menanggapi ucapan gadis tadi. “Aku bukan hantu semacam itu, Wening. Kukira kau sudah tahu,” sahutnya pelan.

“Ya, aku sudah mengetahui sesuatu! Kau adalah hantu jahat yang membawa kapak dan berusaha untuk membunuhku!” balas Wening yang tetap pada posisinya.

Suasana pun hening untuk sejenak, setelah Wening berkata demikian. Tak terdengar Paundra menjawab kata-katanya. Cukup lama Wening menunggu. Akan tetapi, Paundra masih juga belum berbicara. Karena merasa penasaran, Wening akhirnya membuka pintu ruang paviliun dan mengedarkan pandangan ke halaman yang sudah mulai gelap, sebab saat itu telah menjelang senja. Namun, tak tampak keberadaan Paundra sama sekali di sana. Wening pun kembali menutup pintu tersebut.

Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu terkejut setengah mati, saat mendapati bahwa ternyata Paundra telah berdiri di belakangnya. Pria itu, sudah berada di dalam kamar paviliun yang Wening tempati.

“Jangan pergi dari sini, Wening. Kumohon, tolong aku,” pintanya memohon.

Wening yang masih dalam keadaan terkejut, spontan menggerakkan dan membuka telapak tangan ke arah depan. Dia seakan tengah menghalau agar Paundra tak mendekat padanya. Sebuah gelombang transparan yang berembus dengan kuat, muncul dari sela-sela jari dan mendorong Paundra hingga terjengkang.

Baik Wening maupun Paundra sama-sama terkejut. Gadis itu sampai harus membolakbalikkan telapak tangannya sendiri dan mengamati dengan saksama. “Apa itu tadi?” gumamnya sambil bergidik ngeri dengan kedua tangan yang gemetaran.

“Energimu sudah kembali, Nirwasita. Aku harap kau juga juga sudah bisa mengingat semuanya,” jelas Paundra yang masih terduduk di lantai sembari memegangi dada. Pria itu kemudian mencoba untuk bangkit dan kembali berdiri.

“Apa maksudmu, Paundra? Tolong jangan lagi memberiku teka-teki, karena aku sudah tak sanggup.” Wening mulai terisak pelan. Entah kenapa, dia tiba-tiba merindukan kedua orang tuanya.

“Dengarkan aku, Wening. Bolehkah jika aku memanggilmu Nirwasita? Itu merupakan namamu di masa lalu,” terang Paundra lagi. "Seratus tahun ke belakang," lanjutnya pelan, membuat Wening seketika mengernyitkan kening.

“Apa lagi ini?" keluh Wening seraya menyentuh keningnya. "Nirwasita? Tidak! Jangan panggil aku dengan nama itu," tolak Wening. "Panggil saja Wening! Namaku adalah Wening! Itu nama pemberian kedua orang tuaku!” tegas gadis tersebut.

“Baiklah Wening,” ucap Paundra dengan sorot tajam ke arah wajah cantiknya. “Dengarkan aku. Segala sesuatu yang terjadi di dunia bukanlah suatu kebetulan. Demikian pula dengan kehadiranmu di tempat ini. Pertemuan kita, pertemuanmu dengan Gandhi, dan ….” kalimat Paundra berhenti begitu saja. Pria itu tiba-tiiba menoleh ke jendela paviliun yang berseberangan dengan jendela kamar Raline. “Oh, tidak!” Paundra menggeleng, lalu memegang kepalanya dengan erat.

“Kenapa lagi?” tanya Wening dengan setengah mende•sah serta wajah yang memelas.

“Raline. Dia membutuhkanmu sekarang juga! Lari, Wening! Cepatlah!” Teriakan Paundra membahana ke seluruh sudut kamar, sampai membuat telinga Wening berdenging. Dia segera membalikkan badan, kemudian berlari menjauh dari paviliun itu. Wening bergegas kembali menuju ke kamar Raline.

Setelah sampai di depan kamar gadis belia tersebut, Wening segera membuka pintu dengan begitu saja tanpa permisi ataupun mengetuk terlebih dahulu. Di dalam sana tengah berdiri Gandhi, bersama seorang pria. Wening mengenalnya sebagai dokter spesialis yang menangani Raline. “Anda kenapa, Suster?” tanya Gandhi keheranan.

Wening menjadi gelagapan karenanya. “Eh, anu ... itu ... saya pikir ... saya ….” Wening kebingungan. Dia tak tahu harus menjelaskan apa kepada Gandhi.

“Masuklah, Kak,” potong Raline. “Tidak apa-apa. Dokter Adnan baru saja datang.” Gadis belia itu melambaikan tangan kepada Wening sambil tersenyum ramah. Raline memintanya agar mendekat. Sementara Gandhi dan sang dokter malah memandang kebingungan ke arah gadis itu.

“Oh baguslah. Akan tetapi, Anda datang sore sekali. Sebentar, Dok. Saya ambilkan dulu buku catatan dan jurnalnya,” ujar Wening. Dia teringat berkas-berkas itu dirinya tinggalkan di lantai kamar. Serempak Gandhi dan dokter paruh baya bernama Adnan tadi menoleh ke arahnya.

“Suster ini bicara apa?” Gandhi mengernyitkan kening sambil menggelengkan kepala.

“Anda sudah berada di kamar bersama Raline sejak saya datang. Anda bahkan sudah menaruh berkas-berkasnya di sana,” tunjuk dokter Adnan pada laci yang terletak di samping ranjang.

“Apa?” Kini giliran Wening yang kebingungan.

“Baru lima menit yang lalu Anda pamit keluar untuk mengambil minum, lalu Anda kembali tanpa membawa apa-apa. Saya sedikit heran akan hal itu. Anda bahkan meracau tidak jelas seperti ini,” ujar sang dokter yang baru selesai memeriksa Raline. “Sepertinya Anda dehidrasi, Sus. Jaga kesehatan di sini, supaya tidak merepotkan tuan rumah,” saran dokter Adnan seraya mendekati Wening dan menepuk pelan pundaknya. Setelah itu, dia pun berpamitan pulang.

Namun, lain halnya dengan Gandhi. Duda tampan tersebut melihat hal lain dari sikap aneh Wening, selepas kejadian tadi siang di ruang kerjanya. Gandhi pun merasa semakin penasaran dengan semua sikap gadis itu. "Suster, setelah ini saya tunggu di ruang kerja," ucap Gandhi pelan.

Terpopuler

Comments

Fay

Fay

aduh thor sy baru ini baca novel horor ikut takut nih😬😱

2022-07-12

0

Winna

Winna

Kan jgn sering2 masuk ke ruang kerja pak gandhi kata raline🤭

2022-06-23

0

Oktav

Oktav

Ceriitanya seru bgt

2022-06-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!