Paviliun Tiga Kamar

Sesaat, tatapan Wening tertuju pada lukisan berukuran besar yang terpajang pada dinding ruangan itu. Seakan tak percaya, gadis berkuncir kuda tersebut menggeleng pelan. "Itu adalah Raline, putri semata wayang di keluarga ini. Dia yang akan saudari rawat," ucap pria yang tak lain adalah Gandhi Wiratama, ayahanda Raline.

"Tidak mungkin," gumam Wening pelan dengan hanya sedikit gerakan di bibirnya.

"Apakah ada masalah?" tanya pria yang sejak tadi memperhatikan sikap aneh Wening, saat menatap lukisan putrinya. Sementara Wening tak segera menjawab. Dia begitu lekat menatap wajah manis gadis belia, yang terasa tak asing lagi bagi dirinya.

Sekelebat bayangan kembali hadir. Berpindah-pindah antara gambaran rumah tua dengan sosok Raline. Gadis remaja itu telah Wening temui beberapa hari yang lalu lewat mimpinya, sebelum dia ditugaskan ke rumah megah tersebut. Terlihat jelas sosok Raline yang hadir dalam mimpi itu, dengan rambut kusut dan air mata bercampur darah. Gadis belia tersebut seolah tengah memohon sesuatu kepadanya.

Sesaat kemudian, Wening memejamkan mata dan merasakan sesuatu. Hawa dingin itu kembali hadir dan merasuki setiap pori-pori kulitnya, membuat dia harus menahan rasa ngilu yang begitu menusuk hingga ke tulang. Gadis itu sedikit menggigil. Hal tersebut membuat Gandhi merasa heran. Pria yang masih terlihat awet muda tersebut beranjak dari duduknya. Dia melangkah mendekati Wening. "Apa saudari baik-baik saja?" tanyanya dengan nada heran bercampur khawatir. Suara berat pria itu menggema di dalam ruangan tadi.

Seketika Wening membuka mata. Dia kembali tersadar. Perlahan, hawa dingin yang tadi sempat menyerang berangsur sirna. Wening merasakan suhu tubuhnya kembali normal. "Saya baik-baik saja, Pak," sahut gadis itu sambil berusaha untuk bersikap biasa saja, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa dadanya berdebar dengan cukup kencang.

"Kalau begitu, sebaiknya kita segera ke kamar Raline saja. Makin cepat kalian berkenalan, maka akan semakin baik." Gandhi kemudian melangkah ke arah pintu yang segera diikuti oleh Wening. Mereka berjalan menuju ke bagian lain dari rumah megah itu yang berupa sebuah koridor. Dia terus mengedarkan pandangannya pada setiap hal yang dirinya lewati. Suasana di rumah tersebut begitu sepi, dingin, dan juga misterius. Wening dapat mendengar dengan begitu jelas, suara derap sepatu yang dihasilkan dari langkah pria di depannya.

"Pada awalnya mungkin akan terasa sedikit sulit. Putriku adalah seorang gadis yang pendiam dan cenderung kaku. Dia jarang sekali bahkan hampir tak pernah berinteraksi dengan orang luar. Kondisinya yang tak memungkinkan Raline untuk terlalu banyak beraktivitas dengan normal seperti gadis-gadis seusianya," terang Gandhi sambil terus berjalan di depan Wening. Langkahnya terlihat begitu gagah dan penuh wibawa. Duda satu anak itu tampak sangat berkharisma.

"Tak apa. Selama Raline bersedia menerima saya sebagai perawatnya," sahut Wening pelan menanggapi penjelasan Gandhi. Sesaat kemudian, pria itu menghentikan langkah di depan pintu kayu bercat hitam. Wening berpikir jika itu merupakan pemilihan warna yang sangat aneh.

Gandhi lalu memutar pegangannya, sehingga pintu itu pun terbuka. Seketika, terciumlah wangi aroma buah segar yang menyeruak dari dalam kamar tersebut. Gandhi melangkah masuk. Tak lupa, dia juga mengisyaratkan Wening agar mengikutinya.

Kamar itu terlihat begitu rapi dan sangat nyaman dengan dominasi warna merah hati. Di sana terdapat ranjang berhiaskan kelambu berwarna putih, yang sengaja dibuka dan diikat menggunakan sebuah pita merah pada setiap tiang yang berada di empat sudut ranjang. Seprei yang melapisi kasurnya pun dibuat senada dengan tirai yang menghiasi jendela kaca berukuran cukup lebar, dan berada tak jauh dari tempat tidur tadi.

Di dekat jendela kaca tersebut, tampak seorang gadis belia dengan rambut lurus sebatas lengan, tengah duduk menatap ke luar. Dia terlihat begitu nyaman berada di atas kursi roda. Gandhi kemudian mendekat dan menurunkan tubuh tegapnya di dekat gadis tersebut. Lembut, pria itu menyentuh punggung tangan gadis tadi seraya berkata, "Ada seseorang yang ingin berkenalan denganmu." Suaranya terdengar dalam dan sangat hati-hati.

Gadis yang tiada lain adalah Raline, perlahan mengalihkan pandangan kepada sang ayah. "Aku sudah menunggu dia," balas gadis itu pelan. Nada bicaranya begitu datar dan terdengar sedikit aneh di telinga Wening.

Gandhi kemudian menoleh dan memberi isyarat kepada Wening agar mendekat. Gadis itu pun berjalan dengan perlahan ke arah ayah dan anak tersebut. Ragu sempat menyelimuti perasaan Wening saat itu. Detak jantungnya memacu kian kencang dan membuat gadis berkuncir kuda tersebut merasa sedikit tidak nyaman, terlebih ketika Gandhi berdiri. Dia memutar kursi roda yang diduduki oleh Raline, sehingga gadis itu kini menghadap kepada Wening.

Seketika napas Wening seakan terhenti di tenggorokan dan membuatnya seperti tercekik. Tatap matanya beradu dengan sepasang bola mata tajam milik si gadis. Raline menatap sinis kepadanya. Dia seolah tengah menahan sebuah gejolak yang begitu besar dan tak mampu untuk diungkapkan.

"Hai, Raline. Aku Wening, perawat yang bertugas untuk ...."

"Aku harus memanggilmu apa?" sela Raline membuat Wening kembali tertegun.

"Terserah. Kau boleh memanggilku 'kakak' atau apapun, asal bisa membuatmu nyaman dan pantas untukku," jawab Wening tanpa mengalihkan tatapan dari gadis manis di hadapannya.

Raline mengangguk setuju. "Baiklah, Kak." Gadis itu kembali membalikkan kursi rodanya dan membelakangi Wening. Raline tak menghiraukan dirinya yang mematung di sana. Gadis remaja tadi hanya terus menatap kosong ke luar jendela membuat Wening salah tingkah.

Gandhi paham betul akan gelagat Raline, sehingga dia memutuskan untuk mengajak Wening keluar melalui isyarat tangannya. "Mari kuantarkan ke kamar saudari," bisik pria itu. Rautnya terlihat tegang, dengan langkah terburu-buru. Mereka kembali melewati koridor yang sebelumnya, tetapi kali ini Gandhi berbelok ke kiri dan melintasi dapur. Wanita yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Wening, sedang berada di sana. Dia terlihat sibuk menyiapkan hidangan bersama seorang wanita lainnya.

Dapur itu terlihat mewah dan elegan, sangat berbanding terbalik dengan desain rumah yang terkesan tua dan angker. Di sana terdapat satu pot raksasa yang ditumbuhi pohon palem hias pada sudut ruangan, bersisian dengan lawang kaca dengan dua daun pintu. Gandhi membukanya lebar-lebar, lalu kembali melangkah. Kali ini, mereka melewati kolam renang. Lampu-lampu penerang menyala di tepian kolam, membuat kilauan permukaan air memantul ke wajah duda satu anak tersebut.

"Berapa usia Anda?" tanya Wening tiba-tiba. Posisinya saat itu berada beberapa langkah di belakang Gandhi. Pria yang sedari tadi berjalan cepat, segera tertegun. Sama halnya dengan Gandhi, Wening pun terkejut atas pertanyaan yang seakan tanpa dirinya sadari. Gadis itu seolah tak punya kuasa atas kalimat yang baru saja terlontar dari bibirnya. Dia seperti tak menyadari hal tersebut.

"Saya dulu menikah muda. Awalnya kami berdua dijodohkan, tapi ternyata tak sulit untuk dapat saling jatuh cinta. Namun, sayang sekali karena kisah cinta cinta kami harus berakhir cepat. Ketika Raline berusia tiga tahun, istri saya meninggal karena sakit," terang Gandhi begitu saja. Dia membalikan badan, sehingga posisinya kini balik menghadap kepada Wening. Tatapan mereka saling beradu, sehingga Wening dapat memperhatikan dengan saksama wajah pria itu dari dekat.

"Saya menikah di usia yang ke-22. Sedangkan Raline dilahirkan dua tahun kemudian. Dia kini sudah menginjak lima belas tahun. Saudari bisa menghitung sendiri berapa umur saya," lanjutnya datar. Tak ada lagi kesan ramah dalam nada bicaranya. Namun, wibawa dan kharisma itu masih terlihat dengan begitu jelas, sesuatu yang seakan telah melekat dengan sempurna dalam diri seorang Gandhi Wiratama.

"Saudari bisa tinggal di sini untuk beberapa waktu ke depan, sampai Raline selesai menjalani terapi obat-obatan," ujarnya lagi seraya menunjuk bangunan yang berada di depan Wening. Sebuah paviliun tiga kamar yang menghadap ke arah kolam renang, di mana salah satu satu pintu kamarnya ada yang terbuka. Wening mengalihkan pandangan pada bangunan itu untuk sesaat, sebelum kembali menatap pria di hadapannya.

"Kamar tengah sudah disiapkan untuk saudari tempati. Saya harap, semoga saudari merasa nyaman berada di sini," ucap Gandhi lagi seraya menyodorkan kunci paviliun itu kepada Wening. Dengan segera, gadis berkuncir kuda tadi menerima kunci itu dan menggengamnya. Sementara Gandhi memilih untuk pergi dan meninggalkan Wening begitu saja di sana.

Wening terpaku sejenak menatap bangunan tersebut. Tangan dengan jemari lentik itu mencengkeram tali tas ransel besar yang sedari tadi tergantung di pundaknya. Seorang pria berwajah tampan, keluar dari paviliun dengan pintu yang terbuka tadi. Dia melambaikan tangan kepada Wening dan tersenyum ramah. "Selamat datang," sapa pemuda itu hangat.

Terpopuler

Comments

Mbak R

Mbak R

apa wening akan jadi dengan duda ya?

2023-09-06

1

Yeni Eka

Yeni Eka

menarik bikin penasaran. Semoga sih gak serem2 banget. Biar gak takut bacanya

2022-11-06

1

Anii Anil

Anii Anil

menarik

2022-07-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!