Kisah Kelam Dua Saudara

Wening dan Raline saling pandang. Gadis belia itu memberi isyarat kepada sang perawat agar menolak hal tersebut. Sedangkan Wening berpikir sejenak. Dia harus mencari alasan yang pantas untuk dirinya berikan kepada Gandhi.

"Saya harus mengurusi Raline terlebih dulu," sahut Wening pelan dan terdengar agak ragu.

"Tak apa. Saya tunggu," balas Gandhi. Sesaat dia menoleh kepada Raline. Setelah itu, Gandhi mengalihkan tatapan kepada Wening yang juga tengah menatapnya. Akan tetapi, Wening segera mengalihkan pandangan ke arah lain, ketika mata mereka saling bertemu. Gandhi pun akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar anak gadisnya.

Sepeninggal Gandhi, Wening segera duduk di tepian tempat tidur. Dia menatap Raline yang saat itu terlihat begitu tenang. Gadis berambut lurus tersebut tampak berseri. "Sudah kukatakan bahwa tak ada perawat yang datang kemari dan tak terpikat oleh pesona ayahku. Apakah Kakak juga sudah merasakan hal itu?" Lembut dan terdengar sangat aneh nada bicara Raline di telinga Wening, sehingga dia cukup merinding saat mendengarnya.

"Apa maksudmu, Raline?" tanya Wening tak mengerti. Berada di rumah keluarga Wiratama, telah membuat otaknya seakan tak mau bekerja dengan baik. Dia menjadi kesulitan mencerna setiap hal yang dilihat ataupun didengarnya.

"Jangan berpura-pura padaku. Kakak tak harus mengingkari kenyataan bahwa rasa kagum itu memang ada. Iya, kan?" pancing Raline lagi pelan.

Sementara Wening tidak segera menjawab. Harus dia akui bahwa yang Raline katakan memang benar adanya. Dia sempat menatap pria empat puluh tahun itu dengan penuh kekaguman. Wening bahkan melihat bayangan-bayangan nakal dalam ingatannya.

"Kenapa Ayah menyuruh Kakak untuk ke ruang kerjanya? Ayah bisa bicara langsung di sini. Di hadapanku," ujar Raline lagi.

"Ah, tidak. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku dan pak Gandhi hanya membahas masalah seputar dirimu, tidak lebih dari itu. Tidak ada hal lain yang kami bicarakan," bantah Wening.

“Jadi, seharusnya tidak masalah jika aku ikut mendengarnya, bukan?” Raline menyeringai aneh padanya, membuat Wening mundur perlahan sambil bersedekap. Aura aneh mulai melingkupi ruangan kamar gadis belia itu. Cahaya lampu seakan tak mampu menerangi kegelapan tak kasat mata yang hadir tiba-tiba. Wening merasakan bulu kuduknya seketika meremang. Dia juga mengusap-usap lengan dengan perlahan.

“Katakan apa yang tadi terjadi?” Wening mulai teringat hal aneh setelah dia memasuki kamar itu.

“Apanya?” Raline balik bertanya masih dengan raut wajah yang tak biasa. Ia seperti bukan Raline yang biasanya.

“Dokter Adnan mengatakan bahwa aku sudah berada di sini, padahal aku baru muncul. Berkas-berkas itu juga, kenapa ada di sana? Aku masih ingat dengan jelas, Raline. Aku tidak gila! Berkas-berkas itu kutaruh di lantai paviliun,” jawab Wening setengah panik.

“Aku tahu itu, karena yang datang kemari tadi memang bukan Kakak melainkan hanya seseorang yang menyerupai kakak.” Raline tertawa pelan.

“Siapa?” nada bicara Wening mulai bergetar.

“Entahlah," jawab Raline tak acuh. "Aku rasa mungkin ... Paundra?” Ucapan Raline tadi terdengar seperti sebuah kalimat pancingan.

“Itu tidak mungkin, karena saat itu Paundra tengah bersamaku!" sahut Wening cepat. Dia kemudian tertegun untuk sesaat kala menyadari kalimatnya. Sementara itu, Raline hanya tersenyum menanggapi jawaban dari Wening.

“Jadi, Paundra sedang ada di kamar Kakak? Sedang apa dia? Laki-laki kurang ajar itu tidak hendak mencelakai Kakak, bukan?” Sorot mata serta senyum Raline terlihat semakin aneh. Kata-katanya juga tidak mencerminkan gadis seusianya.

“Tidak, dia hanya … dia hanya .…” Kata-kata Wening terhenti. Entah kenapa, lidahnya serasa kelu saat akan menjelaskan maksud dari kehadiran sosok Paundra di depannya beberapa saat lalu.

“Apa dia mengatakan sesuatu kepada Kakak?” Mata indah Raline menatap tajam terhadap Wening, seolah menembus dada dan menikam jantungnya.

Wening pun mulai dapat merasakan perbedaan aura itu dengan semakin jelas. Instingnya mengatakan bahwa dia tidak boleh mengatakan apa-apa kepada Raline saat ini, karena Wening merasa jika gadis itu merupakan sosok berbeda. Sementara itu, Raline memandangnya tanpa berkedip sama sekali.

"Istirahatlah, Raline. Aku akan kembali setengah jam lagi,” pungkas Wening pada akhirnya. Dia memutuskan untuk meninggalkan gadis itu di sana. Wening ingin mencari udara sejenak, karena kamar Raline saat itu terasa begitu pengap bagi dirinya. Tak lupa Wening menutup pintu rapat-rapat, kemudian melanjutkan langkah menuju ruang kerja Gandhi.

Detak jantung Wening saat itu benar-benar tak beraturan, saat membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan bertemu dengan Gandhi. Entah kenapa perasaan itu tiba-tiba muncul, padahal sebelumnya dia merasa biasa saja terhadap duda satu anak tersebut.

Dengan tangan gemetar, Wening mengetuk pelan pintu ruangan. “Masuk!” seru suara Gandhi dari dalam sana. Wening pun membuka pintu itu lebar-lebar. Dia mengangguk pelan, lalu duduk di kursi yang terletak di depan meja kerja Gandhi.

“Pak,” sapanya pelan, saat Gandhi terus memandang ke arahnya dengan sorot mata yang penuh arti. Wening sampai salah tingkah hingga mengeluarkan keringat dingin, saat Gandhi tak berhenti mengikuti ke mana arah matanya. “Apa ada yang salah pada diri saya, Pak?” Wening memberanikan diri untuk bertanya.

“Eh ma’af. Aku ... maksudku, saya … ehm ....” Gandhi terbata dan terlihat sama kikuknya dengan Wening. Dia menggaruk tengkuk, kemudian menunduk dan meraih beberapa kertas yang berserakan di atas meja lalu menatanya. “Beberapa jam terakhir ini saya menjadi kurang fokus. Saya sendiri tidak tahu kenapa,” ujarnya dengan posisi yang masih tetap menunduk.

“Bukankah tadi Anda mengatakan ingin berbicara dengan saya?” Wening memajukan kursinya dengan tujuan supaya dapat mendengar jelas penuturan Gandhi nantinya. Hal itu ternyata malah membuat Gandhi semakin salah tingkah. Pria itu bersikap seperti seorang remaja putra yang bertemu dengan gadis pujaan hatinya.

"Ah iya." Gandhi mengangguk. Dia lalu mendehem beberapa kali demi menetralkan rasa aneh dalam dirinya. "Ya, Suster. Saya hanya ingin bertanya sesuatu." Gandhi memulai perbincangannya dengan Wening. Dia berusaha untuk tetap terlihat berwibawa di hadapan gadis itu.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu Suster selama berada di sini? Saya takut jika Anda merasa tidak nyaman atau semacamnya. Bagaimanapun juga, saya ingin agar Raline dapat dirawat dengan baik. Akan tetapi, entah mengapa sepertinya Suster Wening merasa begitu tertekan." Gandhi kembali menatap lekat gadis yang masih memakai seragam keperawatannya.

"Jika memang ada sesuatu yang membebani Suster Wening selama berada di sini, maka saya harap sebaiknya segera diungkapkan. Anda tidak perlu khawatir, karena saya orang yang berpikiran terbuka dan modern," bujuk Gandhi lembut.

"Apakah Anda memang memiliki saudara, Pak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Wening, membuat Gandhi seketika terkejut.

"Bagaimana Suster bisa mengetahui hal itu?" selidik Gandhi yang menunjukkan raut heran.

"Jadi itu benar. Baiklah." Bukannya menjawab pertanyaan Gandhi, Wening malah mengangguk-angguk perlahan.

"Ya. Saya mempunyai dua saudara perempuan. Satu kakak, dan satunya lagi adalah adik. Namun, mereka berdua telah tiada sejak kami masih kecil," terang Gandhi. Sedangkan Wening mendengarkan penuturan pria itu dengan serius.

"Kakak pertama saya meninggal saat masih berusia sepuluh tahun. Dia terjatuh dari lantai dua rumah, dengan kepala yang mendarat terlebih dahulu. Sementara adik saya, meninggal saat bermain di halaman belakang. Dia meninggal karena tenggelam," tutur Gandhi.

Terpopuler

Comments

dewi

dewi

ikutan ngeri bacany hiiii

2022-12-08

1

Rania puspa

Rania puspa

mkin ksini mkin ngeri bcanya takut eeeuyyy

2022-07-17

0

Fay

Fay

😱😱

2022-07-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!