Ritual Nyawa

Cukup lama mereka terhanyut dalam ciuman itu. Bayangan-bayangan aneh mulai muncul dan berseliweran dalam ingatan keduanya. Sebuah dunia yang sangat asing dan terlihat sangat berbeda. "Sentanu ...." Terdengar suara seorang wanita yang begitu lembut menyebutkan nama itu.

Tak berselang lama, Wening melihat bayangan Raline yang tengah meringis kesakitan, membuat gadis itu tersentak. Wening seketika membuka mata dan melepaskan dirinya dari Gandhi. "Raline!" ucapnya resah. Tanpa banyak bicara, dia bergegas keluar dari ruang kerja itu. Wening meninggalkan Gandhi yang masih terpaku dan menyadari apa yang baru saja dia lakukan bersama gadis itu.

Setengah berlari, Wening menuju ke kamar Raline. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika dia melihat Paundra yang berdiri menghadang. Pria itu menatap tajam ke arahnya. Akan tetapi, Wening bersikap tak peduli. Dia bermaksud untuk menerobos ke arah pria itu berada. Ketika Wening sudah mendekat, Paundra segera merentangkan tangannya ke samping dan menghalangi langkah gadis itu. "Minggirlah! Aku sedang terburu-buru!" sergah Wening seraya mendelik kepada pria bermata tajam tersebut.

"Kenapa kau harus terburu-buru, Nirwasita?" tanya Paundra datar.

"Jangan panggil aku dengan nama itu!" protes Wening cukup tegas.

"Itu memang namamu." Paundra menegaskan.

"Namaku Wening, hanya Wening!" tegas gadis berkuncir kuda itu. Dia melawan tatapan Paundra dengan tajam. Semenjak berada di rumah itu, Wening seperti mendapatkan sebuah nyawa yang membuatnya terlihat jauh lebih hidup. Rentetan kejadian aneh yang melelahkan, memaksa dirinya untuk mengeluarkan segenap emosi dan tenaga yang selama ini tersimpan dan seakan mengendap dengan begitu dalam.

Paundra berjalan mendekat. Entah mengapa karena tiba-tiba Wening tak mampu untuk bergerak. Gadis itu berdiri terpaku dengan sangat kencang di tempatnya berada. Perlahan, Paundra mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah wajah Wening. Seperti yang dilakukannya tempo hari, dia menempelkan ujung telunjuknya di antara kedua alis tebal Wening.

Gadis itu pun memejamkan mata. Wening merasakan jika tubuhnya begitu ringan dan seakan melayang, hingga akhirnya berhenti pada sebuah pelataran yang tidak terlalu luas.

Wening mengedarkan pandangannya pada sekitar tempat tersebut.

Pelataran itu dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang dan cukup besar. Salah satunya menjadi tempat dia bersembunyi dari orang-orang yang saat itu tengah berkumpul di sana. Tampak beberapa orang wanita dengan kemben dan selendang berwarna merah, sedangkan para pria bertelanjang dada.

Tak berselang lama, terlihat dua orang pria bertubuh tegap menggiring seorang wanita muda ke arah altar, yang terdapat di tengah-tengah pelataran tersebut. Wanita itu dalam keadaan tanpa busana, berjalan dengan tatapan kosong dan membaringkan dirinya di atas meja altar yang terbuat dari batu. Kedua pria tadi lalu mengikat tangan dan kaki wanita muda tersebut pada tiang di setiap sudut meja. Setelah selesai, mereka kemudian bergerak mundur dan berdiri tak jauh dari sana.

Angin malam berembus dengan tidak terlalu kencang. Namun, obor-obor yang terpasang di beberapa sudut pelataran tampak bergerak-gerak dan bahkan seperti hampir padam. Tak berselang lama, muncul sesosok wanita berambut panjang bergelombang dari atas. Entah dari mana, Wening pun tak mengerti. Tak mungkin jika wanita dengan tubuh berselubung cahaya berwarna merah menyala tersebut turun dari langit. Akan tetapi, bukan hal tersebut yang menjadi perhatian Wening saat itu.

Tatapan Wening tak teralihkan dari sosok berselubung cahaya merah itu. Dia bahkan tak dapat melihat dengan jelas, seperti apa penampilan asli dari wanita yang kini berjalan mengitari altar dengan wanita yang terlihat sudah berada dalam pengaruh sihir karena tak berontak sedikit pun. Namun, semua pengaruh yang menguasai wanita muda tadi seketika sirna, saat wanita berselubung cahaya merah tersebut menyentuh leher dan menusukkan kuku tajam dari telunjuknya.

Wanita muda itu tersentak. Dia terperanjat kaget dan meringis sambil mendelik kepada wanita berselubung cahaya merah tadi, yang kini tengah mencicipi darah segar dari ujung kukunya.

Wanita berselubung cahaya merah itu menyeringai. Sementara semua yang berada di sana menunduk sambil merapalkan sesuatu seperti sebuah puja-puji atau mungkin sejenis mantra. Wening tak dapat memahami bahasa yang mereka gunakan dalam mantra-mantra yang dirapalkan. Semuanya terdengar sangat aneh di telinga gadis itu.

Beberapa saat kemudian, wanita yang terlihat menakutkan itu merentangkan kedua tangannya ke samping. Seorang pria maju dan berdiri tepat di dekat bagian kepala wanita muda yang terbaring di atas altar. Pria itu kemudian memegangi dagu si wanita muda dan mengangkatnya, hingga dia mendongak kepada pria tadi. Sedangkan mantra-mantra terus dibacakan dengan semakin cepat, mengiringi sebuah kengerian yang membuat lutut Wening lemas seketika.

Wanita muda di atas altar memekik tertahan ketika pria itu mulai menggorok lehernya, seperti seseorang yang tengah menyembelih seekor ayam. Tampak kedua kaki si wanita terus bergerak menahan sakit yang pastinya begitu menyiksa. Darah mengucur deras dan membasahi altar. Pria itu kemudian menyerahkan pisau yang telah berlumur darah kepada wanita berselubung cahaya merah, membuatnya kembali menyeringai puas. Dia lalu berjalan mendekat dan menusukkan pisau tadi, pada dada wanita muda yang tengah meregang nyawa. Pisau itu bergerak turun membelah dada dan perut hingga berhenti di dekat pusar.

Bau anyir darah menyeruak di tempat tersebut. Wening semakin merasa tak tahan untuk berlama-lama di sana, ketika dia menyaksikan wanita mengerikan yang terlihat seperti seorang iblis, tengah asyik menyantap organ dalam dari korban persembahannya. Segera Wening membalikan badan dan berlari menjauh dari tempat terkutuk itu.

Wening memang sudah terbiasa melihat luka dan darah. Akan tetapi, menyaksikan hal mengerikan seperti tadi, nyatanya dia tetap merasa tak sanggup. Kejadian tersebut adalah sebuah kegilaan yang benar-benar brutal. Wening tak habis pikir dengan orang-orang yang tega melakukan hal seperti itu.

Gadis berkuncir kuda itu semakin mempercepat langkahnya. Dia tak tahu kini dirinya sedang berada di mana. Wening hanya mengikuti insting, ke mana langkah kaki akan membawa dirinya dalam keadaan malam yang gelap. Tak jarang, gadis itu menabrak ranting-ranting yang menghalangi geraknya. Keremangan cahaya rembulan pun seakan tak membantu sama sekali.

Lelah, Wening terengah. Dia seolah tak menemukan jalan untuk keluar dari sana. Dirinya malah terjebak di tempat asing. Wening berdiri dan mengedarkan pandangan. Dia tak tahu harus ke mana saat itu. Sekelilingnya terlihat sama.

"Tidak! Aku harus segera kembali," gumamnya lirih. Di saat seperti itu, sebuah tepukan dari arah belakang mendarat di pundaknya. Refleks Wening tersentak dan menoleh. Dia langsung menghambur ke dalam pelukan seseorang yang berdiri di sana. "Pak Gandhi!" ucapnya merasa lega.

Terpopuler

Comments

Rania puspa

Rania puspa

mngkin gandhi & wening psangan kekasih di kehidupan sebelumnya trs paundra itu siapa knp tb² baik tb² jahat si

2022-07-17

1

Fay

Fay

🙄😬

2022-07-12

0

𝓜𝓪𝔀𝓪𝓻

𝓜𝓪𝔀𝓪𝓻

Semakin rumit cerita nya.

2022-06-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!