Tamu di Bawah Pohon

Wening menautkan alis karena merasa tak mengerti. Gadis dua puluh lima tahun tersebut mengusap tengkuk kepalanya beberapa kali. Namun, dia tak ingin membahas hal itu dengan lebih lanjut. "Baiklah, Teh. Saya masuk dulu." Wening bermaksud untuk kembali ke dalam rumah.

Sebenarnya gadis itu merasa canggung untuk berbasa-basi dengan orang lain. Wening pun membalikan badan. Namun, baru saja dia hendak melangkah, wanita tadi kembali berbicara, "Beberapa hari yang lalu, Teteh melihat ada ibu-ibu datang dan berdiri di depan rumah Neng. Namun, dia pergi dengan terburu-buru saat Teteh keluar dan berniat menghampirinya. Teteh tidak tahu dia siapa," terang teh Imas.

Sementara gadis berkuncir kuda itu hanya terdiam dan berpikir. Dia mencoba menerka kira-kira siapakah wanita yang dimaksud.

"Oh, mungkin itu tante saya, Teh. Sudah lama dia tidak datang berkunjung." Wening memaksakan diri untuk tersenyum, agar dia tidak terlalu tampak kebingungan di depan tetangganya tadi.

"Oh, begitu. Ya, sudah. Takutnya dia seseorang yang berniat tidak baik, Neng," ujar teh Imas lagi yang kembali berbalas sebuah senyuman kecil dari Wening.

"Saya permisi dulu, Teh." Wening mengangguk pelan kemudian berbalik. Dia segera masuk dan menutup pintu rumah rapat-rapat. Wening terdiam sesaat sambil mengatur napas, mencoba menghilangkan semua kilasan peristiwa mengerikan yang muncul dan mengusik hidupnya. Setelah dua puluh lima tahun berlalu, tetapi bayangan-bayangan aneh itu baru muncul saat ini.

Wening kemudian mengedarkan pandangan pada setiap sudut ruang tamu. Dia lalu memeriksa ke bagian dalam. Suasana begitu sepi, tak ada apapun yang mencurigakan di sana. Bercak darah yang tadi menetes dari tubuh gadis berkalung rantai pun, hilang dan tak berbekas sama sekali di lantai ruang makan itu. Wening menghela napas pelan dan mengempaskannya dengan penuh keluhan. Tak berselang lama, terdengar suara ponselnya berbunyi dengan cukup nyaring. Dia bergegas menuju ke kamar dan memeriksanya. Nama Gandhi tertera di sana.

Sesaat gadis berwajah pucat itu hanya menatap dan membiarkan ponsel itu berdering. Satu lagi yang menjadi tanda tanya bagi dirinya, yaitu tentang sosok Gandhi atau Sentanu. Pria berusia empat puluh tahun tersebut seakan terus menggoda keteguhannya. Dua kali dia merasakan sentuhan bibir duda satu anak itu. Sedangkan dirinya tak kuasa untuk menolak.

Sekali lagi, ponsel milik Wening berbunyi. Nama Gandhi kembali muncul. Untuk kali ini, Wening terpaksa menjawab panggilan tersebut. "Pak Gandhi?" sapa Wening pelan.

"Apa suster sedang tidur?" Terdengar suara berat Gandhi dari seberang sana.

"Um, tidak. Saya dari dapur," jawab Wening masih dengan nada bicara yang sama.

"Raline terus menanyakan keadaan suster. Dia ingin suster segera kembali," ucap Gandhi lagi. Dia terus meminta Wening agar segera kembali ke tempatnya.

"Kita sudah membahas hal itu tadi siang, pak. Saya tidak yakin jika anda belum memahaminya," jawab Wening. Dia tetap menolak untuk untuk kembali dalam waktu dekat, berhubung dirinya memang sudah mengambil izin cuti selama satu minggu.

Hingga panggilan itu berakhir, Wening tetap menolak permintaan Gandhi meskipun pria itu mengiming-imingi dirinya dengan bonus besar di luar gaji yang gadis itu dapatkan. Alhasil, Gandhi pun harus menerima keputusan Wening dengan rasa kecewa.

Senja berlalu dengan cepat dan berganti malam yang sunyi. Tak ada suara selain detikan dari jarum jam yang terdengar dan menghiasi kamar Wening. Gadis berambut panjang tersebut sudah tertidur dengan lelap berhubung saat itu waktu telah menunjukkan pukul satu tiga puluh malam.

"Wening ...." Tiba-tiba terdengar panggilan seorang wanita entah dari mana datangnya. Suara wanita itu sedikit parau dan seperti sebuah hembusan angin semata.

"Wening ...." Kembali terdengar suara tadi dengan semakin jelas di telinga Wening, membuat gadis itu seketika terjaga dari tidurnya. Sepasang bola mata berwarna hitam milik Wening, bergerak dengan tak beraturan. Sedangkan tubuh gadis tersebut masih telentang di dalam balutan selimut.

"Wening ...."

"Siapa?" tanya Wening pelan. Perlahan dia menyibakan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Ragu mulai mendera kini, tetapi rasa penasaran dalam hati jauh lebih berkuasa. Gadis itu pun beranjak dari tempat tidur dan membiarkan rambut panjang yang selama ini selalu dirinya ikat, tergerai dengan indah.

Diraihnya gagang pintu, lalu dia putar perlahan. Wening kemudian berjalan keluar dari dalam kamar. Matanya awas menyapu setiap sudut ruangan dengan lampu temaram berwarna kuning. Akan tetapi, dia tak menemukan siapa pun di sana. Wening pun melangkah ke ruangan lain.

"Wening ... keluarlah." Terdengar lagi suara parau tadi, membuat Wening semakin penasaran. Dia terus melangkah menuju pintu utama. Namun, perasaan gadis itu kian was-was ketika jemari lentiknya mulai menggenggam gagang pintu.

Wening mengatur napas agar lebih tenang.

Diputarnya gagang pintu tersebut dengan perlahan. Angin malam berembus masuk menerpa wajah cantiknya, hingga rambut panjang itu sedikit tersibak ke belakang.

“Siapa di situ?” tanya Wening ragu. Matanya menangkap sebuah bayangan di bawah pohon rindang yang berada di halaman rumah yang cukup luas dan asri.

“Siapa?” ulang Wening seraya berjalan mendekati sosok tersebut, sehingga kini tampak jelas seseorang yang telah berkali-kali memanggil namanya tadi.

Seorang wanita berambut hitam dan panjang, berdiri membelakangi dengan kepala menunduk. Pakaiannya yang berwarna putih tampak lusuh. Terdapat noda serupa tanah yang menempel di sana sini. Bagian bawahnya pun compang-camping dan sobek di beberapa tempat. Wening berdiri dengan memberi jarak antara dia dan wanita itu.

“Kau siapa?” tanya Wening lagi.

Akan tetapi, wanita itu malah terdiam. Penasaran, Wening berniat menghampiri dan menyentuh bahunya. Namun, sebelum itu terjadi, wanita tadi lebih dulu menangis tersedu. “Tolong aku, Wening. Tolong ....” ucapnya lirih sambil terisak.

“Apa yang bisa kubantu?” Wening bersuara pelan. Tiba-tiba saja hawa dingin menyergap. Dia yang saat itu hanya memakai piyama, langsung bersedekap sambil mengusap-usap lengannya.

Wanita itu berbalik perlahan. Dia masih tetap menunduk, seolah tak ingin Wening melihat wajahnya. “Tolong aku. Aku sangat takut. Kalajanggi telah kembali. Aku takut,” racau si wanita dengan suara yang terdengar sangat aneh, seakan tak bertenaga sama sekali.

Mendengar nama Kalajanggi, Wening segera mundur beberapa langkah. “Kau siapa? Bagaimana kau tahu tentang Kalajanggi?” tanyanya dengan nada bergetar.

“Aku adalah salah seorang korbannya. Malam itu aku baru pulang dari pendopo desa, tapi iblis tersebut menghadang dan membawaku,” jawab wanita misterius itu.

“Dia menjadikanku sebagai tumbal, Wening.” Wanita tadi menangis dan mendongak, memperlihatkan wajahnya yang ternyata hancur sebagian. Sebelah dari bola mata si wanita hilang, dengan bibir yang sobek dan dagingnya seperti hendak terjatuh.

Wening memekik cukup kencang saking terkejut. Kakinya hendak bergerak menjauh dan masuk kembali ke dalam rumah. Akan tetapi, seakan ada kekuatan yang membuat tubuhnya tetap menancap di tempat dia berdiri.

“Dengarkan aku, Wening. Sekarang Kalajanggi bangkit lagi. Dia berniat menyelesaikan ritual dan sesembahannya. Kau harus menghentikan sebelum dia menjadi benar-benar kuat dan tak terkalahkan,” tutur wanita berwajah mengerikan tadi.

“Kenapa aku? Kenapa harus diriku?” Wening bertanya dengan setengah menggumam seperti pada diri sendiri. Matanya pun mulai berkaca-kaca.

“Karena itu sudah menjadi tugasmu! Kau merupakan keturunan sekaligus titisan Nirwasita, pembasmi iblis yang sempat merampas serta membakar jantung Kalajanggi. Ada seseorang yang dengan sengaja berusaha membangkitkan iblis jahanam itu,” jawab wanita tadi. Suaranya makin lama semakin pelan.

“Siapa seseorang yang kau maksud?” tanya Wening dengan raut takut bercampur heran.

Wanita itu menggeleng. “Aku tidak tahu. Namun, aku bisa merasakan jika mereka sedang mencari korban untuk dipersembahkan di malam purnama, tujuh hari dari sekarang.”

Si wanita menatap Wening dengan sorot mengerikan. “Kau yang memiliki kekuatan itu, Wening. Bebaskan aku. Bebaskan kami semua.” Selesai berkata demikian, wanita itu kembali menunduk. Kini, perempuan berpakaian putih tadi tak hanya ada satu. Tiba-tiba sosok lain dengan bentuk sama, mulai bermunculan memenuhi halaman rumah Wening.

Terpopuler

Comments

Rania puspa

Rania puspa

aduuh maju mundur aku bcanya tk ulang² terus smbil nemenin anak ngerjain Pr klo sndri gk wani sumpah 😅😅

2022-07-17

1

Umi Akhmad

Umi Akhmad

Si othor kayanya pawang hantu nich kaga ada takutnya

2022-07-16

1

Fay

Fay

Thor km nulis cerita ini takut jg ngk ya ? Sy bacanya aja takut atw memang sy penakut kali ya😬

2022-07-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!