Sentanu, Kekasih Masa Lalu

"Suster Wening. Saya tadi ke rumah sakit. Saya pikir Suster masih di sana," ucap Gandhi menatap Wening dengan penuh arti. Sementara Wening pun melakukan hal yang sama. Gadis itu mengangguk pelan. Dia masih terlihat bingung harus berkata apa, terlebih karena Gandhi terus saja memandangnya dengan lekat.

Anggita yang melihat hal itu, merasa tak nyaman sendiri. Dia risih dan menjadi salah tingkah. Anggita pun memutuskan untuk berpamitan. "Ning, aku pergi dulu. Cepat bertugas lagi, ya," ucapnya seraya menyentuh lengan Wening yang saat itu hanya mengenakan T Shirt polos dengan rok plisket pendek.

Wening mengangguk pelan. "Terima kasih, Git," ucapnya tanpa ekspresi sama sekali. Dia memperhatikan rekan kerjanya yang berpamitan kepada Gandhi, kemudian berlalu menuju motor di halaman depan rumah.

Setelah Anggita pergi, Wening kemudian mempersilakan Gandhi untuk masuk dan duduk. "Sebentar, Pak. Saya ambilkan minum untuk Anda." Wening bermaksud untuk beranjak ke dapur. Akan tetapi, dengan segera Gandhi mencegahnya. Wening pun tertegun dan menoleh.

"Tidak perlu repot-repot, Suster," ucap duda tampan itu. "Saya kemari hanya ingin melihat kondisi Suster," lanjutnya kembali menghujani Wening dengan tatapan lekat.

"Saya baik-baik saja, Pak. Saya hanya membutuhkan istirahat dan sedikit menenangkan diri," sahut Wening datar.

"Suster terlihat sangat pucat. Apa Suster yakin baik-baik saja?" Gandhi melangkah ke dekat Wening berdiri. Sedangkan gadis itu hanya diam terpaku menatap Gandhi yang kini telah berada tepat di hadapannya. "Duduklah. Bukankah suster harus banyak istirahat?" Gandhi meraih tangan Wening dan mengajaknya kembali menuju kursi. Wening pun tak menolak. Dia menurut saja, ketika pria itu menuntunnya hingga duduk di atas kursi rotan panjang.

"Saya seperti kehilangan banyak energi. Entah kenapa, hal itu membuat saya menjadi kebingungan dengan diri sendiri dan juga lingkungan di sekitar," jelas Wening dengan setengah mengeluh. "Rasanya begitu lemas dan melelahkan," lanjut gadis itu lagi pelan. Dia yang sejak tadi lebih banyak diam di depan Anggita, kini mulai mengeluarkan suaranya.

Sementara itu, Gandhi terus menatap gadis yang kini duduk tepat di dekatnya. "Kau membutuhkanku, Nirwasita. Aku adalah sumber energi bagimu," racau Gandhi tiba-tiba, bersamaan dengan pintu yang seketika tertutup sendiri.

Wening tersentak dan sempat menoleh ke arah pintu tersebut. Sementara Gandhi masih tetap menatapnya tanpa berpaling sedikit pun. "Saya Wening, Pak. Nama saya bukanlah Nirwasita," bantah Wening dengan suara yang cukup lirih. Dia sudah terlalu lelah dengan semua itu. Lagi-lagi, nama tersebut kembali dirinya dengar dan menghadirkan rasa muak. "Saya tidak menyukai nama itu sama sekali," ucap Wening lagi.

"Kau boleh tidak menyukai nama tersebut, tapi memang itulah dirimu yang sebenarnya. Kau adalah Nirwasita, sang pembasmi dan pembebas," ujar Gandhi dengan gaya bicara yang lain dari biasanya.

"Saya hanyalah seorang perawat, tidak lebih dari itu," tegas Wening. "Saya tak ingin menjadi pembasmi ataupun pembebas. Saya hanya ingin menjadi perawat. Itu saja!" Wening berdiri dari duduknya dan berniat menjauh dari Gandhi. Akan tetapi, pria itu lebih dulu mencekal pergelangan tangannya, kemudian ikut berdiri.

"Lalu apa yang akan kau lakukan jika semua ini adalah takdirmu, Nirwasita?" tatapan Gandhi terlihat semakin tajam, begitu menghujam hingga terasa amat menyakitkan ketika Wening berusaha untuk melawannya.

"Hampir seratus tahun yang lalu, kita ... kau dan aku ...." Gandhi tak melanjutkan kata-katanya, ketika dia melihat Wening bergerak mundur. "Jangan takut padaku," pintanya.

"Siapa kau? Kau bukan pak Gandhi," tolak Wening. Gadis itu terus mundur hingga punggungnya menyentuh dinding penyekat ruangan. Sementara pria itu masih berdiri menatapnya.

"Siapa aku? Aku adalah Sentanu. Kekasihmu," jawaban yang membuat Wening seketika mengernyitkan kening. Entah kegilaan macam apa lagi yang tengah dia hadapi saat ini. Wening bahkan masih belum dapat memahami sosok Paundra, dan kini dia dihadapkan pada seseorang yang menyerupai Gandhi serta mengaku bernama Sentanu, kekasihnya.

"Hampir seratus tahun yang lalu, ketika kemiskinan melanda perkampunganku karena sebuah wabah penyakit mematikan. Seseorang bernama Kala Manggali, datang dan menjadi sumber penyembuh. Semua warga kembali sehat seperti sedia kala, sehingga menimbulkan sanjung puji bagi wanita itu. Makin lama, dia semakin berkuasa dan dianggap sebagai dewa. Terlebih karena Kala Manggali ternyata dapat memberikan kekayaan yang berlimpah pada siapa pun yang bersedia melakukan perjanjian dengannya. Tak terkecuali keluargaku. Orang tuaku menjadi salah satu yang tersesat, di antara sekian banyak orang-orang berdosa lainnya." Pria yang mengaku bernama Sentanu itu kemudian memilih untuk kembali duduk di kursi rotan tadi.

"Lalu, apa yang terjadi? Apakah ritual yang kulihat kemarin adalah salah satunya?" tanya Wening mulai tertarik dengan cerita Sentanu.

Pria yang tengah duduk tadi segera mengangguk. "Ya, kau benar. Pada malam-malam tertentu, Kala meminta tumbal seorang perawan dari anggota keluarga. Namun, jika anggota keluarga sudah tidak memilikinya, maka mereka boleh mencari seorang kerabat terdekat dengan syarat masih perawan," terangnya lagi.

"Tentu saja, aku tak pernah menyetujui hal itu. Begitu juga dengan Paundra, putra dari Kala Manggali yang makin lama menyebut dirinya sebagai Kalajanggi. Kami berdua menentang hal tersebut, hingga akhirnya datang seorang pria bernama Antasena dengan membawa anak gadisnya, Nirwasita," tutur pria itu lagi. Sedangkan Wening masih berdiri sambil bersandar pada dinding.

"Antasena juga menentang kebodohan yang dilakukan warga kampung. Dia dengan segenap kekuatan yang dimilikinya melawan Kalajanggi, begitu juga dengan Nirwasita. Akan tetapi, Kalajanggi terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Antasena kalah, tapi dia berhasil membuat Kalajanggi tertidur. Namun, Antasena mengatakan bahwa suatu saat nanti Kalajanggi akan terbangun, dan ternyata itu benar adanya. Kalajanggi murka dan membalas dendam. Dia menghabisi semua orang. Siapa pun yang ditemuinya, tak terkecuali diriku. Aku mati di tangannya, tapi aku masih sempat melihatmu melawan iblis itu. Aku tidak tahu apakah kau tewas atau tidak Nirwasita. Satu hal yang pasti, ada seseorang yang membisikkan sesuatu padaku. Suara itu mengatakan bahwa aku dan dirimu akan terlahir kembali untuk menyelesaikan sesuatu yang belum tuntas,” jelas Sentanu. Sesaat kemudian, pria itu memegang pelipis sembari memejamkan mata rapat-rapat. Tubuhnya bergerak semakin condong ke depan.

“Pak?” Wening yang merasa curiga segera mendekati pria itu. Tepat pada saat tubuh Sentanu ambruk ke lantai, saat itulah Wening meraih dan menahan sekuat tenaga. Apa daya, postur Gandhi yang tinggi dan jauh lebih besar dari Wening, membuat gadis itu kesusahan. Wening tak kuasa menahan bobot pria itu, sehingga dia ikut jatuh terjerembab ke atas tubuh tegap Sentanu alias Gandhi.

“Suster Wening?” Pria yang ada di bawahnya kini tiba-tiba terbelalak dengan wajah memerah.

“Pa-pak Gandhi?” Wening segera berdiri ketika menyadari bahwa sosok Sentanu sudah berganti menjadi Gandhi. “Sa-saya bisa jelaskan, Pak. Itu tadi Bapak ….”

“Tidak apa-apa, saya mengerti,” potong Gandhi. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk celana bagian belakang.

“Apa Bapak juga ikut melihatnya? Tentang apa yang saya alami beberapa hari yang lalu itu?” Wening memberanikan diri menyentuh dada Gandhi dan mendekatkan wajahnya pada pria itu.

“Saya .…” Gandhi tampak gugup sampai harus menelan ludah berkali-kali. “Saya bisa mengingat semuanya sejak suster pingsan di depan ruang kerja, tapi .…” Gandhi menjeda kalimatnya sejenak. “Saya jadi sering tak sadarkan diri,” sambungnya.

“Maksud Anda?” Wening menatap lekat-lekat bola mata hitam milik Gandhi.

“Seperti beberapa menit yang lalu. Saya hanya bisa mengingat ketika suster hendak mengambilkan saya air minum, lalu tiba-tiba saja tubuh Suster sudah berada di atas tubuh saya,” jawabnya dengan ragu, dan seketika menimbulkan sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik di pikiran Wening.

"Baiklah. Saya ingin menanyakan satu hal lagi kepada Anda," ucap Wening kemudian.

"Tanyakan saja," sahut Gandhi mulai terlihat tenang.

"Waktu itu ... apakah Bapak ingat ketika Anda mencium saya?" Wening menundukkan wajahnya setelah menanyakan hal tersebut. Sementara Gandhi pun terlihat semakin kikuk.

Terpopuler

Comments

Fay

Fay

🙄🤔😁

2022-07-12

0

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

pak gandhi dan wening adalah sosok reinkarnasi y

2022-06-12

0

VR Sandita

VR Sandita

favorit lah ini... apik banget ceritanya. Ditunggu up nya Thor.

2022-06-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!