Cantik
Ingin rasa hati berbisik
Untuk melepas keresahan
Dirimu
O cantik
Bukan kuingin mengganggumu
Tapi apa arti merindu
Selalu (ow)
Nyanyian pengamen pasar membuat Devan tersenyum senyum sendiri. Bagaimana bisa, mereka seolah tahu apa yang ada dipikirannya. Lagu cantik milik kahitna mereka nyanyikan dalam versi koplo dengan instrumen dan suara ala kadarnya. Sangat jauh dari kata bagus. Tapi tetap saja, terdengar syahdu ditelinga seorang Devan.
Walau mentari terbit di utara
Hatiku hanya untukmu
Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja kan kubalas seisi jiwa
Tiada lagi
Tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan
Sungguh aku sayang kamu
Berbeda dengan Devan. Pikiran Mila justru melayang pada Elgar. Pria itu, apakah dia sudah sarapan? Atau mungkin masih tidur. Atau bahkan sudah pulang?
"Suka sotonya?"
"Hah."
Pertanyaan Devan membuat Mila yang sedang melamun jadi gelagapan.
"Kamu kenapa sih? kelihatannya gak nyaman gitu? Kamu gak suka sotonya, apa gak suka makan bareng saya?"
Mila seketika menggeleng. "Bukan, bukan seperti itu, saya...saya ha..."
"Hanya canggung."
"Iya." Jawabnya sambil mengangguk.
Obrolan mereka terhenti saat seorang anggota pengamen mendatanginya sambil membawa bungkus permen yang dijadikan wadah uang.
Devan mengambil uang berwarna biru dan memasukkan kedalam wadah tersebut. Mata orang itu seketika berbinar. Dan mulutnya, berkata wow meski tanpa suara.
"Terimakasih banyak Mas Bro." Serunya dengan penuh suka cita.
"Saya doakan makin banyak rejeki. Langgeng terus sama mbaknya yang cantik ini."
Devan seketika terkekeh, sedangkan Mila hanya bisa membuang nafas kasar. Untuk kesekian kalinya, kejadian seperti ini terjadi lagi.
Pria itu mengangkat uang lima puluh ribu dari Devan dan menunjukkan pada temannya. Seketika teman temannya makin bersemangat menyanyi.
Setelah pengamen itu pergi, Devan kembali ke topik obrolan.
"Apa yang membuatmu canggung ketika bersama saya?"
Mila awalnya ragu untuk menjawab, tapi akhirnya, dia jawab juga.
"Status sosial."
Devan seketika tergelak. "Status sosial yang seperti apa? Bos dan bawahan?"
Mila menjawabnya dengan anggukan.
"Dikantor, mungkin itu benar. Tapi diluar kantor." Devan menggeleng. "Kita tidak ada bedanya. Tidak ada sekat yang membatasi kita. Tidak ada si kaya dan si miskin. Serta tidak ada bos dan bawahan. Kamu harus bisa membedakan ruang lingkupnya. Kamu tahu kenapa saya bisa banyak kenal orang orang disini?"
"Kenapa, karena sering kesini?" tebak Mila.
"Lebih dari sering. Saya tumbuh besar disini."
"Maksudnya?"
"Almarhum ibu saya, dulunya pedagang buah dipasar ini. Jadi sejak kecil, saya terbiasa membantu ibu berjualan."
Mila tak mengira jika Devan berasal dari kelas menengah kebawah. Dia pikir, menantu Pak Dirga juga pasti berasal dari kelas atas.
"Kerja keras dan faktor keberuntungan yang membawa saya berada di titik ini. Saya tidak seperti Pink yang begitu lahir langsung kaya. Saya hanya orang biasa. Anak dari penjual buah di pasar dan buruh pabrik."
Devan kemuadian menceritakan tentang latar belakang keluarganya. Ayahnya yang menjadi buruh pabrik, meninggal karena kecelakaan kerja. Pabrik itu bagian dari Dirgantara grup. Dan sebagai kompensasi, keluarga Devan mendapatkan uang kematian serta beasiswa pendidikan untuk Devan hingga S1.
Melihat prestasi Devan yang cemerlang dan mendapatkan gelar mahasiswa terbaik di jurusannya, dia kembali diberi beasiswa S2 serta langsung direkrut kerja di Dirgantara grup.
"Kalau bisa, jangan panggil saya bapak jika diluar kantor. Kamu bisa memanggil nama saya langsung."
"Rasanya kurang pas jika memanggil nama langsung. Apalagi bapak lebih tua dari saya."
"Astaga..kelihatan banget ya kalau udah tua?" Devan mengambil kaca mata hitam disaku kemejanya lalu menggunakannya sebagai cermin. Melihat sisi kanan serta kiri wajahnya bergantian sambil sesekali mengerutkan dahi.
"Belum kok, belum kelihatan tua." Jawab Mila sambil tersenyum melihat tingkah lucu Devan.
"Ya kalau gitu jangan panggil bapak dong."
"Yee...kan emang bapak bapak."
"Astaga." Devan menepuk jidatnya. "Hampir lupa kalau udah jadi bapak."
Mereka bedua tergelak bersama sama. Mila tak mengira jika pria yang wajahnya terlihat serius itu, ternyata bisa juga ngelawak.
"Cantik." Gumam Devan saat melihat kedua lesung pipi Mila yang tampak jelas saat tertawa.
"Apa? cantik ?"
"Hah!" Devan gelapan. Dia tak mengira jika Mila mendengar gumamannya. "I, itu...lagi nyanyi."
"Oh...."
Devan bernafas lega karena Mila sepertinya percaya.
"Kamu tahu lagu tadi? Judulnya cantik. Dulu termasuk salah satu lagu favorit saya."
Mereka akhirnya ngalor ngidul membahas tentang lagu lagu favorit. Mila yang memang menyukai lagu jadul tahun dua ribuan, merasa klik ngobrol tentang itu dengan Devan. Ternyata, mereka memiliki selera lagu yang sama. Tak terasa, makanan mereka tandas.
"Udahkan, yuk. Ntar kita di suruh bayar dobel kalau kelamaan duduk disini?"
"Masak sih?" Mila tampak heran. Udah kayak parkir di mall aja, batinnya.
"Becanda, hahaha."
Mila memutar kedua bola matanya. Ternyata, Devan sosok yang humoris juga.
Devan memaksa mengantar Mila pulang. Menjadi kan Mila harus berbohong lagi untuk kesekian kalinya. Dia terpaksa menyebutkan alamat kos lamanya pada Devan. Dia tak begitu hafal daerah jakarta karena bukan asli sini. Hanya alamat itu yang dia tahu.
Alhasil, jarak tempuh Mila pulang jadi dua kali lebih jauh. Dan karena dia tak bawa hp, terpaksa dia harus berjalan untuk mencari angkot. Mau pesen ojol juga tak bisa. Taksi, rasanya terlalu mahal.
Turun dari angkot, masih lumayan jauh untuk sampai diapartemen. Sambil membawa 2 kantong besar belanjaan, Mila berjalan pelan sampai akhirnya tiba di apartemen.
"Pasarnya pindah, atau lo lupa jalan pulang?"
Baru masuk, udah kena semprot Elgar. Mila yang kelelahan tak menjawabnya. Dia berjalan menuju kulkas lalu mengambil sebotol air dingin dan segera meneguknya.
"Jangan jangan, lo juga lupa kalau punya suami?"
"Bukannya kamu yang gak pernah inget kalau punya istri?" Sindir Mila sambil mengembalikan botol kedalam kulkas.
Elgar diam saja, karena pada kenyataannya memang seperti itu.
"Kamu sudah sarapan?" Tanya Mila.
"Kamu ngerasa nyiapin sarapan gak? Main pergi aja tanpa nyiapin apa apa buat suami. Bahkan minumanpun juga kagak."
Mila tak tahu jika akan selama ini kepasar. Jadi dia tak menyiapkan sarapan lebih dulu untuk Elgar.
"Maaf. Ya udah, aku masakin kalau gitu."
"Telat. Gue udah sarapan." Elgar memesan makanan online karena menunggu Mila tak kunjung datang juga. Sedangkan perutnya sudah tak mau diajak bersabar.
"Lo ngapain aja sih dipasar, sampai lama banget?"
"Aku belanja banyak. Selain itu, pasarnya ramai banget, jadinya antri. Terus pas mau pulang, ada kelupaan sesuatu, jadi masuk lagi." Mila sudah memikirkan jawaban ini sejak dalam perjalanan tadi. Jadinya, dia bisa menjawab dengan lancar tanpa hambatan kayak jalan tol.
Mila membuka kantong belanjanya dan mengambil sekotak es krim yang tadi sempet dia beli pas jalan. Dia mengambil sendok lalu membawanya ke sofa, dimana Elgar duduk.
"Makan ini dulu yuk, biar adem, biar gak marah marah mulu." Ujarnya sambil membuka kotak es krim. Dia duduk disebelah Elgar lalu menyuapi pria itu.
Mila menyentuh dahi Elgar sambil memperhatikan dengan seksama.
"Kenapa?"
"Ada kerutan. Marah marah mulu sih, cepet tua kan jadinya."
"Masak sih?"
Elgar menyalakan ponsel dan segera mengamati wajahnya melalui kamera depan.
"Becanda, hahaha." Mila seketika tergelak melihat kecemasan Elgar.
"Gak lucu." Dengus Elgar sambil memelototi Mila.
"Habisnya, kamu marah marah mulu sih. Bisa gak, sehari aja ngomongnya lembut ke aku. Kayaknya aku ini salah mulu dimata kamu." Keluh Mila.
"Makanya, pindah ke hidung biar gak salah mulu." Sahut Elgar.
"Gue lagi kesel. Bisa bisanya bokap ngasih proyek besar ke Dev." Kalau sudah membahas tentang Devan, Elgar langsung naik darah. Rahang pria itu tampak mulai mengeras.
Mila merebahkan diri didada Elgar sambil membelai lengannya.
"Bukannnya kamu sekarang sedang nanganin proyek besar ya? Kalau semua semua kamu yang handle, bukannya kamu sendiri yang akan kerepotan. Akhir akhir ini aja, kamu selalu lembur, pulang malam terus. Emang sanggup ngehandle 2 proyek besar?"
Benar juga apa yang dikatakan Mila. Mungkin itu juga yang jadi pertimbangan papanya.
"Oh iya, Devan sudah mulai kerja beberapa hari yang lalu. Kamu pernah ketemu dia?"
Mila mendadak gusar. Walaupun apa yang dia lakukan dengan Devan belum masuk katagori selingkuh. Tapi jika sampai Elgar tahu, bisa ngamuk besar pria itu.
"Pernah." Akan sangat janggal jika Mila menjawab tak pernah. Karena mereka bekerja di area yang sama.
"Menurut kamu, seperti apa dia?"
"Ba, baik. Pak Devan baik orangnya."
"Cih, dasar cewek. Disenyumin cowok cakep dikit, udah dibilang baik. Padahal belum kenal gimana orangnya." Cibir Elgar.
"Jangan bilang kalau kamu juga ngefans sama dia kayak cewek cewek lainnya dikantor?"
"Ih apaan sih, enggaklah." Sangkal Mila sambil melahap sesendok es krim.
"Awas saja kalau kamu deket deket sama dia. Apalagi sampai caper."
"Hahaha....enggaklah." Beruntung Mila sedang bersandar didada Elgar. Jadi pria itu tak bisa melihat ekspresinya wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
MyNov🐛
iya baru kali ini baca novel CEO kaya raya pelit masa 10 juta aja pelit biasanya CEO 50 juta aja Masih termasuk nominal sedikit
2025-01-04
1
Ning Suswati
elgar2 kok bisa2nya cemburu, tapi gk ngerasa kalau nyoblos milanya sama dengan gretong, dasar maunya dipuaskan tp pelit dan perhitungan, terus makannya uang dari jual diri yg hanya 5jt sebulan, apa cukup, gila aja tu si elgar, bikin emosi aja
2025-03-10
0
Alif
mila itu naif, di kiranya klo dia tulus jd istri ellgar tanpa memikirkan perasaan bakal dpt sebaliknya, tp dia lupa klo elhar itu arogan egois serta kolokan, ndak tau klo ntar sdh di tinggal sama mila munkin br terasa kehilanganya
2025-03-17
0