Alara dan Abir tiba di rumah ketika hari sudah malam. Tanpa mengganti pakaian atau sekadar menaruh tas, Alara langsung menuju di mana kalender berada. Ia pandangi angka-angka yang berjajar rapi itu. Sekarang bulan Juni 2022. Yang tertulis di surat itu, 30 dikali 4. Jika bulan ini dihitung, berarti apa yang tertulis di kertas itu akan terjadi di bulan Oktober. Masih lama, cukup lama, dan sangat lama---bagi Alara yang paling alergi dalam hal menunggu.
Biar dia selalu ingat dan sedikit lebih bisa sabar menunggu, ia lingkari tanggal hari ini dan seratus dua puluh hari lagi. Mulai besok dan seterusnya, dia akan terus melingkari tanggal, hingga sampai ke tanggal finish: 10 Oktober. Iya 'kan, 10 Oktober? Alara tidak salah?
"Woy! Ngapain ngelamun depan kalender? Bisa rusak itu kalender kalau lama-lama lu tatap," celetuk Abir.
"Ish! Bisa diem, nggak, sih?" sentak Alara.
Abir yang sudah berkalung handuk, putar balik tidak jadi ke kamar mandi. "Emang lu lagi ngapain, sih?"
"Nandain kalender."
Abir mengernyit. "Buat?"
"Kan, kena azab. Biasanya ngatain gue pikun, sekarang lu sendiri yang pikun!"
Abir semakin mengernyit tak mengerti. "Ada apa, sih? Ngomong yang jelas?"
Alara menutup pulpen yang ia pakai menulis. "Surat itu, kan katanya 30 kali 4, jadi 120 hari lagi."
"Seratus dua puluh hari lagi ada apa?"
"Nah! Itu kenapa gue nandain kalender. Jujur aja, gue udah nggak sabar ada apa 120 hari lagi," jelas Alara.
Abir terkekeh. "Jadi, lo masih mikirin surat ga jelas itu?"
Alara mengangguk.
"Sejak kapan lu jadi mikirin hal-hal kecil kek gitu, sih, Ra? Denger, ya, itu surat bisa aja cuma orang iseng, atau nyasar, atau apalah. Nggak usah dipikirin sampe segitunya. Kalau di tanggal itu nggak ada apa-apa dan lu telanjur nunggu, yang ada lu malah kecewa," tutur Abir.
"Enggaklah! Kalau nggak ada apa-apa, ya udah. Dan kalau ada, ya dihadapi," balas Alara enteng.
"Terserah." Abir menyerah dan memilih melanjutkan ritualnya ke kamar mandi yang sempat tertunda gara-gara Alara.
Sementara Alara, masih berdiri di tempat memandangi kalender itu. "Masa iya, sih, surat itu cuma dari orang iseng? Tapi kalau emang mau ada apa-apa, apa-apanya itu apa?"
***
"Iya, Bu, nggak ada apa-apa. Itu cuma Alara aja yang kegabutan. Beneran. Nggak ada apa-apa. Kami baik-baik aja. Nggak ada yang selingkuh. Justru kami bersenang-senang. Beneran. Kapan, sih, Abir bohongin Ibu?"
" ......"
"Iya, Bu, iya. Nanti Ibu bisa konfirmasi sendiri sama Alaranya."
" ......"
"Iya. Oke. Waalaikumsalam."
Abir menjatuhkan dirinya di sofa terdekat. Alara itu memang benar-benar menyebalkan. Dalam keadaan mabuk berat, kenapa dia masih sempat-sempatnya mengangkat telepon, yang mana semua itu malah menimbulkan kegegeran?
Siapa yang selingkuh?
Kalian baik-baik saja?
Kenapa bisa selingkuh?
Ah, menyebalkan. Pertanyaan-pertanyaan itu Abir yakin tidak akan pernah timbul jika Alara tidak membuat pernyataan 'sibuk selingkuh'. Memang Alara itu suka sekali menciptakan keributan, ya!
Sebentar, sebentar, ke mana perginya perempuan yang membuat Abir nyaris dapat omelan itu? Sejak khusyuk bersemedi di depan kalender, dia tak terlihat jejaknya. Suaranya saja tak terdengar. Jangan-jangan gadis itu pingsan? Atau ketiduran di kamar mandi? Sempat Abir lihat juga Alara tadi masuk ke tempat itu.
"Lara ...?" panggilnya, namun tak ada jawaban.
"Alara ...?!" Sekali lagi Abir panggil dengan suara yang lebih keras, tapi tetap sama.
"Tuh anak ke mana dah? Tiba-tiba ngilang, udah kayak kunti aja," gerutu Abir kemudian.
Oke, masa bodoh. Lagi pula tidak akan satupun penculik di alam semesta ini yang punya niatan menculik Alara. Jadi, Abir memutuskan untuk tidur saja. Sudah malam.
"ABIR!"
Panggilan itu memaksa langkah Abir untuk berhenti. Memang benar yang dia pikirkan tadi, tidak ada satu makhluk pun yang mau repot-repot menculik Alara.
"Apaan?" tanya Abir seraya berbalik.
"Mau makan, nggak? Mumpung gue sedang berbaik hati beliin lu makanan tanpa ongkir."
"Makanan apaan?" Abir hendak mengintip plastik putih yang Alara bawa, tapi kalah cepat dengan Alara yang langsung menaruh plastik itu ke meja makan.
"Nasi goreng. Kebetulan ada abang nasi goreng mangkal di depan. Daripada nggak bisa tidur karena kelaperan," oceh Alara sambil menata dua bungkus nasi goreng itu ke piring.
"Mau yang mana? Eh tapi sama aja, deh." Dia dorong satu piring ke arah Abir, sedang satunya untuk diri sendiri.
Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan dua porsi nasi goreng itu. Hanya lima belas menit, dan kedua piring sudah habis tak bersisa.
"Biar gue yang taruh piringnya," kata Abir. Hanya butuh lima detik, dan pria itu sudah kembali. "Lara ...," panggilnya pada Alara yang sekarang sibuk bertatapan dengan layar ponsel yang menyala-nyala.
"Hmm?"
"Kita maaf-maafan, ya?" cicit Abir.
Alara spontan menyingkirkan benda pipih itu dari hadapannya. "Kenapa?"
"Ya masa kita mau berantem mulu? Yang udah ya udah, nggak usah diungkit-ungkit lagi."
"Oke, tapi lo harus minta maaf duluan ke gue," kata Alara memberi syarat.
"Loh, kenapa gitu?" protes Abir.
"Karena perempuan selalu benar." Alara tersenyum sinis.
Abir mendengus, tapi kemudian mengulurkan tangannya. "Maap," katanya seperti tidak ikhlas.
"Masa cuma maaf?"
"Lah trus mau apalagi?"
"Ya kasih hadiah apa kek, bunga, cokelat, boneka, atau apa gitu. Masa cuma 'maap' doang?!"
"Kan emang bukan salah gue. Nih, ya, kalau lo lupa. Pertama, lo yang nyulik gue. Kedua---"
"Pertama lo yang selingkuh, kedua lo yang selingkuh, ketiga lo yang selingkuh. Oke cukup. Intinya lo salah. Salah pake banget!" sahut Alara.
"Tapi itu kan nggak ngelanggar perjanjian kita," protes Abir.
"Ya meski nggak ngelanggar perjanjian kita, tetep aja nggak boleh! Kenapa? Karena selingkuhan lo nggak memenuhi kriteria yang seharusnya!" Alara menekankan setiap kata-katanya dengan jelas.
"Kriteria-kriteria apalagi, sih? Pusing gue lama-lama. Lu jangan mempersulit hidup dong, Ra. Gue udah minta maaf, tinggal maafin aja apa salahnya, si?" Abir benar-benar frustrasi rasanya. Kriteria apalagi yang dia maksud? Tidak ada pasal itu dalam perjanjian mereka sebelum pernikahan.
"Gue nggak mempersulit hidup lo, ya! Gue cuma bilang, kalau minta maaf tuh yang serius, minimal pake beliin hadiah apa gitu, jangan cuma kata 'maap' aja, itu pun antara ikhlas sama enggak!"
Abir berdecak. "Lo tuh emang ngeselin, ya, Ra?! Sejak kapan minta maaf punya syarat?"
"Perempuan selalu benar! Mau damai sama gue apa enggak?"
"Ngg---"
Ting.
Ting.
Tok.
Tok.
Tok.
"Ada tamu," sahut menyahut ucapan Abir setelah sempat disahut bunyi bel dan ketukan pintu.
"Iya, ada apa, ya?" Alara bertanya dengan ramah pada si tamu—seorang kurir.
"Ada paket untuk Abir dan Alara," jawab Kurir itu sembari membaca tulisan yang tertera di bungkus paket.
"Paket? Dari siapa? Kami nggak ngerasa lagi pesen apa-apa," papar Alara.
"Saya kurang tahu, Mbak. Tugas saya cuma mengantarkan. Ini, silakan diambil."
Alara menerima paket yang berupa kotak seukuran kardus mi instan. "Makasih, ya, Mas."
Alara masuk setelah kurir itu menjawab ucapan Alara dan pergi.
Melihat Alara masuk bersama paket yang cukup besar, Abir langsung menyindirnya, "Baru aja pulang, udah nyempetin belanja online!"
"Pala lu yang online!" sembur Alara. "Ini paket nggak tahu dari siapa."
"Nggak tahu dari siapa maksudnya?" Abir langsung melompat ke tempat di mana Alara meletakkan kotak itu. "Cepetan buka," pintanya tidak sabar.
"Ini juga lagi dibuka." Alara menarik perekat yang dipasang mengelilingi kardus itu. Sambil menggerutu, tentu saja.
Kertas pembungkus berwarna cokelat itu hanya satu lapis. Setelah kertasnya dilepas, terlihatlah kotak itu yang memang berupa kardus mi instan.
"Woah, jangan-jangan isinya mi instan?" tebak Abir.
"Nggak pa-pa, sih. Setidaknya lebih baik daripada kertas lusuh," Alara terkekeh.
Setelah sedikit perjuangan, perekat yang juga mengelilingi kardus itu akhirnya bisa dibuka. Dengan gerakan tak sabar, Alara membuka lebar penutup kardus itu demi melihat isinya.
"AAAA!"
Alara langsung melempar kardus itu sesaat setelah berhasil melihat isinya, sementara dia sendiri melompat ke atas sofa.
"Ada apa?" Abir ikut panik melihat reaksi Alara.
"Ada kepalaaa!" jerit Alara histeris.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
qolifatul
ada perusak mengganggu
2022-06-09
1