Dari pantai, Abir dan Sara akan berkunjung ke tempat selanjutnya. Masih belum mereka tentukan, karena hanya jalan-jalan berkeliling saja sudah cukup membuat senang. Sara pun tidak lagi terlihat pucat atau kelelahan, mungkin karena hari yang masih bisa dibilang pagi, atau aktivitas mereka yang ringan-ringan saja.
"Aku mau beli minuman, ya, Abir. Nanti berhenti di minimarket itu," ujar Sara sambil menunjuk ke depan, kebetulan ada minimarket beberapa meter dari mereka saat ini.
Abir yang baik hanya setuju-setuju saja. Setelah sampai di depan minimarket itu, dia menepikan mobil dan berhenti.
Sara bilang akan masuk sendiri, sementara Abir disuruh menunggu saja di mobil. Perempuan yang baik, komentar hati Abir. Dan lagi-lagi, dia teringat Alara. Jika itu adalah Alara, pasti Abir yang akan dipaksa beli minuman. Lalu jika menolak, ya, tahu sendirilah, Alara akan mengeluarkan jurus kepremanan yang menjadi bakatnya sejak lahir.
Sempat juga Abir bertanya-tanya, kenapa waktu itu dia tidak berpikir untuk menikahi Sara saja? Masih ada banyak gadis, tapi mengapa dia malah memilih Alara dari miliaran gadis yang ada?
"Mungkin sudah takdir." Pada akhirnya itu jawaban yang hatinya berikan, agar dia berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Lagi pula, banyak benefit yang ia peroleh dengan memilih Alara sebagai istri.
Pertama, Abir yakin seyakin-yakinnya, hanya Alara perempuan yang mengizinkan suaminya selingkuh atau pacaran dengan perempuan lain. Di mana bisa dia temui perempuan seperti ini? Tidak akan ada. Bahkan di hari-hari bulan madu mereka, Alara dengan hati yang lapang membiarkan Abir bulan madu sendiri.
Tuk!
Tuk!
Tuk!
Abir menoleh saat merasa jendela mobilnya diketuk dari luar. Dia mengernyit, karena merasa heran dengan si Pengetuk yang berpakaian serba hitam.
Tuk!
Tuk!
Tuk!
Sosok itu kembali mengetuk. Dengan lebih dulu mendengus, Abir mulai membuka kaca jendela mobilnya.
"Ap---hmmphh!"
***
Sosok yang wajahnya ditutupi kantong plastik hitam ini terus memberontak. Mulutnya terus mengeluarkan suara 'hmmph-hmmph', akibat dipakaikan lakban di mulutnya. Tangan dan kaki diikat tali tambang yang cukup besar, membuatnya tak bisa berdiri, apalagi melangkah kabur. Hanya tubuhnya yang terus berguncang minta dilepaskan.
Sementara sosok berkacamata dan jaket kulit hitam di sampingnya, sama sekali tak peduli dan malah sibuk menyetir, seolah-olah yang bergerak-gerak di sampingnya itu adalah makhluk tak kasat mata.
"Hmmmphhh! Hmmmphhh!"
"Ck, berisik lo!"
Kata-kata itu membuat pria tersebut spontan berhenti berontak. Namun, hanya berlangsung beberapa saat sebelum dia kembali mencoba berteriak dengan mulutnya yang masih dilakban.
"Hmmmmphh!"
"Iya, iya, bawel! Nepi dulu kali."
Mobil itu diarahkan ke tepi jalan, kemudian berhenti. Sosok perempuan itu memutar tubuhnya ke samping—ke arah pria itu—, kemudian menarik ujung plastik itu ke atas.
Pria itu membelalak lebar. Kedua bola matanya nyaris melompat keluar, jika saja kedua mata itu tak melekat sempurna. Dan jika saja tidak dibungkam lakban, dia pasti sudah berteriak keras-keras.
Sambil menyeringai, perempuan itu menarik cepat lakban di bibir si pria—yang syukurlah—sedang tidak memiliki kumis.
"ALARA PSYCHO!" pekik pria itu, Abir, keras-keras.
Perempuan itu, Alara, tertawa tanpa dosa. "Gue udah cocok belum, jadi penculik?"
"Sialan lo, ya!" maki Abir terkesal-kesal. "Rahang atas, bawah, dan bibir gue sakit lo tarik lakbannya kek gitu!" omelnya.
Alara malah tertawa terbahak-bahak—yang tampak mengerikan bagi Abir. "Payah! Masa gitu aja sakit?" ejeknya.
Abir menggeram. "Lu ngapain, sih, pake acara nyulik-nyulik gue segala? Ha? Mau ganti pekerjaan jadi penculik bayaran lu sekarang? Udah bosen jadi model?!"
"Emang gue berbakat banget jadi penculik, ya?" Alara malah bertanya dengan antusias.
"Dasar cewek gila!" maki Abir. "Mana ada nyulik orang itu bakat?! Dasar cewek aneh!"
"Nggak pa-pa aneh, yang penting cantik," balas Alara sambil mengibaskan rambutnya.
Abir mendengus. Cantik-cantik tapi sifat kayak preman, percuma! rutuknya dalam hati.
"Apa lihat-lihat? Gue tahu gue cantik," celetuk Alara sambil kembali melajukan mobil.
"Lu ngapain nyulik gue, sih, Lara? Mau lu bawa ke mana?"
"Jual. Gue denger harga ginjal lagi naik," jawab Alara enteng; santai, seperti tanpa dosa.
Abir berdecak. "Ra, denger, ya. Si Sara itu lagi sakit parah, lagi sekarat, dan lo malah nyulik gue gini? Dia pasti lagi nyari-nyari gue, Ra. Gimana kalau dia kenapa-napa?"
"Ck, gobl*k tuh jangan dipelihara! Gini, ya, kalau si Sara-Sara itu lagi sekarat, ya mana mungkin dia bisa keluyuran kayak gini? Pikir dong, Bir! Jadi cowok yang pinter dikit napa? Masa gampang banget dikadalin," cibir Alara tanpa mau menoleh.
"Dia emang sakit, Alaraaa! Semalem dia pucet banget, jalan seratus lima puluh meter aja nggak kuat. Dia beneran sakit!" Abir menekankan setiap kata-katanya dengan gemas.
"Terus, gue harus salto di rel kereta gitu, kalau dia pucet sampe nggak kuat jalan?" balas Alara datar.
"Nggak ada yang nyuruh lo lakuin itu. Gue cuma bilang, Sara beneran sakit, please lo ngerti!"
"Abir, lo itu aslinya polos apa bodoh, sih? Mana ada orang sekarat diizinin dokternya keluyuran? Yang lari-larian ngejar ombak, lah, yang nangkep kunang-kunang, lah, mana tanpa ada pengawasan lagi. Emang lo pikir keluarganya juga bakal ngebolehin? Jelas enggak!" semprot Alara.
"Dibolehin karena waktu hidupnya tinggal beberapa hari!" sahut Abir ngegas.
Alara mencoba tetap sabar meski sudah sangat kesal. "Justru karena dia mau mati, dia nggak boleh ke mana-mana! Kalau mati di sembarang tempat kan bisa repot," balasnya asal.
"Alara!" tegur Abir. "Bisa nggak, sih, belajar ngomong yang baik? Dia jalan-jalan atau yang lu sebut keluyuran itu karena masih punya banyak impian yang belum tercapai! Berempati dikit kenapa, sih, sebagai sesama manusia."
"Bukannya gue nggak berempati, tapi sakitnya selingkuhan lo tuh emang cacat logika! Kalau ini novel, pasti udah dihujat sama pembacanya," kata Alara.
"Stop, Alara!" bentak Abir tiba-tiba.
Tubuh Alara berguncang; terkejut. "Apaan?" protesnya kesal.
"Gue lihat sendiri gimana Sara kesakitan, sebanyak apa obat-obatannya, sepucet apa dia pas sakitnya kambuh. Lo nggak tau apa-apa, jadi please diem! Sara emang lagi sakit parah! Dia sekarat!" jelas Abir.
"Zaman sekarang sakit bisa direkayasa! Lagian lo juga nggak denger langsung dari dokternya, atau lihat surat diagnosanya," bantah Alara.
"CUKUP, LARA!" bentak Abir sekali lagi. "Jangan bikin gue tambah emosi! Dia sakit artinya beneran sakit! Sekarang, turunin gue di sini! Gue mau balik nyusulin Sara! TURUNIN GUE!"
Alara langsung menepi dan menghentikan laju mobil. Semakin dia mencoba tidak tersulut emosi, semakin juga Abir membuatnya dibakar kemarahan. Tak pernah dia mencoba bersabar sampai seperti ini, tapi Abir memang sudah kelewatan.
"Pergi! Susulin cewek itu! Rawat dia sampai sembuh! Atau ikut mati aja sana! Gue nggak peduli mau lo mati ataupun hidup! Sekarang keluar!" teriak Alara sambil menunjuk pintu.
"Jangan jadi cewek bodoh lo! Lepas dulu ikatan di tangan dan kaki gue!"
Tanpa aba-aba, ditariknya keras tali tambang yang melingkar di tangan dan kaki Abir. Tidak peduli jika pria itu kesakitan atau tidak.
Dan faktanya memang tidak, karena belum sedetik sejak tali itu terlepas, Abir langsung membuka pintu dan menutupnya kasar sambil berlari pergi.
"Semoga tu cewek beneran mati!" teriak Alara.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
qolifatul
aw aw awasss
2022-06-05
1