Entah bagaimana Alara menculiknya tadi, sampai-sampai Abir tidak bisa menemukan minimarket tempat dia meninggalkan Sara. Dia hanya ingat, sesaat setelah kaca mobil dibuka, sosok berpakaian hitam-hitam itu langsung membekap mulutnya. Kemudian, gelap. Abir tidak ingat apa-apa. Hanya saat membuka mata, dia mendapati Alara sudah menyetir di sampingnya.
Benar-benar kurang ajar! Rasanya baru kali ini Abir sangat marah pada sahabat sekaligus istrinya yang kejam itu. Konyol memang. Apa Alara tidak bisa membedakan orang sakit dan tidak? Dan memangnya, orang yang sakit tidak boleh jalan-jalan? Abir rasa, apa Sara lakukan adalah hal yang lumrah. Tentu saja dia ingin menikmati sisa hidupnya di dunia, sebelum meninggalkan semua ini.
Oke, Abir tahu, kematian adalah rahasia Tuhan. Tetapi, ia juga tahu, orang yang sebentar lagi bertemu kematian, biasanya sudah tahu, dan memberi tanda pada orang-orang di sekitarnya. Abir memang berharap Sara bisa sembuh, tapi dia pun tak punya kuasa apa pun untuk mencegah kepergian gadis itu menghadap Sang Pencipta.
Sekarang, meski sudah berlari sangat jauh, tidak bisa dia temukan minimarket itu. Lalu di mana dia akan temukan Sara? Semua ini gara-gara Alara, hanya Alara!
"SARAAA ......!" teriak Abir sekeras-kerasnya. Tak peduli banyak mata yang berlalu lalang menatapnya aneh, atau seperti melihat orang gila.
Abir benar-benar kalut. Ia takut terjadi sesuatu pada Sara. Ia juga takut, Sara sungguhan akan pergi hari ini, sesaat setelah dia patahkan hati gadis itu dengan meninggalkannya.
"SARAAA ...! LO DI MANA? JAWAB GUE!"
Abir layaknya orang gila; berlari ke sana-sini, berteriak, mengacak-acak rambut, dan terlihat sangat frustrasi.
Bagaimana jika tadi, tiba-tiba penyakit Sara kambuh? Gadis itu mencari-carinya, tapi tidak ketemu. Lalu, dia pingsan, tapi tidak ada orang yang menolong?
Siapa saja, tolong bantu Abir untuk menemukan Sara!
***
Kebut-kebutan di jalan yang ramai memang berbahaya, tapi syukurlah, Tuhan masih berada di pihak Alara. Gadis yang tengah dikuasai amarah itu, sampai dengan selamat di sebuah diskotek.
Bar adalah tempat yang pertama dia tuju. Sudah lama dia tidak meminum minuman beralkohol. Mungkin sudah lebih dari dua tahun, setelah salah satu sahabat terbaiknya, Raina, pergi meninggalkan dunia ini akibat mendapat penyakit dari gaya hidup yang tidak sehat.
Raina berpesan padanya, untuk menjaga kesehatan yang sangat mahal harganya. Juga harus menjauhi minuman keras, makanan cepat saji, begadang hingga larut malam, dan tidak pernah memakan makanan sehat.
Dulu dia, Rayya, dan Abir, berjanji pada sahabat mereka itu. Namun, sekarang, Alara tidak tahu harus melampiaskan kemarahannya dengan apa, selain pada minuman-minuman ini. Rayya tidak ada di sini, apalagi Raina. Sahabatnya itu pasti sudah bahagia di surga sana, setelah bertobat karena menyukai seorang ustaz muda.
"Rain, gue minta maaf udah ngelanggar janji. Gue nggak tau harus gimana lagi. Selain minuman-minuman ini, nggak ada yang ngerti gue," ucap Alara seraya memandangi dua botol minuman di depannya.
Setelah membayar, ia keluar dari situ untuk mencari tempat yang tepat; tempat yang akan membuatnya tenang barang sesaat; tempat yang juga akan membuatnya lupa sejenak soal pertengkarannya dengan Abir.
Pantai. Dia tidak tahu apa nama pantai ini, tapi dia akan menghabiskan waktunya di sini. Menikmati senja di pantai, sambil menghabiskan sebotol minuman.
Minuman itu sudah berada di tangan Alara. Jujur, dia sedikit ragu. Mungkin karena sudah lama tidak minum-minum juga.
"Rain, gue janji, nanti gue bakalan tobat, kok. Bener, deh, ini yang terakhir kalau nggak ada masalah yang nyerang gue lagi," katanya, seolah-olah sosok Raina memang sungguhan ada di sini.
"Tapi ... sebenernya ini bukan masalah juga, sih. Gue cuma kesel sama Abir. Dia tuh nggak tau kenapa, ya, g*blok banget perasaan jadi cowok. Masa mau-maunya ditipu? Mana ada orang yang sakit bisa bebas kayak gitu," ocehnya lagi.
"Kalau lo ada di sini, sumpah pasti bakalan kesel lihatnya," sambungnya. "Udahlah, ya, daripada ngoceh terus gini, mending gue mimum dulu."
Alara mendekatkan botol itu ke mulutnya. Lalu, lima teguk meluncur sempurna di kerongkongan Alara. Rasa yang sama, namun dilupakannya setelah dua tahun.
Setelahnya, tegukan demi tegukan masuk ke kerongkongan Alara. Tak butuh waktu lama, satu botol minuman itu telah habis tak bersisa.
Ketika dia bangkit untuk mencari tempat sampah guna membuang botolnya, ponsel yang ia simpan di saku jaket terasa bergetar-getar.
Meski sudah habis sebotol, tapi kesadaran Alara masih sepenuhnya ada. Mungkin beberapa saat lagi, karena biasanya memang seperti ini.
Saat Alara melihat ke layar, tertera nama 'Ayahnya Abir' di layar, yang berarti orang tua itu yang menelpon.
"Halo, Alara? Kalian kenapa susah sekali dihubungi? Kalian baik-baik saja, kan? Mana Abir? Ayah mau bicara sebentar."
"Lagi sibuk selingkuh, Yah," jawab Alara yang kesadarannya mulai hilang. Suaranya saja terdengar jelas jika dia tengah mabuk.
"Sibuk selingkuh? Apa maksudmu, Nak? Alara? Halo?"
Tutt.
Alara memutus sambungan teleponnya tanpa lagi mengatakan apa-apa. Lalu dia matikan daya ponsel itu dan dimasukkan kembali ke saku.
***
Hampir setengah hari berkeliling mencari Sara membuat Abir sangat lelah. Sekarang, Abir pasrah pada takdir. Dia tidak kuat jika harus keliling lagi—karena tempat ini juga sangat luas. Dia hanya bisa berdoa, semoga Sara baik-baik saja, di mana pun keberadaannya.
Sekarang ini pun, Abir melangkah tanpa tujuan. Dari jalan raya besar, sampai ke sebuah pantai yang ia tidak tahu apa namanya. Abir berpikir akan bermalam di sini, sebab kembali ke hotel sewaan orang tuanya juga tidak mungkin. Alara jelas tidak akan mengampuninya.
Jika kebanyakan perempuan lebih memilih diam saat marah, maka jangan harap Alara juga begitu. Dia justru akan terus marah-marah; mengungkapkan apa saja yang ingin dia katakan sampai puas, tanpa merasa ragu sedikit pun.
Dan, jangan harap seorang Alara hanya akan marah-marah saja. Entah membanting barang-barang atau Abir, satu yang pasti akan ada yang dibanting oleh gadis itu.
Maka, demi menyelamatkan dirinya, Abir sekarang berada di pantai. Dia mendudukkan diri di pasir yang kering; memandangi ombak yang sedang berkejaran; merasakan semilir angin malam bergantian menerpa wajahnya. Sangat menenangkan. Membuat pikirannya dingin. Dan pastinya tak lagi dikuasai emosi.
Puas menatap lurus ke depan, dia pun mengalihkan pandangan ke samping. Dalam kegelapan malam, samar-samar dia bisa melihat sesosok perempuan sedang berlari ke tengah laut. Sosok itu kembali ke daratan ketika ombak mengejarnya. Setelah dia 'menang' dari ombak, perempuan itu kembali berlari ke tengah laut. Jaraknya sudah cukup jauh, bahkan hampir setengah dari badan perempuan itu ditelan air. Namun, perempuan itu bukannya kembali, malah semakin jauh melangkah.
Abir geleng-geleng kepala melihat adegan itu. "Gue kira cuma Alara cewek paling gila di muka bumi ini, tapi ternyata masih ada Alara-Alara lain?"
Pria itu benar-benar tak habis pikir. Apa perempuan tersebut sudah bosan hidup? Bagaimana mungkin dia malah main kejar-kejaran dengan ombak, dengan sangat totalitas pula. Apa yang akan perempuan itu lakukan jika ombak nanti menyeret dan menggulungnya ke lautan?
Tidak, tidak, sebagai seorang gentleman, Abir tak bisa membiarkan itu terus berlangsung. Dia harus ke sana, menyadarkan gadis itu, sebelum gadis itu digulung ombak dan hilang selamanya di lautan.
"HEY, MBAK! JANGAN LARI-LARIAN KE LAUT, NANTI TENGGELAM!" Abir berteriak sangat keras, mengalahkan deburan ombak yang cukup ribut.
Namun, rupanya perempuan itu masih tidak dengar—atau mungkin tidak peduli dengan teriakan Abir?
"MBAK! BALIK SINI! NANTI TENGGELAM!" Sekali lagi Abir berteriak, tapi gadis itu malah sibuk bermain dengan air di sekitarnya.
"Astaga, itu cewek saudara kembar Alara yang kepisah sejak lahir apa gimana? Bandelnya udah setara sama Alara. Mana bentukannya sama lagi," gumam Abir gemas.
Terpaksa, ia terjun sendiri ke tempat kejadian; menghampiri perempuan itu yang belum juga ada niatan kembali.
"Mbak, balik, gih. Nanti digulung ombak," ujar Abir seraya menepuk pundak perempuan yang rambutnya acak-acakan itu.
Perempuan itu kemudian berbalik menghadap Abir. Senyuman lebar terlukis di wajahnya. Sementara Abir sendiri, pria itu malah membelalak lebar sambil ternganga, seperti tak percaya dengan sosok di hadapannya itu.
"Lo---"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
qolifatul
jangan ampe nyusul... jadi apa nanti ya..... 😃😃😃???
2022-06-06
1