Deal, Kita Nikah!
Alara berpangku tangan di teras atas, menyaksikan beberapa orang wanita dan pria turun dari tiga buah mobil. Kedua mata abu-abunya memutar malas, mulutnya pun berkomat-kamit persis seperti dukun membaca mantra—hanya saja ini dalam versi kesal.
"Kalian berdua aja? Mana Alara?" Suara khas ibu-ibu sosialita dari arah bawah sampai ke telinga Alara.
"Mati, mabok lem tikus!" sahut Alara sebal dan ketus.
Ketika melihat lagi ke arah orang-orang itu, tatapan sang ibu tepat mengenainya. Ya, ibunya itu memang tahu Alara minggat ke atas sini demi menghindari kedatangan para bibinya.
Wanita berketurunan Turki, berusia hampir setengah abad, yang wajahnya sangat mirip dengan Alara itu menggeleng pelan. Setidakpeka apa pun Alara, dia tahu itu artinya dia harus turun; menemui para tamu yang adalah keluarga besarnya sendiri.
Perjalanan dari teras atas yang sebenarnya tak sampai satu menit, Alara tempuh sepuluh kali lipatnya alias sepuluh menit. Dia tidak sekadar melangkah, tetapi juga menghitung dengan sepatunya, berapa meter jarak dari lantai atas ke halaman.
"Nah, itu dia anak bule Turki yang hidupnya gitu-gitu aja dan nggak kaya-kaya dateng. Sini, sini, salaman dulu sana Aunty, nanti pasti Aunty kasih THR," ucap salah satu bibinya dengan nada mengejek.
Alara mengepalkan kedua tangannya. Kata-kata dari Amira, bibinya yang pertama, yang mulutnya paling lemas seperti habis makan oli sepuluh liter ditambah minyak goreng satu bak truk, membuat Alara ingin sekali mendaratkan kepalan tangannya ke wajah wanita itu.
Namun, tidak. Miray, ibunya akan mengamuk kalau sampai Alara melakukan itu. Jadi, dia salami satu per satu ketiga bibinya, meski mulutnya hampir tak mengatakan 'maaf' atau 'selamat hari raya' saking dongkolnya pada ketiga perempuan itu.
"Kapan nikah, Ra? Umur kamu udah 25, udah seharusnya kamu nikah, daripada berkarier yang itu-itu aja dan nggak ada kemajuan. Mau jadi apa kamu nanti? Orang yang tinggal menengadahkan tangan nunggu suami ngasih uang?" oceh wanita itu sambil melirik ibu Alara sekali.
"Memang sudah kewajiban suami ngasih nafkah ke istri. Kalau bisanya cuma numpang tidur dan makan doang, lebih baik nggak usah sok-sokan ngawinin anak orang," balas Alara dengan suara datar. Pertanyaan yang entah model apa itu tadi berasal dari mulut bibi keduanya, Amrita.
"Eh, eh, eh, ngomong apa kamu?!" Wanita itu melotot tidak terima.
Alara mengedikkan bahu cuek. "Fakta," jawabnya santai.
Wanita berusia lebih muda beberapa tahun dari ibu Alara itu menggeram kesal. Apa yang Alara katakan bagai menyindir suaminya—yang memang tidak bekerja.
"Meski nggak kerja, keluarga kita kan kaya tujuh turunan. Jadi, ya nggak apa-apa," bela bibinya yang satu lagi, Amira.
"Iya kalau untuk satu-dua hari, atau maksimal sebulan, lah. Nah, kalau bertahun-tahun? Ya auto bangkrut! Jangankan tujuh turunan, tahun depan aja jadi gembel," tangkas Alara, tapi dengan nada bicara yang teramat santai.
Terbelalak seketika kedua wanita dengan riasan tebal itu mendengar perkataan Alara. Dua detik selanjutnya, mereka bersungut-sungut pergi dari hadapan Alara; masuk ke rumah besar orang tua mereka yang juga adalah kakek-nenek Alara dari pihak ayah.
Alara bersorak. Wajahnya yang khas gadis Turki langsung cerah karena kesenangan.
"Apa itu semua, Alara?" tegur Miray.
Keceriaan di wajah Alara memudar kurang dari satu detik, berganti ke ekspresi kesal lagi.
"Ini Hari Raya, Nak, kenapa kamu malah bersikap kayak gitu?" Miray bertanya baik-baik.
"Biasanya juga mereka yang bikin aku kesel, Ma. Jadi, wajarlah kalau sesekali dibalas," jawab Alara acuh tak acuh.
"Tapi bagaimanapun juga, mereka itu bibi-bibi kamu, adiknya papa kamu. Nggak seharusnya kamu begitu, Sayang," tutur Miray lembut.
"Mama juga kakak ipar mereka, seharusnya mereka bisa ngerti dan hormatin Mama. Bukannya malah di setiap kesempatan yang ada, nyindir-nyindir Mama. Oke, Mama memang bukan dari keluarga sekaya mereka, tapi itu bukan alasan untuk dibenci terus-terusan," sungut Alara tak terima.
Memang, inilah yang membuatnya malas sekali berkumpul di rumah kakek neneknya saat hari raya tiba. Para penyihir itu memang tidak ada akhlak. Sejak dulu jauh sebelum Alara lahir, mereka tidak pernah suka pada sang ibu. Jangan tanya kenapa Alara bisa berpikir begitu. Alara bukan gadis polos dan bodoh yang mudah dibohongi. Ia tahu, penyebabnya adalah 'derajat' yang katanya tidak setara; karena ibunya berasal dari keluarga sederhana, berbeda dengan sang ayah.
"Itu kan memang sifat mereka. Maklumi saja," tutur Miray. "Ya sudah, sekarang ayo kita masuk."
Alara menurut dan masuk bersama ibunya. Semua keluarga saat ini sudah berkumpul di ruang keluarga.
"Arka, Kaira, Alisha, Zavier, di mana mereka? Kenapa nggak kelihatan?" tanya Nenek Alara.
"Biasalah, Bu. Mereka itu kan sibuk," jawab Amira.
"Sibuk apa? Lebaran-lebaran gini masih sibuk? Nggak bisa nyempetin datang ke rumah kakek neneknya gitu?" protes wanita sepuh itu.
"Alisha dan Kaira masih sibuk sama tugas-tugasnya, Bu. Jadi nggak sempet pulang ke Indonesia. Arka sama Zavier sendiri nggak bisa dapat cuti. Maklumlah, mereka kan kerjanya di perusahaan besar, posisinya juga tinggi," jelas Amrita.
"Sampai segitunya. Tapi nanti ke sini, kan?"
"Iya. Itu pasti, dong, Bu. Mereka bakalan datang sama calon-calon mereka. Ibu sebentar lagi bakalan punya cucu menantu. Ya ... meski masih muda, tapi mereka cepet laku, dong. Pinter, karier bagus, kehidupan terjamin. Nggak kayak si onoh," kata bibi termuda Alara, Amara namanya.
"Ya udah. Masa lebaran cuma satu cucu yang yang dateng. Lainnya malah pada sibuk sendiri-sendiri."
"Ya habis gimana lagi? Semua cucunya pada sibuk, kecuali satu itu kan emang nggak jelas pekerjaannya. Libur sama masuk banyak liburnya." Kali ini Amira lagi yang menyahut sambil tertawa-tawa.
"Iya, tuh. Gitu-gitu masih aja dibiarin sama emaknya. Padahal kerjaan anaknya nggak jelas. Keluyuran, jarang pulang. Hadeh. Atau emang itu ajaran emaknya kali, ya?"
Kedua tangan Alara sudah mengepal kuat-kuat. Kakinya hendak melangkah pada para penyihir—yang hanya berjarak tak kurang dari dua meter itu—ketika pergelangan tangannya ditahan oleh seseorang. Ibunya. Miray menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Alara tidak ke sana.
Alara menggeram kesal, sedetik kemudian berlalu pergi. Itu lebih baik, ketimbang dirinya dibuat darah tinggi saat berada di dekat mereka. Masih baik jika dia bisa menahan emosinya, bagaimana kalau tiba-tiba kelepasan dan baku hantam dengan mereka?
Ah, sudahlah, lupakan. Alara mau menemui sesosok manusia bumi yang akan selalu siap sedia kapanpun dia ajak bertemu. Abir, sahabatnya yang punya hobi keliling dunia—dan hampir tidak pernah pulang.
Maka, di sinilah Alara berada sekarang, kafe yang diliburkan hari ini, tapi masih bebas dia datangi. R'sha Caffe, milik sahabatnya yang lain, Rayyasha.
"Kenapa nyuruh gue ke sini?"
Alara mendongak, menatap sosok yang bertanya padanya itu. "Dari mana lo?"
"Bikin sarapan," jawab pria itu sebelum mengambil tempat duduk di depan Alara.
"Rayya nggak ke sini?" tanya Alara.
Abir tergelak. "Lo lupa apa pikun, sih, Lara? Rayya pastinya lagi di rumah, halal bihalal sama keluarga besarnya, nggak kayak kita berdua."
"Gue juga udah habis halal bihalal sama keluarga gue kali," gerutu Alara.
"Iya, deh, iya. Jadi, kenapa sekarang lo ada di sini?" tanya Abir.
Alara mengembuskan napas berat. "Para Mak Lampir itu bikin gue darah tinggi. Daripada gue mati muda, mendingan gue minggat dari sana."
"I knew it," Abir tertawa renyah.
Alara memutar bola mata malas. "Lo sendiri, kenapa nggak pulang?"
"Kayak nggak tau aja. Arshiya terus-terusan neror gue biar cepet-cepet nikah. Sialan emang tuh anak. Dia yang kebelet nikah, tapi gue yang diteror," papar Abir jengkel.
Kali ini Alara yang tergelak. "Kayaknya, menjadi tua adalah kesalahan terbesar di muka bumi ini, ya, Bir."
Abir mengangguk. "Bener banget itu. Padahal mah, baru aja dua puluh enam tahun, berasa tua banget gue."
"Gue juga tadi ditodong pertanyaan kek gitu," aku Alara.
"Baru tadi?" Abir tertawa keras. "Gue, dong, hampir tiap hari."
"Sebenernya tiap tahun, sih. Soalnya ... ya, itu, katanya daripada gue kerja nggak jelas, karier gitu-gitu aja, mendingan nikah. Ditambah lagi, anak-anaknya para penyihir itu udah laku katanya. Udah kek barang dagangan aja pake laku-lakuan segala," gerutu Alara di akhir kalimat.
Abir terdiam selama beberapa detik. Pria yang rambutnya cukup panjang itu mengerutkan kening, seperti tengah berpikir sesuatu. "Eh, Ra, kok gue baru sadar masalah kita sama, ya?"
Alara mengerjap beberapa kali. "Sama? Sama gimana?"
"Ya ... sama. Sama-sama diteror, ditodong, diancem terus-terusan disuruh nikah."
"Lah, iya juga, yak." Alara garuk-garuk tak gatal rambutnya.
"Bibi-bibi lo kan mempermasalahkan semua hal, terutama tentang karier lo, sama lo yang katanya nggak laku-laku. Misal ... lo nikah duluan, pasti mereka bakal kebakaran jenggot, tuh!" celetuk Abir.
Sekali lagi, Alara mengerjap beberapa kali. "Iya, ya. Kenapa gue nggak kepikiran? Tapi ... nikah sama siapa, dong? Pacar gue memang banyak, tapi gue nggak mau nikah sama salah satu dari mereka."
"Sama gue aja," celetuk Abir sambil tertawa.
"Nah! Boleh juga, tuh!"
Sekarang Abir yang mengerjap beberapa kali. "Hah? Gimana-gimana?"
"KITA NIKAH, ABIR!" seru Alara heboh.
"Eh, seriusan?" Lelaki itu berkedip-kedip polos.
"Gini, ya," Alara berdeham, "kalau kita nikah, manfaat yang akan didapat, 1) lo bakal terbebas dari todongan adek lo yang kebelet kawin itu, 2) gue bisa bikin para penyihir itu kesel karena laku duluan dari anak-anak mereka, 3) kita bisa bebas, Bir! Bebas! Kita bisa ke sana, ke sini, tanpa ada yang ngelarang," jelasnya.
"Tapi kita kan sahabatan, Ra."
"Kompromi, Bro! Pernikahan ini sebagai kompromi. Gue masih bebas lakuin apa pun yang gue suka, begitu juga dengan lo. Intinya, 'pernikahan' itu cuma status, biar kita bebas dari tuntutan orang-orang. Kita nggak perlu bertingkah kayak suami-istri. Lo nggak punya hak dan kewajiban ke gue, begitu juga sebaliknya. Gimana?"
"Terus, pacar-pacar gue gimana?" tanya Abir polos.
"Alah, gampang itu mah." Alara mengibaskan tangan. "Lo bebas pacaran sama siapa pun, selingkuh sama siapa pun, gue nggak bakal cemburu, apalagi ngelarang, begitu juga sebaliknya."
Abir manggut-manggut paham. "Jadi ...?"
"Kita nikah?"
Abir berpikir sebentar. "Deal, kita nikah!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Windy Artika
aq mampir thor 😊
2022-06-12
1
Siti Zen
Aku mampir thor,,Deal,kita nikah,,,,😊😊
2022-06-06
1