"Lara, stop!" teriak Abir seraya mendorong wajah Alara menyamping, sedang dirinya buru-buru berdiri.
Alara pun segera mendudukkan dirinya. Tentu saja, perempuan itu terbengong-bengong sambil memandangi Abir. "Ada apa denganmu?" tanyanya polos.
Abir mengembuskan napas kasar, kemudian berjongkok di sisi ranjang---menggenggam tangan Alara. "Alara, denger, ya, itu dosa. Nggak boleh dilakuin. Inget apa kata Bu Naina, cowok dan cewek nggak boleh deket-deket. Oke? Udah, mending sekarang lu tidur. Inget kata Bu Naina, kan? Nggak boleh tidur malem-malem. Jadi, ayo, tidur."
Alara mengangguk-angguk polos, kemudian beringsut mundur dan mulai berbaring. Tak butuh waktu lama, dengkuran halus yang menandakan perempuan itu pulas, mulai terdengar.
Abir langsung terduduk di lantai; menghembuskan napas lega. Akhirnya ... Alara tertidur juga. Penderitaannya hari ini berakhir juga. Tapi tolong, jangan katakan Abir payah. Abir melakukan ini---membujuk Alara---adalah karena dia hafal sifat perempuan itu luar dalam. Jika dia pasrah saja dan membiarkan 'sesuatu' terjadi di antara mereka, maka setelah Alara sadar nanti dan ingat semuanya, Abir yakin seratus persen, Alara akan menuntutnya di pengadilan dengan kasus pemaksaan.
Alara tidak akan mau dengar, jika itu terjadi bukan karena kemauan Abir, tetapi dia sendiri. Maka, untuk menyelamatkan diri, Abir memilih mengalah.
***
Musyawarah untuk mufakat telah menghasilkan keputusan: tidak akan ada yang menyusul Alara dan Abir ke Bali. Meski itu sangat sulit bagi kedua orang tua Abir, tapi pada akhirnya mereka harus terima kalau putranya itu sudah deweasa. Tidak seharusnya mereka khawatir berlebihan, toh Abir juga sudah terbiasa menghadapi apa-apa sendiri. Harus mereka akui juga, mereka tak pernah tahu apa pun yang putra kesayangan mereka itu alami. Abir tak pernah mau cerita meski sudah diinterogasi.
Lagi pula, salah satu hal yang membuat mereka yakin Abir dan Alara akan baik-baik saja, sudah pasti karena mereka berdua bukan lagi anak kecil. Jadi, seharusnya mereka bisa, bukan?
***
Pagi yang cerah terlalui. Sekarang, siang yang terik menyambut sepasang suami dan istri yang seperti tak ada niatan bangun ini. Si istri tertidur rapi di ranjang, sementara sang suami menggeletak di lantai beralaskan karpet bulu-bulu yang tebal. Begadang hampir semalaman membuat mereka seperti lupa bagaimana cara membuka mata. Namun, matahari malah menjahili mereka dengan mengerahkan sinarnya yang super terang menyinari salah satu dari mereka.
"Engghh ..." Lenguhan keluar dari bibir Alara. Kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali. "Gue lagi ada di mana? Ck, kenapa kepala gue juga pusing gini?"
Tidak cukup hanya kepala, tapi badan Alara pun terasa remuk; sakit semua seperti habis dipukuli selusin preman. Meski begitu, Alara tetap memaksa bangun. Salah satu penyebab adalah kandung kemihnya terasa penuh. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali buang air kecil.
"Ebusett, ini orang lagi kerasukan apaan geletakan di sini?!" serunya terkaget-kaget saat mendapati Abir tergeletak seperti orang pingsan di lantai. "Bir! Abir! Woy bangun!"
Sepertinya teriakan saja tidak mempan menembus telinga Abir yang lupa dipasang baterai. Dia harus memberi sedikit sentuhan pada pria itu lewat kaki panjangnya.
Bugh!
"Aduhh!" Abir refleks berbalik memeluk lutut malangnya yang terkena tendangan super Alara.
Alara sendiri tengah bersedekap dada menatap tak suka Abir yang malah sibuk berguling-guling. "Lo ngapain geletakan di situ? Latihan mati? Apa minta gue injek? Dan ngapain lo tiduran di sini? Udah selesai lo ngejar-ngejar si mak lampir Sara-Sara itu?"
"Shut up! Stop bicara buruk tentang Sara!" tegas Abir. Pria itu langsung bangkit seolah melupakan rasa sakit di lututnya karena ditendang Alara. Padahal itu juga tidak sakit, karena Alara cuma menendangnya pelan-pelan.
"Ya udah, iya, oke. Trus kenapa lo tiduran di sini? Nggak tidur aja sana di pangkuan si Sara-Sara itu, ha?!"
"Lo jangan pura-pura pikun, Lara! Gue juga nggak minat tiduran di sini, kalau nggak karena males pergi setelah nganterin lo yang gila itu! Nggak bisa minum-minum tuh diem aja, nggak usah sok minum-minum kalau endingnya nyusahin orang lain!"
"Gue? Nyusahin orang lain? O hallo! Bukannya itu kerjaan lo, ya!? Gue mau minum satu truk kontainer pun, nggak bakalan mabuk! Apalagi sampe nyusahin orang lain, mustahil tau nggak!" semprot Alara.
"Terserah lo mau ngomong apa! Intinya, semua orang yang ada di tanah Bali ini tahu, gimana tingkah lo yang dalam keadaan mabuk itu!"
"Halah! Gue tetep nggak percaya! Gue kalau lagi mabuk berat, paling-paling cuma tidur! Abis itu bangun dalam keadaan sakit kepala kayak sekarang ini!"
Abir tak membalas, hanya menatap sinis perempuan kejam di hadapannya itu. Seharusnya saat Alara masih dalam keadaan mabuk berat, dia abadikan momen itu dengan memvideokannya. Biar Alara tahu, segila apa dirinya saat mabuk. Dan biar Alara tahu juga, sesekali dia harus mau disalahkan.
"Kenapa itu mata natap gue kayak gitu? Mau gue congkel apa gimana? Udah, minggir!" Alara menyenggol kasar lengan Abir dengan sengaja, lalu pergi ke kamar mandi.
Ingin sekali Abir remat-remat perempuan itu menjadi bulatan kecil-kecil, agar tidak lagi menyebalkan. Tapi tentu saja diurungkan. Sebelum mulai meremat Alara, yang ada dia akan jadi perkedel duluan.
*Ting
*Ting
Bel pintu ruangan ini berbunyi. Abir bergegas membukanya karena memang berdiri di dekat pintu itu.
"Iya?"
"Tuan, ini ada paket untuk Anda dan Nyonya Alara," ucap staf itu seraya menyerahkan sebuah kotak kardus berukuran sedang.
"Dari siapa?"
"Pengirim tidak mau menyebutkan identitasnya, Pak, karena yakin Anda akan tahu setelah membuka sendiri kotak itu. Baiklah, saya permisi."
"Terima kasih," ucap Abir; staf itu mengangguk lalu pergi.
Selanjutnya, Abir masuk tanpa mengalihkan pandangannya dari kardus itu. Tidak sabar, ia buka, dan terlihatlah isinya yang berupa kotak kayu berukuran 10 × 10 cm. Kira-kira apa isinya? Terasa sangat ringan seperti tanpa isi. Dan kalaupun ada isinya, tidak akan banyak—mengingat ukurannya yang mungil.
"Buka apa nunggu Alara? Buka aja, deh," Abir bermonolog sebelum membuka kotak itu.
Ada semacam kunci yang merekatkan tutup dan badan kotaknya. Begitu ditarik sedikit, isinya yang berupa selembar kertas langsung terlihat.
“30 × 4 \= ....
Waktumu dimulai,
hitung mundur
dari hasil angka itu,
Tuan dan Nyonya.”
Abir mengernyit usai membaca beberapa patah kata tulisan dari kertas itu. "Dia mau ngasih tebakan perkalian? Dan kenapa pula harus ngitung mundur?"
"ALARA!" panggil Abir pada Alara yang masih belum keluar dari kamar mandi.
"Apaan?"
"Cepetan sini, deh! Kita dapet kiriman paket!"
"Iya, bentar!"
Hampir sepuluh detik kemudian, Alara muncul di hadapan Abir dalam keadaan sedikit lebih segar. "Apaan manggil-manggil gue? Nggak manggil si Sara aja sana?"
"Please, nggak usah sebut-sebut Sara dulu. Nih, lihat, ada yang ngasih kita kotak isinya surat ini," Abir menyodorkan sepucuk surat di kertas lusuh itu pada Alara.
"Tiga puluh kali empat samadengan titik-titik. Waktumu dimulai, hitung mundur dari hasil angka itu, Tuan dan Nyonya. Lah, ini maksudnya apaan?"
Abir mengedikkan pundak. "Lu disuruh ngitung mundur. Masih inget caranya, kan?"
"Tunda dulu bikin gue keselnya. Sekarang kita fokus pikirin apa maksud kata-kata itu," terang Alara.
"Halah, palingan paket nyasar. Gabut banget disuruh hitung mundur dari 120." Abir membaringkan dirinya di tengah-tengah ranjang, cuek saja dengan isi surat itu.
Namun, tak berlaku untuk Alara. Dia justru sibuk membolak-balik kertas kecil itu beserta kotak kayunya.
"Ketemu!" serunya hampir sepuluh detik kemudian.
"Ketemu apa? Telur cicak?" tanya Abir malas.
"Sayangnya enggak, biar nggak lu ceplok buat sarapan. Tapi di sini, tertulis huruf S di balik tutupnya."
"S?" Abir bangkit dan mulai terlihat penasaran.
"Iya, S, siapa?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments