"Kepala?"
"Iyaa!" angguk Alara. Kedua matanya yang hampir tak pernah memejam kecuali tidur, sekarang ini memejam rapat.
Jika Alara sudah setakut itu, mau tak mau Abir harus hampiri sendiri kardus yang telah Alara lempar jauh, lalu lihat apa isinya.
"Ada darahnya, Bir!" teriak Alara memberi tahu.
Darah? Oh, sial! Meski dirinya seorang laki-laki, Abir itu sangat takut dengan darah. Ia bisa mendadak pingsan hanya karena melihat setetes darah. Tapi kali ini, benar-benar tak ada kompromi lagi. Alara takut, jika dia pun takut, siapa yang akan memeriksa isi kardus itu?
Abir raih perlahan-lahan kardus yang bagian terbuka tidak menghadap padanya. Dengan mata yang juga memejam, Abir menghadapkan bagian terbuka kardus itu padanya.
Sambil berhitung mundur dari tiga, Abir membuka matanya perlahan-lahan. Ketika matanya sudah terbuka, ia juga dibuat hampir tak bisa berkedip setelah melihat isi kotak itu.
Suara Abir tercekat di kerongkongan dan hilang. Perutnya mendadak mual, kepalanya pun seperti berputar-putar. Tapi tidak, ia tidak boleh pingsan. Itu memang kepala, tapi bukan kepala manusia.
Sambil memejam erat-erat, Abir mengangkat kepala itu dari dalam kardus. Ringan, hanya sebesar kepalan tangan orang dewasa. Namun, berlumuran cairan merah yang mirip darah.
Abir membuka matanya, membaukan cairan lumayan kental itu ke hidungnya. Tidak ada bau anyir khas darah. Justru yang ada, seperti bau jus … jus stroberi?
"Gimana, Bir? Udah lu buang kepalanya?" Alara masih menutup kedua mata dengan telapak tangan, bahkan belum juga turun dari atas sofa.
"Ini cuma boneka sama jus stroberi, Ra," tutur Abir, masih sedikit syok.
"Hah?" Alara membuka mata, mengerjap beberapa kali. "Boneka dijus?"
"Boneka sama jus stroberi," jelas Abir.
Alara kemudian turun dari sofa; menghampiri Abir di lantai.
"Seriusan kepala boneka sama jus stroberi?"
"Iyaaa, nih, lihat sendiri," Abir mengangkat kepala boneka itu dan menunjukkannya pada Alara.
"Iya, ya, cuma kepala boneka," Alara akhirnya membenarkan perkataan Abir. "Ada apa lagi di sana? Cuma jus kepala boneka ini?"
Abir meraih kardus tersebut dan melihat ke dalamnya; membolak-balik juga karena siapa tahu ada surat lagi yang tersangkut.
"Nggak ada apa-apa."
"Gue nggak percaya." Seolah rasa takutnya yang besar tadi telah habis, Alara mengambil alih kepala boneka berlumuran cairan merah yang kata Abir adalah jus stroberi. Ia goyang-goyangkan, bolak-balik, tapi ada benda lain selain cairan kental yang menetes di lantai.
Masih belum puas, Alara memandangi leher boneka yang berlubang itu. Ia masukkan tangannya ke dalam sana, dan benar, ada secarik kertas tersembunyi di dalamnya.
"Tenang, nggak akan ada darah yang akan tumpah," ucap Alara membaca tulisan itu. Hanya ada satu kalimat, itu pun bisa terbaca karena ditulis di kertas putih yang dilaminating.
"Darah tumpah-darah tumpah apaan maksudnya? Gila tuh orang, apa coba maksudnya ngasih paket isinya kepala boneka? Leluconnya kelewatan banget, malah nggak lucu banget sumpah," maki Abir kesal bukan main.
Abir tak pernah berharap akan punya genre thriller dalam hidupnya. Dia hanya suka dan selalu berharap hidupnya dipenuhi genre roman dan komedi. Dan oke, katakanlah kepala boneka ini bagian dari genre komedi, lalu, jenis komedi macam apakah ini?
"Bercandanya nggak lucu banget sumpah," Alara menyetujui sumpah serapah Abir.
Selanjutnya, mereka berdua diam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Siapa orang gabut yang mengirimi mereka kepala boneka berlumurkan jus stroberi? Ditambah dengan surat yang katanya tidak akan ada darah, apa maksudnya semua itu?
"Bir," panggil Alara setelah beberapa saat.
"Hm?" Abir mengangkat wajah, menatap perempuan itu.
"Hidup kita kok kayak nggak tenang, ya, setelah gue culik lu dari Sara," papar Alara.
Abir mengedikkan pundak. "Gue malah takut, kalau setelah gue lu culik, Sara juga diculik orang atau apa. Trus, dia diapa-apain."
"Ya jangan mikir gitulah, gue malah jadi bersalah kalau gini ..." larang Alara setelah merengek.
"Jadi kita harus gimana?"
"Cari Sara? Pastiin dia baik-baik aja?"
"Gila, lo? Sara ada di Bali, ya kali kita jauh-jauh balik ke Bali cuma buat mastiin Sara baik-baik aja?" Abir tidak setuju dengan usul Alara. Bukan soal jauh atau apa, hanya saja ... entah mengapa dia malah tak yakin Sara masih hidup hingga detik ini. Kenapa? Karena dia ingat, perempuan itu kemarin bilang:
“Aku cuma punya waktu beberapa hari, Abir. Nggak sampai seminggu. Itu sebabnya, aku ingin menghabiskan waktu denganmu sekarang, sebelum waktuku habis.”
Itu jugalah yang membuat Abir sangat marah saat Alara dengan kekonyolan yang hakiki malah menculiknya. Bukan karena Sara yang lebih penting, tapi lebih ke waktu Sara yang tinggal sedikit. Apa salahnya menghabiskan beberapa hari dari hidupnya untuk memenuhi keinginan terakhir Sara? Abir berpikir setelah Sara tiada, Sara bisa tiada dengan tenang di alam sana. Paling tidak, beberapa mimpinya telah terkabulkan.
Tetapi, nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa lagi dikembalikan jadi nasi. Mereka harus bagaimana? Menemukan Sara pun tidak mungkin. Sara ada di mana, masih di Bali atau tidak, masih hidup atau sudah dapat tiket ke surga, mereka tidak tahu.
"Biasanya kerjaan lo kan keliling dunia, masa lo nggak punya kenalan siapa gitu di Bali, yang bisa ditanyain soal Sara ini?" kata Alara beberapa menit kemudian.
"Gue punya beberapa kenalan di sana, tapi mereka semua udah nggak tinggal lagi di Bali. Pada pindah ke pulau lain ikut istrinya," jawab Abir.
"Kalau kita punya kenalan di sana, kita nggak perlu jauh-jauh kembali ke Bali, hanya untuk mastiin Sara beneran baik-baik aja," terang Alara.
"Jujur aja, Ra, gue malah nggak yakin Sara masih hidup," aku Abir.
Alara membelalak. "Kenapa gitu?"
"Karena, dia bilang cuma punya waktu beberapa hari, nggak sampai seminggu. Jadi, kecil kemungkinan dia masih hidup sampai detik ini."
Alara termangu. "Jadi, dia beneran sakit?"
"Harus berapa kali gue bilang? Iya, Lara, dia beneran sakit. Orang gila mana yang mau korbanin nyawanya demi bohong? Dia ngajak gue jalan ke sana-sini, karena dia tahu nggak punya waktu lebih dari seminggu."
"Enggak, Bir, lo nggak boleh ngomong gitu. Kita harus pastiin dulu, Sara masih hidup atau enggak, jangan bikin opini sendiri. Ya, siapa tahu dia dapat donor jantung, bisa sembuh, kan nggak ada yang tahu."
Abir menghela napas panjang. "Ya udah, sekarang lo mau apa?"
"Deva!" seru Alara sambil menjentikkan jarinya dengan tiba-tiba.
"Deva siapa?"
"Mantan gue yang baru gue putusin beberapa hari lalu. Dia tinggal di Bali, dan dia orangnya baik banget. Bisalah kita minta bantuannya untuk cari tahu soal Sara."
"Ya udah, kalau gitu telfon sana," suruh Abir.
"Oke." Alara mengangguk, lalu mendekat ke meja tempat diletakkannya telpon rumah.
Belum sempat ia memencet beberapa digit nomor telepon Deva, benda itu sudah berbunyi nyaring—tanda panggilan masuk.
"Iya, halo?"
" ......"
"Be-besok?"
" ......"
"Iya. Baiklah."
Alara meletakkan telpon rumah dan menatap Abir sendu. "Besok kita disuruh ke rumah lo. Adek lo, si Arshia mau tunangan katanya."
"Tunangan?"
Alara mengangguk.
"Gila tuh anak, nggak sabar banget mau nikah." Abir geleng-geleng heran.
"Kita ke sana, ikut bantu nyiapin acaranya, pastinya kita bakalan sibuk banget. Jadi, mana bisa kita cari tahu soal Sara lewat Deva?"
"Kita tunda dulu pencarian Sara. Pertama, kita tuntasin dulu acaranya Arshia."
"Bukan soal itunya, Bir. Kalau kita nggak sesegera mungkin nyelesaiin masalah Sara ini, gue takut, orang yang neror kita itu bakalan lebih berani. Ngacau di acara Arshia, misal?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments