Alara menyusuri garis pantai sambil menenteng high heels; mulutnya tidak berhenti berkomat-kamit seperti dukun membaca mantra; rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, hingga beterbangan tertiup angin. Terlihat cukup mengerikan di hari yang sudah malam ini.
"Dasar Abir ngeselin! Tujuannya punya ponsel apa coba? Ditelpon malah nggak aktif terus-terusan. Tiap keluyuran, pasti ponselnya dimatiin. Ish! Ngeselin!"
Memang benar, apa yang membuat Alara kesal bukan main masih tetap sama, Abir. Pria itu seperti punya dendam pribadi pada benda bernama ponsel ketika keluyuran. Padahal, ponsel adalah benda yang paling penting untuk berkomunikasi dengan orang rumah.
Sebagai akibat dari sifat konyol Abir itu, Alara jadi lelah berjalan ratusan meter hanya untuk mencari keberadaan laki-laki itu. Jika bukan karena uang yang hampir 40 juta terbuang percuma demi kedatangan mereka berdua ke sini, Alara tidak akan mau repot-repot keliling sepanjang garis pantai hanya demi mencari Abir.
Dia bukannya mau mengajak Abir melakukan aktivitas para pasangan bulan madu pada umumnya, tapi … dia hanya ingin mengajak Abir menghabiskan waktu bersama-sama di resort itu. Setidaknya, dia jauh-jauh ke sini punya tujuan, bukan hanya numpang tidur atau lebih tepatnya seperti orang gabut.
Berkilo-kilo meter jauhnya dari tempat Alara berjalan, Abir tengah duduk berhadapan dengan seorang gadis cantik berambut hitam sepunggung yang mengenakan gaun merah. Gadis yang sejak tadi terus menampilkan senyum, meski ekspresi Abir hanya datar-datar saja.
"Bagaimana kabar kamu, Abir?" tanya gadis itu setelah sekian menit hanya saling diam.
"Baik, seperti yang kamu lihat," jawab Abir. "Sekarang katakan, kenapa kamu ngotot ngajak aku ketemuan? Inget, Sara, hubungan kita sudah berakhir; aku sudah menikah."
Perempuan yang dipanggil Sara itu lagi-lagi memamerkan senyum. "Iya, Abir. Aku inget, kok."
"Jadi, ngapain kamu nyuruh aku ke sini?"
"Kamu jangan suudzon dulu, Abir. Karena kamu datang ke kotaku, jadi aku ingin menunjukkan isi kota ini padamu."
Abir berdecak. "Sara, bukannya aku nolak, tapi … aku emang nggak bisa. Aku di sini cuma tiga hari. Please kamu ngerti, ya?"
Sara tersenyum tipis seraya menyisipkan anak rambutnya di balik daun telinga. "Andai aku juga punya waktu lebih dari tiga hari, aku nggak akan minta kamu untuk ke sini sekarang, Abir. Bahkan mungkin … aku juga nggak akan menghubungi kamu lagi."
"Maksudmu nggak punya waktu lebih dari tiga hari apa?" Abir menyernyit tak mengerti.
"Sebenernya aku nggak mau ngomong soal ini ke kamu, tapi … berhubung waktuku tinggal sedikit, jadi biarlah kamu tahu," tutur Sara setengah-setengah.
"Sara, please, bicara yang jelas. Apa maksud kamu ngomong nggak punya banyak waktu dan sebagainya? Kamu kenapa?" Abir jadi kesal sendiri, dia paling tidak betah dengan pembicaraan yang berputar-putar dan tidak langsung ke intinya.
"Aku … aku sekarat, Abir. Usiaku udah nggak lama lagi. Kamu tahu sendirilah, jantungku yang bermasalah sejak dulu ini … sekarang makin bermasalah sampai membutuhkan donor. Tapi, sampai detik ini masih belum ada. Jadi, ya, hidupku tinggal beberapa hari lagi."
Hanya detakan yang terdengar cepat di dada Abir, sedang bibirnya terasa kelu; tak mampu mengatakan apa-apa.
"Aku masih punya beberapa mimpi, Abir, salah satunya berkeliling kota ini sama kamu. Itu aku tulis saat hubungan kita belum berakhir. Aku kira … meski kita nggak akan pernah bisa bersatu, paling enggak kita punya banyak kenangan. Kamu juga akan jadi satu-satunya orang yang menuhin impian-impian terakhirku. Dan sekarang, kalau kamu memang nggak bisa, it's okay. Nggak apa-apa. Aku ngerti." Sara menutup kalimatnya yang panjang itu dengan senyuman manisnya yang khas.
Dan sungguh, itu yang membuat Abir semakin dibuat tak bisa berkata-kata lagi. Tak pernah ia sangka, Sara, pacar terlamanya itu, akan terkena penyakit seperti ini. Ketika Sara bercerita soal jantungnya yang tidak normal, Abir menganggap itu bukanlah masalah besar. Abir tak pernah berpikir sampai jauh, bahwa mencari donor jantung itu ratusan kali lipat lebih sulit ketimbang darah.
"Aku permisi, Ab---"
"Tunggu, Sara," cegah Abir seraya menggenggam pergelangan tangan perempuan itu. "Katakan, apa impian-impian kamu? Aku akan memenuhi semuanya."
Netra cokelat gelap milik Sara langsung berbinar-binar. "Kamu serius?"
Abir mengangguk yakin. Perjanjian sebelum pernikahan dengan Alara, tidak melarangnya untuk selingkuh dengan siapa saja, bukan? Jadi, dia tak terikat apa-apa.
***
Alara mendudukkan dirinya di pasir putih yang kering. Sudah berjam-jam dia jalan-jalan tidak jelas, tapi tidak menemukan sosok Abir sama sekali. Memang dasar kurang ajar. Alara sampai berpikir, apa mungkin Abir pulang duluan ke Jakarta?
"Masa iya, sih, dia balik duluan ke Jakarta?" gumam Alara bertanya-tanya. "Kalaupun iya, kok bisa-bisanya? Dia nyadar nggak, sih? Dia ke sini sama gue, mau honeymoon sama gue, bukannya keluyuran nggak jelas di sini. Iya, oke, gue tahu perjanjiannya nggak akan ngekang kita berdua, tapi nggak gini juga konsepnya. Kalaupun mau selingkuh, apa nggak bisa tahan sampe besok? Lagian, dia sendiri yang berpesan biar kalau selingkuh nggak macem-macem."
Jika pria bernama Abir itu sekarang ada di hadapannya, Alara bersumpah akan meninju hidung panjangnya itu. Dia lelah; lelah jalan kaki, lelah menggerutu tidak jelas sejak berjam-jam lalu seperti orang tidak waras. Abaikan kenyataan kalau selama ini Alara memang sedikit tidak waras.
Beberapa menit kemudian, Alara berdiri. Ia berjalan sedikit lebih dekat dengan pantai hingga kakinya diterpa ombak-ombak kecil. Ia memejamkan mata, menikmati angin malam yang menerpa wajahnya. Dinginnya angin malam, pada akhirnya membuat pikiran Alara juga sedikit lebih tenang.
Sekarang, dia akan kembali ke hotel, tidur yang puas sampai pagi. Persetan dengan biaya besar yang telah digelontorkan oleh para ayah itu. Ini bukan permintaannya juga. Jadi, dia tidak bersalah dalam hal ini.
Bruk!
Alara mengerjap beberapa kali ketika sadar menabrak seseorang. Baru juga dia berbalik, tapi dirinya yang payah ini sudah menabrak orang.
"Sorry, nggak sengaja," kata Alara tanpa berminat menatap wajah sosok yang ia tabrak itu.
"Enggak pap---eh, Alara?" Pria itu menatap Alara seperti terkejut.
"Loh, Dave?" tunjuk Alara tak kalah kagetnya. Itu Dave yang sama dengan yang dia ajak chattingan beberapa hari lalu, yang mana mengakibatkannya tertangkap hingga harus 'meracuni' Bibi Amira dengan dinitrogen monoksida. "Lo ngapain ke sini?"
Pria bernama Dave itu malah tertawa. "Kamu itu memang pikun, ya? Aku kemarin kan bilang, aku sekarang dapat pekerjaan di sini. Jadi, aku berada sini," jelasnya.
"Oohh," Alara manggut-manggut mengerti. Dia memang pelupa, jadi wajar kalau tidak ingat apa-apa. Toh jumlah pacarnya juga terlalu banyak kalau setiap detail terkecil harus dia ingat.
"Jadi, Alara, berhubung kamu juga ada di sini, kamu mau 'kan, menghabiskan waktu denganku? Kita berdua jarang-jarang bertemu, dan pastinya kita sama-sama sangat sibuk. Kita berdua ketemu di sini, jelas itu bukan hanya kebetulan biasa. Jadi, kamu mau 'kan, jalan sebentar sama aku?"
Alara mengembuskan napas agak kasar. "Dave, sebelum itu, gue mau ngomong sesuatu sama lo."
"Ayo, bicara saja," sambut Dave ramah.
Alara menarik napas cukup dalam; menatap tepat di manik mata Dave. "Gue nggak bisa ikut lo, Dave. Gue mau kita putus, karena gue udah nikah."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
qolifatul
kapan ketemu nya abir.... si cewek ada niat jahat nggak
2022-06-03
2