"Nggak mungkin kalau itu Sara!" sergah Abir.
"Nggak ada yang nuduh Sara, woy! Gue cuma tanya, S siapa? Orang yang namanya dari huruf S kan ada banyak, jadi gue nggak nuduh Sara!" semprot Alara, "eh tapi, kenapa lo bisa mikir Sara? Jangan-jangan lo tahu ini emang ulah Sara yang sok mau neror gue? Kalau gitu denger, ya, GUE NGGAK TAKUT!"
"Udah, selesai ngocehnya?" tanya Abir datar. "Gue langsung ngomong Sara, karena gue tau, lu pasti bakalan nuduh Sara, iya, 'kan?"
"Tapi kenyataannya enggak, kan?"
"Udah, udah, cukup! Tahu, nggak? Gue capek debat terus sama lo! Dari kemaren, kita debat nggak kelar-kelar. Apa lo nggak capek? Kalau enggak, ya udah, sana. Debat aja sendiri!" pungkas Abir.
Pria itu kemudian mendudukkan dirinya di sisi ranjang, mengacak-acak rambutnya yang sudah lumayan panjang itu.
"Gue juga nggak ngajak lu debat," kata Alara seraya mendudukkan diri di sisi Abir, "gue cuma kesel sama lo."
"Ya keselnya itu kenapa, Alaraaaa?! Gue nggak ngapa-ngapain lo!" balas Abir gemas.
"Lo tuli, budeg, apa pikun sih, Bir? Gue kan udah bilang, si Sara-Sara selingkuhan lo tuh sakitnya cacat logika! Nggak masuk akal! Masih bisa-bisanya lo ngomong gue kesel kenapa? Gini, deh, Bir. Lo kalau mau selingkuh, mending ngomong sama gue, biar apa? Biar gue bantu nyariin selingkuhan yang pas. Jangan lupa, tunjukkin juga ke gue, gimana rupa dan bentuk cewek calon selingkuhan lo, bukannya sedapatnya aja diembat!"
"Dan kalau lo lupa, lo sendiri yang bikin perjanjian setelah kita menikah, kita berdua bebas mau selingkuh sama siapa pun. SIAPA PUN, inget itu!"
"Iya, tapi nggak gitu juga konsepnya! Gue emang nggak ada masalah lu selingkuh sama dia, sama sekali enggak. Yang bikin gue gedeg, dia yang ngaku-ngaku sakit cuma biar dapet perhatian, itu yang bikin gue gemes pen nampol!"
"Udahlah, debat sama lo nggak akan bikin gue menang." Abir berdiri, beranjak pergi ke teras yang langsung menghadap lautan luas.
"Terserah ya terserah, gue juga nggak minat minta maaf," Alara beringsut naik ke tempat tidur, lalu kembali menyelimuti dirinya di sana. Tubuhnya masih terasa remuk, kepalanya yang pusing pun belum sembuh, tidak seharusnya dia malah bertengkar dengan Abir dalam kondisi ini.
Jarak beberapa meter dari situ, Abir memandang Alara dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Dia kesal, tapi dia juga tidak mau memperpanjang masalah yang sebenarnya tak cocok disebut masalah saking sepelenya.
Belasan tahun bersahabat dengan Alara, tak pernah Abir bertengkar sampai seperti ini dengan perempuan itu. Berdebat memang sering, tapi sampai semarah ini ... tidak pernah sama sekali.
Jika ditanya ingin mengakhiri permasalahan ini, jelas saja Abir ingin. Namun, kali ini sedikit sulit karena Alara terus-terusan mengungkit penyakit Sara yang katanya 'cacat logika'. Mana ada penyakit yang cacat logika? Apa jantung tidak normal masih disebut kurang masuk di logika? Kalau begitu, jelaskan pada Abir, penyakit apa yang masuk di logika? Sungguh, Abir tak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Alara.
"Sara itu beneran sakit, Ra. Kenapa, sih, lo tetep nggak percaya? Gimana caranya gue jelasin ke lo, kalau Sara itu beneran sakit?"
***
Pulang dari honeymoon, seharusbya membawa efek kebahagiaan dan juga hubungan yang semakin erat. Alih-alih begitu, pasangan ini malah selayaknya dua negara yang sedang berkonflik panas begitu selesai berbulan madu. Jika tadi mereka masih bicara satu sama lain, maka untuk sekarang, duduk berdampingan saja tidak mau. Lupakan soal duduk berdampingan, mereka malah terlihat seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal.
Untuk menghibur diri, Alara mengobrol dengan orang sampingnya; seorang pemuda yang dari penampilannya terlihat seperti baru lulus SMA.
"Tapi Mbak kok nggak dikawal bodyguard Mbak? Mbak ke sini berdua aja?" Vihan, pemuda itu mendapat topik lagi untuk ditanyakan pada Alara.
"Ya enggaklah, ngapain juga dijawal bodyguard. Orang cuma mau honeymoon," Alara tertawa. Pemuda di sampingnya ini langsung tahu soal dia yang seorang model. Bahkan konon katanya, Vihan juga adalah salah satu fans Alara.
"Ya nggak apa-apa, sih, Mbak, kalau dikawal. Kan, biar kalian berdua aman. Bisa aja Mbak Alara diserang fans-fans jahat," ucap Vihan sok serius.
"Nggak akan, Vihan. Buktinya, cuma kamu yang mengenali aku. Tiga hari di sini, semua aman terkendali."
"Tapi kalau boleh tahu ... kenapa Mbak Alara tutupin pernikahan ini dari publik? Biasanya nih, ya, Mbak, artis atau model yang nikah, popularitasnya makin bertambah. Makin terkenal gitu."
"Pernikahan kami nggak dijual untuk popularitas, Vihan. Biarin lah, lagian aku nggak ingin dikenal kalau bukan karena bakat."
Vihan tersenyum lebar. "Wah, wah, makin bangga ngefans sama kamu, deh, Mbak."
"Jadi, bisa 'kan, jangan panggil saya 'mbak-mbak'? Panggil langsung pake nama aja nggak pa-pa, saya juga belum tua-tua amat. Tahu, kan? Ultah ke-26 saya masih lama."
"Kalau manggil langsung pake nama, kesannya nggak sopan, Mbak. Saya ini kan cuma fans, mana baru lulus SMA pula, nggak sopan kalau kata emak saya mah," tolak Vihan.
"Justru kalau kamu panggil saya langsung dengan nama, kita bakalan kelihatan lebih akrab. Iya, nggak?"
Vihan manggut-manggut. "Iya juga, ya. Oke lah, mulai sekarang saya panggil Mbak Alara pake nama aja."
"Sip! Gitu kan pinter," puji Alara.
Selanjurnya hening. Vihan entah sibuk melihat apa, sedang Alara sendiri menyandar sambil memejamkan mata.
Baru tiga detik, Alara kepikiran lagi soal penyakit Sara. Bagaimana kalau dia tanyakan pendapat Vihan soal penyakit itu?
"Han, kira-kira masuk akal nggak, orang sekarat tapi masih bisa liburan ke sana-sini?"
"Kalau sekaratnya udah hampir mati ya nggak masuk akal, tapi kalau punya waktu misal masih beberapa hari ... menurutku masuk akal aja. Soalnya kan banyak yang kayak gitu di film," respons Vihan.
"Kalau di film, apa pun bisa terjadi. Ini dunia nyata, kira-kira masuk akal apa enggak."
"Kenapa kamu tanya gini, Alara?"
"Karena ada masalah yang persis sama apa yang kutanyain. Jadi, kira-kira gimana?"
"Masuk akal," Vihan tetap pada jawabannya, "kalau dia nggak lagi kambuh sakitnya, trus rutin minum obat, dan kalau perlu bawa dokter pribadi."
"Misal orang yang udah divonis mati beberapa hari lagi, masih berkemungkinan besar sembuh, nggak?"
"Intinya umur seseorang itu bukan dari vonis dokter."
"Oke, sebentar," Alara mengeluarkan sepotong surat yang didapatnya dari Abir tadi, lalu menyerahkannya pada Vihan, "kira-kira ini masuk ancaman, nggak? Di bungkusnya ada inisial S, yang mana orang sakit cacat logika itu namanya dari huruf depan S juga."
Vihan memperhatikan dengan seksama selembar surat kecil itu. Keningnya mengerut, sesekali ia juga bolak-balik kertas lusuh itu.
"Menurutku, ya, itu bisa aja jadi ancaman. Apalagi ini, hitung mundur dari hasil jawaban angka itu, bisa jadi setelah waktu hitung mundurnya selesai, akan terjadi sesuatu. Dan orang yang dapat surat ini, jadi tokoh utama dalam tragedi itu."
"Tapi aku nggak percaya," Alara memasukkan kembali potongan kertas tersebut, "apalagi dari inisial S, yang kemungkinan adalah nama si perempuan nggak masuk akal itu. Si S itu kan udah mati, gimana caranya ngirim ini?"
"Wah, Mbak---maksudnya Alara, kalau itu saya nggak ngerti. Saran saya, sih, kamu hati-hati aja, khususnya setelah waktu hitungan itu habis."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
qolifatul
bikin penasaran aja
2022-06-08
1