Sepanjang perjalanan pulang, Abir yang cerewet seperti lupa cara bicara. Alara sampai heran melihat tingkahnya. Ketika Alara mengajaknya bicara, responsnya sungguh menyebalkan, karena hanya 'hm', atau 'ya', dan yang paling panjang adalah 'tidak'.
Sepanjang sejarah kehidupan Abir, sepanjang Alara jadi sahabatnya, pria itu tak pernah bicara sesingkat ini—meski dalam keadaan sakit gigi sekalipun. Abir akan mengoceh panjang lebar, dan itu selalu.
Pertanyaannya sekarang, apa Abir marah? Dia marah karena Alara menendangnya sampai jatuh pagi tadi, atau ... marah karena Alara menolak membuat anak dengannya?
"Abir," panggil Alara—untuk uji coba sampai setahan mana kemarahan Abir.
"Hm," jawab pria itu. Ternyata dia masih marah.
"Lu kenapa, sih, ham-hem ham-hem dari tadi?"
"Nggak," Abir melengos, menatap ke luar jendela.
Alara garuk-garuk tak paham. Mungkinkah di bungalow itu ada penunggunya yang berupa Hantu Lupa Bicara, yang kemudian merasuki Abir hingga pria itu lupa cara bicara? Tapi ... memangnya ada hantu seperti itu?
"Jangan kayak cewek, deh, Bir. Kalau punya masalah tuh ngomong, bukannya nyuruh orang lain peka sama masalah lo. Gimanapun juga gue nggak bisa ngeramal apa yang ada di pikiran lo," oceh Alara mulai jengkel.
Kali ini, reaksi Abir malah lebih parah. Hanya menggeleng. Itu pun masih tidak mau menatap Alara.
Alara pun berdecak, bersedekap dada, kemudian melengos ke arah jendela satunya sama seperti Abir. Kalau pria itu bisa marah, maka Alara juga bisa.
Rupanya, tingkah itu menarik Miray dan Adi yang berada di kursi depan. Kedua orang tua Alara itu saling memberi kode, sembari sesekali melirik ke arah putri dan menantu mereka.
"Bagaimana malam pertamanya, Abir? Berhasil?" Adi akhirnya membuka suara.
Abir gelagapan. "Eh, hah? B-berhasil apa?"
"Ya ... berhasil ...," jawab Adi menggantung, menarik turunkan alisnya memberi kode.
Abir menghela napas panjang. "Paman tahulah, bagaimana berhasilnya malam pertama dengan Macan Tutul," jawabnya sekenanya, tanpa malu lebih tepatnya.
Adi tertawa. "Memangnya sebelum menikah kamu pikir Alara itu apa? Kelinci?"
"Iya, dia itu Macan Tutul Berbulu Kelinci," Abir melirik sekilas Alara—yang merengut karena digosipi tepat di depannya.
"Dan Abir hanyalah Ayam Berkostum Dinosaurus, payah!" cibir Alara tak mau kalah.
Abir tidak menanggapi, hanya memutar bola mata malas, kemudian memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Tiga puluh menit kemudian, mereka telah sampai di pekarangan rumah Alara. Mobil yang ditumpangi Alara berhenti di sana, disusul beberapa mobil lain di belakangnya, yang juga berhenti di kediaman keluarga Alara.
"Loh, Pa, ini kenapa pada berhenti di sini? Mau nginep di sinikah?" tanya Alara—yang lebih kedengaran seperti protes.
"Enggak. Kita semua hanya perlu membicarakan sesuatu sebentar. Karena rumah kita yang paling dekat, jadi membicarakannya sekalian di sini," jelas Adi.
Satu per satu orang-orang keluar dari mobil yang ditumpangi masing-masing, kecuali Alara dan Abir. Alara belum keluar karena menunggu Abir yang tengah tertidur nyenyak.
"Ini orang kalau disuruh tidur rajin bener dah," gumam Alara geleng-geleng. "Bir, Abir, bangun, udah sampe di rumah gue," bisikny di dekat telinga Abir sambil menepuk dada lengan pria itu.
Bukannya membuka mata, Abir malah berbalik posisi membelakangi Alara. Gadis itu tentu saja ternganga tak percaya melihat tingkahnya.
"Sialan emang nih anak. Woy! Lu mau tidur aja apa bangun? Kalau mau tidur, tidur aja terus nggak usah bangun sekalian!" semprot Alara. "Gue pergi, bye!"
Alara keluar dengan membanting pintu keras-keras, berharap Abir akan kaget lalu tidak bisa tidur lagi.
Saat memasuki rumahnya, Alara mendapat tatapan heran dari semua orang karena sendirian tanpa Abir.
"Abir ke mana, Nak?" tanya Nenek Ashima.
"Molor," jawab Alara agak kesal.
"Dia itu kalau sudah tidur, susah banget dibangunkan. Afsana, ayo bangunkan putramu," titah Nenek Ashima.
Ibu Abir itu bangkit. Belum sempat dia melangkah, sosok yang akan dibangunkan sudah muncul di tengah-tengah pintu dengan wajah malasnya.
"Nggak usah dibangunin," ucap Abir, lalu masuk dan mengambil tempat duduk di samping ibunya.
"Baiklah, jadi, saya mengumpulkan kalian semua di sini adalah karena ingin membahas hal yang cukup penting," ujar ayah Abir, Rajvans.
"Bahas apa, Yah?" tanya Abir.
"Soal kamu sama Alara."
Alara dan Abir mengernyit, kemudian saling pandang. Akhirnya, mereka sama-sama menggeleng karena masih belum paham.
"Kami para ayah sudah memesan tiket ke Bali selama 3 hari untuk kalian honeymoon," ujar papa Alara.
"Apa?!" pekik Alara dan Abir bersamaan.
"Apanya yang apa? Honeymoon, ke Bali, tiga hari," jelas ayah Abir.
"Enggak, Yah. Abir nggak bisa. Minggu ini Abir lagi ada banyak job," tolak Abir.
"Alara juga nggak bisa. Minggu ini Alara lagi ada banyak pemotretan. Lagian Alara juga udah lama ngambil cuti," tambah Alara.
"Sejak kapan kamu jadi nolak cuti begitu? Ayolah, Alara, cuma tiga hari. Nggak lama," bujuk Miray.
"Enggak mau, Ma. Lagian ngapain sih pake acara bulan madu segala? Nggak penting banget," Alara merengut tak senang.
"Kata siapa nggak penting? Penting, dong. Biar kami juga cepat dapat cucu, iya 'kan, Adi?"
"Betul," sahut ayah Alara itu. "Kalian cuma ngambil cuti tiga hari, apa salahnya? Lagi pula, setiap orang harus mengambil cuti untuk pernikahannya, kan?"
Alara mengembuskan napas kasar, lalu memandang Abir. Suami sekaligus sahabatnya itu hanya mengedikkan pundak, seolah pasrah dengan apa pun keputusan yang akan Alara ambil.
"Ya udah. Iya. Kami setuju. Cuma tiga hari, kan? Dan nggak ada drama-drama lainnya?" Alara memastikan.
Adi dan Rajvans serempak menggeleng sambil mengangkat kedua tangan di dekat pundak.
"Sekarang kalian bisa berkemas, berangkatnya nanti sore."
"What?!" Sepasang suami istri baru itu kembali terpekik. "Cepet banget?!" protes Alara.
"Lebih cepat berangkat, lebih cepat kalian pulang, benar?" Adi menaik-turunkan alisnya.
Alara mendengus. "Terserah."
"Baiklah. Pembahasan ini selesai. Sekarang, kalian berdua, Alara dan Abir, bisa pulang."
Mereka tidak lagi memekik, tetapi melotot lebar. Hey, kejutan apa lagi ini? Tidak cukupkah mereka berdua 'dipaksa bulan madu'?
"Apa lagi semua ini, Ayah?"
"Barang-barang kalian berdua sudah diantar ke tempat tinggal kalian yang baru. Sopir juga sudah menunggu kalian berdua di depan," ujar Adi sambil tersenyum.
Alara mendengus sekali lagi, lalu berdiri dan menarik tangan Abir untuk keluar. Ah, dia tidak perlu pakai acara pamit-pamitan segala. Biasanya juga bagaimana.
"Ini pasti ide bapak lo," tuduh Alara ketika mereka sudah berada di mobil.
"Eh, eh, enak aja lo, ya!? Giliran yang kayak gini ayah gue yang salah, giliran beli apart, itu ide papa lo," Abir tak terima.
"Iyalah! Pasti ini semua bapak lo yang bujukin Papa biar mau diajak buang kita ke Bali," Alara masih tak mau kalah.
"Nggak! Ini pasti ide papa lo! Sekarang lo pikir aja, anaknya cuma satu, dan itu lo! Jadi, mereka cuma bisa mengharap punya cucu dari lo!"
Alara mendengus. Kata-kata Abir ada benarnya juga. Jadi, benar ini ide papanya? Ah, entahlah. Ide siapa pun ini, intinya dia kesal sekali!
"Gue kira, dengan kita menikah, hidup kita bakalan bebas seperti yang kita bayangkan. Tapi nyatanya? Masih ada aja tuntutan yang harus kita lakuin," gerutu Alara.
Abir menatap Alara sesaat, lalu mengangguk. Tentu saja, ia langsung setuju dengan kata-kata Alara. Dia juga membayangkan, hari setelah pernikahannya dengan Alara, dia akan jadi seperti burung yang terbang di langit; bebas. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih terbang di langit, dia malah dikurung dalam sangkar.
Pertama, mereka dipaksa pergi bulan madu. Kedua, mereka pasti ditagih cucu. Dan ketiga, entah tuntutan-tuntutan apalagi yang akan datang pada mereka.
"Sepertinya pernikahan kita adalah kesalahan terbesar di muka bumi ini, Lara," hembus Abir.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Siti Fatimah
hahaha....gumuzzz
2022-07-29
1