Bersikap manis pada setiap perempuan sebenarnya adalah sifat dasar Abir. Tak peduli siapa pun perempuan itu, dia akan selalu memperlakukannya sebaik mungkin. Itu juga yang membuatnya dianggap sebagai lelaki playboy yang merayu semua benda bergerak. Padahal, bukan itu sebenarnya maksud Abir. Dia baik pada setiap perempuan adalah karena dia sadar memiliki ibu, adik, dan nenek yang juga perempuan. Bisa dibilang, ia paling anti melihat kaum perempuan diperlakukan semena-mena.
Sikap manisnya itu terkecuali pada Alara tentu saja. Jika para perempuan 'normal' akan senang diperlakukan dengan manis, maka khusus untuk perempuan dengan kadar kenormalan di luar batas, Alara, akan menganggapnya sedang kerasukan roh jahat yang berpura-pura jadi roh baik.
Ah, sudahlah. Mengingat satu per satu sifat aneh Alara tidak akan ada habisnya.
Ketika lamunan itu selesai, saat itu juga dia dan Sara sampai di mobil. Sara yang membukakan pintu, kemudian dia mendudukkan perlahan Sara ke dalam mobil.
"Sekali lagi, makasih banyak, ya, Abir. Aku sangat merepotkanmu," ucap Sara tidak enak.
"Nggak pa-pa, Sara. Ini sama sekali bukan masalah," balas Abir tersenyum.
"Ya udah, Abir. Kita nggak jadi makan. Kita cari penginapan aja, ya? Biar besok bisa langsung jalan lagi."
"Oke. Ayo."
***
Malam ke pagi, Alara menikmati seluruh fasilitas yang diberikan pihak hotel. Sarapan yang lezat pagi ini—sebanyak dua porsi—dia makan sendiri. Rakus? Sangat. Perut Alara yang seluas samudra, bisa memakan apa pun sekaligus.
Menikmati matahari pagi yang hangat, makanan enak, lagu-lagu favorit dari ponsel, hidup Alara sangat menyenangkan hari ini. Masa bodoh dengan Abir, pria itu sudah tidak lagi Alara pikirkan. Kalaupun sekarang Abir sedang ditelan ikan hiu, ya sudah, biarkan saja.
"Paling-paling dia lagi tidur di hutan, sama macan, singa, ular, atau lagi ngambang di laut sama hiu. Halah, biarin aja," gumam Alara seraya menyantap dessert-nya. "Habis ini enaknya ngapain, ya? Jalan-jalan? Belanja? Tidur? Nonton film?"
Alara menghela napas panjang. Sendiri memang menyenangkan, tetapi cukup membosankan juga. Seseorang, tolong rekomendasikan aktivitas yang seru pada Alara!
Hmm ... sepertinya menonton story WhatsApp orang-orang sedikit menyenangkan. Lumayanlah, pada akhirnya dia mendapat sedikit aktivitas.
Meski mustahil, Alara mencoba mencari nama kontak Abir di kolom pencarian status. Tak disangka, nama itu muncul dengan satu story yang belum dia lihat.
"Gila, sih, nggak bisa dihubungin tapi bisa-bisanya bikin story?" Alara geleng-geleng. Lalu dikliknya status itu. Muncul foto botol kaca berisikan benda kecil-kecil yang bersinar terang. Di belakangnya, ada seorang gadis yang tak terlalu jelas terlihat karena tempat yang gelap. Namun, satu hal pasti adalah, gadis itu tersenyum ceria sambil memeluk botol kacanya. Lalu, caption yang tertulis di foto itu: kunang-kunang kehidupan; disertai sparkles emoji.
"Oalah..., jadi dia selingkuh, toh? Pantesan aja buru-buru mau pergi. Dasar kadal, buaya, kang selingkuh!" oceh Alara tidak jelas. "Tapi nggak apa-apa, deh. Toh perjanjian sebelum pernikahan juga melegalkan perselingkuhan. So, whatever. I don't care."
Kemudian ia lanjutkan lagi acara makannya yang tertunda. Habis ini dia juga berencana membeli beberapa makanan lagi. Hari yang panjang, yang akan dihabiskan dengan makan sampai puas. Lalu malamnya, jalan-jalan.
***
"Makanan siap~" Abir membawakan nampan berisi makanan untuk Sara yang masih berada di tempat tidur.
"Makasih banyak, Abir. Kamu baik banget. Maafin aku yang malah ngerepotin kamu terus ...." Sara mengucapkan dengan senyum yang mengembang di bibir, juga mata yang berkaca-kaca.
"Enggak repot, kok. Kan kamu lagi sakit. Dimakan, ya," ujar Abir seraya meletakkan nampan itu di meja samping Sara.
Abir beranjak ke kursi di mana tas Sara diletakkan. Di dalam sana, obat-obat Sara disimpan. Abir tidak tahu apa nama obatnya, juga apa kegunaannya. Ia hanya ingin membantu memudahkan urusan Sara—dan kalau bisa agar gadis itu cepat sembuh.
"Abir ...," panggil Sara pelan.
"Iya? Butuh sesuatu?" Abir mendudukkan dirinya di samping ranjang dekat Sara.
"Kalau aku bilang ingin kamu suapi ... gimana? Satu hari dari hidupku sudah habis, Abir. Ini hari yang baru, yang juga berarti ... jatah hidupku di muka bumi ini mau habis."
Abir menghela napas panjang, kemudian bibirnya memasang senyum. "Aku mohon sama kamu, Sara, jangan bahas kematian terus-menerus. Hidup seseorang itu nggak ada yang tahu. Aku ngerti, kamu mungkin udah kehilangan harapan soal donor jantung itu, tapi ... bisa aja 'kan, entah besok, lusa, atau bahkan nanti, Tuhan mengirimkan seseorang untuk mendonorkan jantungnya untuk kamu? Kita nggak tahu soal itu, Sara," tuturnya lembut.
"Aku hanya bicara kenyataan, Abir. Waktuku memang nggak banyak. Hidup ini juga bukan film, yang mana di detik-detik terakhir aku akan dapat donor jantung. Enggak, Abir. Kalau waktuku tinggal sedikit, ya itulah kenyataannya."
Abir mengangguk. "Aku ngerti. Ya udah, daripada kita debat, mending kamu makan. Aku yang suapin."
"Okeee, aku menunggu. Aaa~" Sara membuka mulutnya semangat, sedang Abir menyendokkan sesendok sup ke mulut Sara.
Sesaat setelah suapan pertama itu berhasil masuk, keduanya tertawa bersama-sama.
"Habis ini kita ke pantai, ya, Abir?"
"Siaapp. Selama aku di masih di sini, kamu mau ngajak ke mana pun aku turutin," ikrar Abir.
***
Alara tidak jadi menghabiskan waktunya yang melimpah hari ini bersama sekeranjang makanan. Ia yang mudah bosan ini tentu saja sudah bosan. Lebih-lebih setelah tahu Abir sibuk selingkuh. Bukannya cemburu, ia hanya ... iri. Di satu sisi Abir bisa enak-enakan selingkuh, di sisi lain dia jadi seperti orang gila yang makan terus tanpa henti.
Maka, di sinilah Alara sekarang berada: pantai terdekat dari hotelnya. Paling tidak, dia bisa bermain air, bertemu orang-orang, dan mungkin mencari teman baru. Prinsip Alara: jika Abir selingkuh, dia harus selingkuh juga. Jika Abir selingkuh dan dia tidak, itu namanya tidak adil. Benar, kan?
Semua orang di pantai ini terlihat sangat ceria. Hampir kesemuanya bersama keluarga atau pasangan masing-masing. Rasa-rasanya, hanya Alara yang seolah adalah jomblo abadi di sini. Padahal faktanya, dia bukan lagi jomblo. Dan kapan Alara pernah menjomblo? Belum putus dari satu orang, dia sudah mendapat banyak ganti.
"Apa gue pulang aja, ya? Tapi ... bisa digantung Papa di tiang bendera gue nanti, kalau berani pulang tanpa Abir. Si Abir juga, selingkuh nggak ngajak-ngajak. Harusnya kan dia ngomong, kalau dia tuh punya pacar di sini, biar gue ke sini juga sambil bawa salah satu pacar gue," oceh Alara yang saat ini berselonjor kaki di hamparan pasir putih.
"Apa gue kena azab kali, ya, karena udah mutusin si Dave? Tapi salah gue apa coba? Gue kan cuma kasihan, laki-laki sebaik dia malah dapet cewek pengoleksi pacar kayak gue," ocehnya terus-menerus. "Udahlah, mendingan lanjut jalan aja."
Alara kembali menyusuri garis pantai. Ini bukan karena dia yang bodoh—karena Abir jelas-jelas tidak ada di sini sejak dicari semalam—, dia hanya ingin menyegarkan pikiran dari kebosanan yang membunuhnya jika terus-terusan mendekam di dalam hotel.
Entah sudah berapa meter Alara berjalan. Yang jelas, semua yang terlihat di matanya adalah pemandangan yang sama.
"Eh, itu kan Abir," gumam Alara saat penglihatannya merekam sosok laki-laki dan perempuan tengah bermain kejar-kejaran dengan ombak, "siapa cewek itu? Kok gue nggak pernah lihat?"
Alara perhatikan terus-menerus segala tingkah pasangan itu dari balik pohon kelapa. Dia bukan lagi yakin, tapi tahu itu sungguhan Abir.
Hampir lima menit Alara memata-matai kedua orang itu. Sambil menggerutu, tentu saja. Dia memang bisa langsung menghampiri kedua orang itu, tapi ... akan lebih seru jika dilihat secara diam-diam begini. Semua adegan yang terjadi adalah murni, alami, bukan settingan. Barulah saat menit keenam, Abir membawa gadis itu istirahat sebentar. Tidak jauh, hanya sebatas di pasir yang tidak basah.
Alara agak mendekat. Jarak dekat sangat menguntungkan untuk mendengar apa saja yang suaminya bicarakan bersama perempuan itu.
"Sakit? Tinggal beberapa hari?" gumam Alara terheran-heran, "tapi ... kok masih bisa kejar-kejaran sama ombak, sih? Wah, wah, ada yang nggak beres, nih. Harus segera dibasmi."
Kepala Alara sudah menyembul dari balik pohon kelapa. Pikirannya kali ini berubah lagi. Dia bisa langsung datang ke sana dan pura-pura sok akrab dengan suaminya sendiri, atau berpura-pura jadi istri yang tersakiti. Tetapi, sedetik kemudian ia ingat, film-film yang pernah ia tonton mengatakan, dia tidak boleh melakukan sesuatu yang mainstream; dia harus melakukan sesuatu yang anti-mainstream. Sebagai satu-satunya istri di negara ini yang tidak marah ataupun kepanasan melihat suami berduaan dengan wanita lain, dia harus melakukan sesuatu yang keren.
"Tunggu, ya, Abir. Gue otw punya wujud baru sekarang," gumam Alara sambil tersenyum jahat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
qolifatul
eh nyesel dibelakang nti
2022-06-05
1