*Penakluk Hutan Timur (PHT)*
Sepuluh tahun sudah Prabu Dira Pratakarsa Diwana menjalani hidup dengan satu ratu dan sepuluh permaisuri. Singgasana keratuan menjadi kursi bergilir bagi para permaisuri bertitel Dewi Bunga Sanggana yang berjumlah delapan wanita.
Seiring perjalanan waktu yang panjang, Istana Kerajaan Sanggana Kecil mengalami perkembangan yang luar biasa dalam pembangunannya. Kini, ada satu istana keratuan dan sepuluh istana permaisuri di Kerajaan Sanggana Kecil. Masing-masing istri Prabu Dira memiliki istananya masing-masing.
Saat ini kedudukan ratu dipegang oleh Tirana, wanita dari Kampung Cahaya Bumi di Hutan Urat Bumi.
Sepuluh tahun waktu berlalu dengan sebelas istri, tentunya Prabu Dira telah dikaruniai sejumlah keturunan karena “Joko Kecil” tidak punya riwayat kemandulan.
Saat ini, Prabu Dira sudah memiliki delapan orang anak dari istri-istrinya dengan anak tertua adalah Arda Handara yang berusia sepuluh tahun.
Berikut data kedelapan putra/putri Prabu Dira Pratakarsa Diwana:
1. Pangeran Arda Handara (L) usia 10 tahun, anak dari Permaisuri Dewi Ara (Permaisuri Geger Jagad).
2. Pangeran Getar Jagad (L) usia 9 tahun, anak dari Permaisuri Getara Cinta (Permaisuri Darah Suci).
3. Putri Hijau Sukma (P) usia 8 tahun, anak dari Permaisuri Kerling Sukma (Permaisuri Mata Hijau).
4. Pangeran Angling Kusuma (L) usia 8 tahun, anak dari Permaisuri Kusuma Dewi (Permaisuri Pedang).
5. Putri Ginang Selaksa (P) usia 6 tahun, anak dari Ratu Tirana (Permaisuri Penjaga).
6. Putri Sisilia (P) usia 6 tahun, anak dari Permaisuri Sandaria (Permaisuri Serigala).
7. Pangeran Tutsi Chang Kok (L) usia 4 tahun, anak dari Permaisuri Yuo Kai (Permaisuri Pertama/Permaisuri Negeri Jang).
8. Putri Gina Runggaya (P) usia 2 tahun, anak dari Ratu Lembayung Mekar (Permaisuri Balilitan).
Adapun Permaisuri Nara (Permaisuri Mata Hati), Permaisuri Sri Rahayu (Permaisuri Asap Racun) dan Permaisuri Ginari (Permaisuri Langkah Awan) belum dikaruniai keturunan.
Khusus Pemaisuri Sri Rahayu, ia pernah melahirkan bayinya yang dalam kondisi sudah meninggal di dalam rahim. Sementara Permaisuri Ginari memilih belum mau punya anak karena alasan fokus berlatih. Ia mau mengejar ketertinggalan dalam hal kesaktian. Gurunya adalah Permaisuri Nara. Sedangkan Permaisuri Nara memang belum bisa hamil secara alami.
Kehadiran anak-anak dalam lingkungan kerajaan membuat Prabu Dira berinisiatif membangun taman bermain yang ramah anak, bebas dari polusi, pengemis hingga pengamen. Taman bermain itu dinamai Taman Bintang Kecil, merujuk pada anak-anak manis yang seumpama bintang-bintang kecil di langit malam yang cerah.
Di Taman Bintang Kecil inilah para pangeran dan putri sering bermain, meski tidak setiap waktu atau setiap hari.
Setiap pangeran dan putri masing-masing memiliki dua tukang momong yang terpercaya dari kalangan prajurit terpilih, satu laki-laki dan satu perempuan. Fungsi pemomong wanita jelas untuk menggantikan tugas keibuan dan pemomong lelaki bertugas jaga keamanan. Meski bermain di dalam lingkungan Istana, kewaspadaan tetap harus diterapkan.
Pemomong yang memiliki tugas paling berat adalah dua pemomong Pangeran Arda Handara. Calon putra mahkota Kerajaan Sanggana Kecil itu terlalu licin dan suka menghilang. Dia tidak pernah menyatakan tidak suka dimomong, tetapi dia selalu kabur dari kedua pemomongnya.
“Tiada hari tanpa buat masalah”, itulah slogan yang tercipta di kalangan para pejabat, prajurit, dayang, pelayan, dan pemomong tentang Arda Handara.
Hari ini, Arda Handara bermain di Taman Bintang Kecil. Ia bermain dengan adik-adiknya, yakni Getar Jagad, Hijau Sukma, Ginang Selaksa, Angling Kusuma, dan Sisilia.
Ketika para putra raja sedang bermain dalam komunitasnya sendiri, maka para pemomong hanya memantau. Mereka sudah dibekali SOP ketika para putra raja bermain di antara sesamanya.
Arda Handara saat itu sedang duduk di kursi taman dengan kaki kanan naik ke kursi, persis bak seorang jawara yang sedang minum kopi di warteg.
Tampak Getar Jagad yang tampan sejak bayi berlutut di bawah sambil memijit-mijit paha kiri Arda Handara. Angling Kusuma yang berkepala botak mengipasi Arda Handara di sisi kanan dengan ranting kecil yang masih berdaun.
Sementara di depan kursi, tepatnya di lantai taman, duduk bersimpu Hijau Sukma, Ginang Selaksa dan Sisilia yang bertubuh paling kecil dan kurus. Masing-masing memegang satu benda di tangannya. Hijau Sukma memegang batok kelapa, Ginang Selaksa memegang potongan ranting dan Sisilia memegang batu kerikil. Mereka bertiga senyum-senyum sendiri.
“Wahai rakyatku yang tertinggal!” seru Arda Handara bak seorang raja muda kerana.
“Hihihi!” tawa ketiga putri melihat dan mendengar gaya kakaknya berlakon drama.
“Hei, jangan tertawa! Apakah kalian pikir aku ini jenaka, hah?!” hardik Arda Handara.
“Hihihik!” Ketiga putri terus tertawa, tapi kali ini menahannya.
“Baguuus … baguuus. Jadi rakyat jelata itu tidak boleh banyak tingkah. Jika banyak tingkah, aku akan pukul bokong kalian sampai gatal-gatal!” seru Arda Handara.
“Ampun, Gusti Prabu. Jangan sampai gatal, nanti bokongku banyak kutunya. Hihihi!” kata Ginang Selaksa lalu tertawa.
“Hahaha!” tawa mereka semua, kecuali Arda Handara.
Plak!
Dengan seenaknya, Arda Handara menepak kepala Getar Jagad yang sedang pura-pura memijit pahanya.
“Pijit yang benar! Jangan sampai aku tidak bisa lari kencang!” bentak Arda Handara galak kepada adiknya.
“Iya, Gusti Prabu,” ucap Getar Jagad pura-pura takut, agar lakonnya dapat Piala Citra Bengkuang.
“Wahai rakyatku yang jelata, hari ini sudah waktunya kalian membayar upeti. Aku tidak mau kecewa!” seru Arda Handara lagi. Lalu katanya kepada Hijau Sukma, “Hei, Bubur Hijau! Upeti apa yang ingin kau berikan?”
“Gusti Prabu, hamba membawa hasil panen kelapa tua, agar Gusti Ratu bisa awet cantik seperti Ibunda Guru,” kata Hijau Sukma.
“Hahaha!” tawa Getar Jagad dan Angling Kusuma mendengar kata-kata anak cantik bermata hijau seperti ibunya itu.
“Upetimu aku tolak!” teriak Arda Handara.
“Kenapa, Gusti Prabu?” tanya Hijau Sukma.
“Seharusnya kau membawakan aku kelapa muda, bukan kelapa tua seperti Kakek Rakitanjamu. Kau dihukum!” seru Arda Handara.
“Ampuni hamba, Gusti Prabu. Ampuni hamba!” ucap Hijau Sukma sambil sujud-sujud.
“Tidak ada kata ampun. Botak, jadikan Bubur Hijau sebagai kambingmu!” kata Arda Handara.
“Hahaha! Hijau, kau jadi kambing,” kata Angling Kusuma kegirangan sambil mendatangi Hijau Sukma, menyuruhnya untuk berdiri dengan kedua tangan dan lututnya seumpama hewan berkaki empat.
Karena mereka bermain, Hijau Sukma pun dengan rela hati menjadi kambing. Angling Kusuma segera naik ke punggungnya.
“Ayo bersuara kambing!” perintah Angling Kusuma.
“Mbeeek!” embik Hijau Sukma, tapi tidak jalan.
“Tukang Ompol, kau bawa upeti apa?” tanya Arda Handara kepada Ginang Selaksa.
“Hahaha!” tawa mereka ramai-ramai, termasuk Ginang Selaksa sendiri lantaran disebut Tukang Ompol.
Memang, Ginang Selaksa adalah anak yang sampai usia enam tahun masih kadang-kadang ngompol jika tidur. Julukan Tukang Ompol jadi melekat pada diri anak berbibir merah terang alami itu.
“Hamba membawakan buah anggur yang sangaaat enak, Gusti Prabu,” kata Ginang Selaksa sambil mengulurkan tangannya yang menimang sepotong ranting.
“Dasar rakyat bau pesing! Ranting kayu aku sebut buah anggur. Aku tidak mau ditipu. Kau dihukum jadi sapi!” seru Arda Handara. “Getar, jadikan Tukang Ompol sebagai sapimu!”
“Baik, Gusti Prabu. Hahaha!” ucap Getar Jagad senang hati.
Ia lalu meninggalkan paha Arda Handara dan pergi kepada Ginang Selaksa yang sudah menjadi sapi-sapian dengan sendirinya.
Getar Jagad pun segera menaiki punggung Ginang Selaksa.
“Ayo bersuara!” perintah Getar Jagad.
“Emmooo!” Ginang Selaksa bersuara.
“Ceking, kau bawa upeti apa?” tanya Arda Handara kepada putri dari Permaisuri Sandaria.
“Hihihi! Hamba membawa biji salak, Gusti Prabu,” jawab Sisilia yang didahului tawa centilnya, mirip-mirip model tawa emaknya. Gadis kecil bermata biru, berambut putih dan berhidung mancung itu menunjukkan sebuah kerikil yang dibawanya.
“Kau juga mau menipuku, Ceking. Batu kau sebut itu biji. Kau aku hukum jadi kudaku!” seru Arda Handara.
“Ampuni hamba, Gusti Prabu,” ucap Sisilia sambil tersenyum dan segera menjadi kuda-kudaan.
“Ayo kita balapan sampai ke pohon mawar itu!” seru Arda Handara sambil naik ke punggung Sisilia.
“Ayo kambingku, jalan!” teriak Angling Kusuma sambil mengguncang-guncang kedua bahu Hijau Kusuma.
“Ayo sapiku, lari!” teriak Getar Jagad pula sambil menepuk-nepuk bokong Ginang Selaksa.
“Hea hea! Kudaku, kejaaar!” teriak Arda Handara seperti panglima perang, tapi sambil menepuk-nepuk kepala Sisilia.
Dengan susah paya, ketiga putri itu berlari dengan merangkak, mereka berlomba untuk mencapai pohon mawar yang jaraknya sejauh dua tombak. Terlihat kuda Arda Handara tertinggal.
“Ceking, apakah kau belum makan?” tanya Arda Handara kecewa karena tertinggal. “Aku beri lehermu ulat bulu biar larimu cepat!”
Terkejutlah para pemomong mendengar kata-kata terakhir Pangeran Arda Handara.
“Jangan, Pangeran Arda!” teriak para pemomong serentak.
Namun, Arda Handara sudah lebih dulu meletakkan satu ulat bulu di tengkuk adik kurusnya itu. (RH)
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Catatan: up novel ini berjalan lambat untuk beberapa bulan pertama.
Dianjurkan membaca tiga novel Sanggana sebelumnya: Perampok Raja Gagah, Pendekar Sanggana, dan 8 Dewi Bunga Sanggana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 308 Episodes
Comments
♽⃟⑅⃝Ⓡ𝓪ⷦ𝓻ͥ𝓪ⷽ𝓫𝓮𝓵𝓵𝓪hiatus
ya ampun pangeran arda isengnya keterlaluan deh. masa saudara²nya di tindas begitu..
2023-08-21
2
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻ɢ⃟꙰ⓂSARTINI️⏳⃟⃝㉉
wow ank nya 8,hebatnya
2023-02-28
1
Budi Efendi
lanjutkan
2023-02-23
0