*Penakluk Hutan Timur (PHT)*
Barada adalah seorang gadis remaja yang kelakuannya seperti anak lelaki. Wanita berusia lima belas tahun itu mengenakan baju merah gelap yang sudah lusuh. Saat ini, gadis berambut sebahu itu sedang memanjat pohon mangga.
Barada memiliki kulit yang agak hitam dan hidung yang manis, karena hidungnya mancung dan ada setitik tahi lalat kecil.
Dalam memanjat pohon mangga tersebut, Barada menggunakan alat pengaman berupa tambang tali setebal dua jari. Ia ahli membuat simpul-simpul. Hobinya memanjat pohon-pohon tinggi menuntutnya belajar membuat simpul-simpul hidup, yang bisa ia gunakan untuk mengamankan dirinya, jika sesekali ia terpeleset dan terjatuh. Maklum, dia belum punya sayap seperti burung.
Pohon mangga itu terletak di pinggir timur ibu kota Sanggara, berhadapan langsung dengan pinggiran barat Hutan Timur.
Dalam perihal memetik buah di pohonnya, Barada tidak pernah memetik untuk dibawa pulang, tetapi dimakan di tempat, seperti saat ini. Dia memakan mangga muda. Tidak perlu lagi mengupas kulitnya, tetapi langsung menggigit bersama kulitnya.
Klek!
Terdengar jelas suara tekanan gigi pada kulit mangga yang muda. Terdengar renyah, meski itu asam. Namun, wajah manisnya tidak menunjukkan reaksi sedikit pun. Wajahnya tenang.
“Waaah!” pekik Barada jatuh ketika tanpa sadar memandang ke arah Hutan Timur. Ia melihat rombongan serigala besar keluar dari dalam Hutan Timur.
Kini Barada menggantung pada talinya yang diikat pada dahan pohon. Karena terkejut, dia jadi terpeleset dan jatuh, tapi menggantung pada talinya.
“Permaisuri Serigala keluar! Permaisuri Serigala keluar!” teriaknya girang sambil buru-buru melepaskan dirinya dari tali.
Setelah itu, Barada menggantung dan turun ke tanah berumput yang sudah dekat dengan kakinya. Ia lalu berlari masuk ke dalam kota.
“Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur! Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur!” teriak Barada memberi tahu warga sambil berlari.
Warga ibu kota Sanggara yang berada atau tinggal di pinggiran timur, segera pergi ke pinggiran timur kota untuk melihat kebenaran dari apa yang dikabarkan oleh Barada.
“Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur! Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur!” teriak Barada kepada sejumlah prajurit yang sedang berpatroli di sisi timur Ibu Kota.
Para prajurit itu cukup terkejut mendengar kabar dari Barada.
“Ayo kita lihat!” kata salah satu prajurit kepada rekannya.
Mereka pun berlari kecil menuju ke timur.
Barada terus berlari dan masuk ke salah satu kedai makan yang penuh oleh pelanggan.
“Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur! Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur!” teriak Barada lagi yang masuk sebatas ambang pintu.
Pemilik kedai dan para pelanggan terkejut dan seketika sumringah. Itu adalah kabar gembira bagi mereka.
Cerita tentang Permaisuri Serigala yang masuk ke Hutan Timur bersama sejumlah pendekar sudah diketahui oleh semua warga Istana dan Ibu Kota. Jika Permaisuri Sandaria dan pasukannya bisa keluar dalam satu hari, berarti mereka berhasil menjalankan misi.
Para pelanggan yang terdiri dari warga biasa dan pendekar, memilih meninggalkan santapan mereka, bahkan ada makanan yang baru disajikan dan belum sempat disentuh. Dalam waktu singkat, kedai makan itu kosong dari pelanggan.
Sementara Barada kembali berlari sambil berteriak-teriak di sepanjang jalan. Hingga akhirnya dia masuk ke sebuah lingkungan perguruan silat.
“Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur! Permaisuri Serigala keluar dari Hutan Timur!” teriak Barada kepada para murid Perguruan Tiga Tapak yang sedang berlatih sore.
“Wah, Permaisuri Serigala berhasil keluar dari hutan larangan!” kata seorang murid gembira.
“Memang permaisuri Sanggana Kecil luar biasa kesaktiannya,” ucap yang lain.
“Ayo, kita sambut kepulangan Gusti Permaisuri!” seru seorang pemuda tampan berkumis tebal bertubuh gagah. Dia adalah Jaga Manta, Ketua Perguruan Tiga Tapak, kakak Permaisuri Kerling Sukma dari lain ibu.
“Aku ikut, Kakang!” kata seorang wanita muda berwajah cantik lagi imut, tapi rambutnya pendek sebahu seperti model rambut Barada. Ia adalah Helai Sejengkal, istri Jaga Manta.
Helai Sejengkal berjalan mendekat dengan menggandeng seorang anak perempuan berusia delapan tahun. Wajahnya mirip dengan ibunya. Konon, jika seorang anak mirip dengan ibunya, berarti istri yang lebih dulu minta kepada suaminya ketika keduanya berkolaborasi memproduksi cikal bakal si anak. Demikian sebaliknya jika si anak lebih mirip ayahnya.
“Kau melihat langsung Gusti Permaisuri keluar dari Hutan Timur, Bara?” tanya Helai Sejengkal kepada Barada.
“Iya, Ibu Ketua,” jawab Barada terlihat akrab dengan wanita dewasa itu.
Mereka pun pergi bersama ke pinggiran timur. Murid-murid terlihat lebih semangat karena mereka mendahului gurunya dengan berlari ramai-ramai.
Barada pun sudah tidak pergi lebih jauh lagi. Dia juga memilih kembali ke pinggiran timur.
Setibanya di pinggiran timur Ibu Kota, warga dan prajurit Ibu Kota sudah ramai berkumpul. Mereka menunggu rombongan berkuda yang dipimpin oleh tiga serigala besar, salah satunya ditunggangi oleh Permaisuri Sandaria.
Jumlah rombongan yang pulang dalam kondisi hidup tidak berkurang seorang pun. Sementara mereka yang pulang dalam kondisi mati bertambah tiga orang.
Tiga mayat yang adalah pendekar Segar Rempak, Jumawa dan Linggo Aji tersebut sudah dalam kondisi terbungkus rapat, tapi itu tidak mengurangi bau busuk dari jasad yang sudah membusuk.
Dari kerumunan warga tersebut, ada sekumpulan puluhan pendekar yang berkumpul pada satu titik. Para pendekar yang terdiri dari kebanyakan lelaki itu merupakan pasukan khusus Pasukan Hantu Sanggana, yang merupakan keluarga besar dari ketiga mayat.
Tiba-tiba seorang pendekar bertubuh pendek berkelebat cepat berlari ke arah kedatangan rombongan yang kian mendekat. Pendekar itu tidak lain adalah Dengkul Baga.
“Hormat sembah hamba, Gusti Permaisuri!” hormat berlutut Dengkul Baga setibanya di depan rombongan yang terus berjalan biasa.
Permaisuri Sandaria hanya mengangguk menyikapi penghormatan Dengkul Baga. Meski tidak melihatnya, tetapi sang permaisuri kenal terhadap orang pendek bersenjata bambu-bambu kecil itu sebagai anggota Pasukan Hantu Sanggana.
“Hormatku, Ketua!” ucap Dengkul Baga pula kepada Delik Rengka selaku Ketua Pasukan Hantu Sanggana.
“Kami menemukan dan membawa Segar Rempak, Jumawa dan Linggo Aji dalam kondisi sudah tewas. Umumkan kepada Pasukan Hantu Sanggana dan kita akan melaksanakan upacara pemakamannya sore ini juga!” perintah Delik Rangka.
“Baik, Ketua!” ucap Dengkul Baga patuh.
Setelah menghormat, Dengkul Baga segera berlari kencang dan berkelebat ke arah massa di pinggiran Ibu Kota.
“Berita duka! Berita duka! Berita duka!” teriak Dengkul Baga berulang kali, selagi dia belum sampai kepada kelompoknya. “Telah gugur Pendekar Segar Rempak, Pendekar Jumawa, dan Pendekar Linggo Aji!”
Mendengar teriakan Dengkul Baga itu, seketika suasana gembira berubah hening, khususnya Pasukan Hantu Sanggana yang pasti memiliki keakraban dengan ketiga mendiang pendekar.
“Penghormatan Hantu Sanggana!” teriak lantang seorang pendekar yang usianya paling tua di dalam Pasukan Hantu Sanggana. Usianya sudah lima puluh lima tahun. Wajahnya tegas dengan bekas luka senjata tajam pada sisi kanan dagunya. Ia mengenakan pakaiah warna putih berlapis warna hitam. Ada dua tongkat hitam pendek di pinggang belakangnya. Ia bernama Sebilah Rengkuh.
Sepuluh tahun yang lalu, Sebilah Rengkuh adalah pemimpin dari Delik Rangka, Lengking, Sugigi Asmara, dan Nyi Mut.
Teriakannya ditindaklanjuti dengan turun berlututnya semua anggota Pasukan Hantu Sanggana, termasuk Sebilah Rengkuh dan Dengkul Baga.
Sejumlah pendekar yang bukan bagian dari Pasukan Hantu Sanggana juga turut turun berlutut, sementara para prajurit dan warga yang lain hanya menyaksikan.
“Kata-kata terakhir untuk Segar Rempak!” seru Sebilah Rengkuh dalam posisi masih berlutut.
“Pendekar pemberani awal penaklukan Hutan Timur!” teriak seorang pendekar lelaki sambil menunjuk dan mendongak ke langit. Sepasang matanya meneteskan air mata kesedihan.
“Pendekar pemberani awal penaklukan Hutan Timur!” teriak seluruh pendekar yang berlutut sambil menunjuk dan mendongak ke langit.
Teriakan puluhan pendekar itu mengetarkan hati-hati dan membuat merinding mereka yang mengucapkan dan mendengarnya. Suara mereka pun terdengar jelas oleh Permaisuri Sandaria dan pasukannya.
Ketua Pasukan Hantu Sanggana Delik Rangka dan wakilnya, Lengking, juga menunjuk dan mendongak ke langit. Hal yang sama dilakukan oleh Surya Kasyara dan tiga pendekar Pasukan Pengawal Dewi Bunga.
“Kata-kata terakhir untuk Jumawa!” seru Sebilah Rengkuh lagi.
“Pendekar sakti, ksatria yang penuh kasih! Hiks hiks …!” teriak seorang pendekar wanita. Sambil menangis dia menunjuk dan mendongak ke langit. Dia adalah kekasih Jumawa.
“Pendekar sakti, ksatria yang penuh kasih!” teriak seluruh pendekar yang berlutut, tapi tidak ikut menangis.
“Kata-kata terakhir untuk Linggo Aji!” seru Sebilah Rengkuh lagi.
“Pendekar setia yang selalu mementingkan kawan!” seru seorang pendekar bertubuh gemuk. Dia adalah sahabat terdekat Linggo Aji.
“Pendekar setia yang selalu mementingkan kawan!” teriak seluruh pendekar yang berlutut.
Seperti itulah cara penghormatan khusus Pasukan Hantu Sanggana bagi anggota mereka yang mati atau gugur dalam pertarungan. Kata-kata terakhir akan disebutkan oleh orang terdekat dari pendekar yang mati.
Penghormatan itu berlangsung dengan khidmat. Beberapa sahabat terdekat dari para pendekar yang gugur di Hutan Timur tampak meneteskan air mata duka.
“Persiapkan upacara pemakaman!” seru Dengkul Baga. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 308 Episodes
Comments
pembaca komik📖
sebatas timur?
2023-10-20
1
rajes salam lubis
lanjutkan mantap bener bener
2023-02-10
0
rajes salam lubis
mantap
2023-02-09
0