*Penakluk Hutan Timur (PHT)*
Ketiga serigala terus bergerak mengendus jejak. Seiring dengan itu, para pendekar dan belasan prajurit terus mengikuti jejak yang ditemukan.
Cukup mudah untuk mengikuti jejak ketiga pendekar yang dianggap hilang, yaitu Segar Rempak, Jumawa dan Linggo Aji, karena mereka bertiga menciptakan jalur dengan cara menebasi banyak semak belukar liar dan ranting-ranting yang melintang.
Jadi, rombongan Permaisuri Sandaria tidak begitu sulit dalam mengikuti jejak ketiga pendekar Pasukan Hantu Sanggana yang tidak pulang-pulang seperti Bang Toyyib.
“Lebih percepat!” perintah Permaisuri Sandaria.
“Baik, Gusti Permaisuri!” sahut para pendekar dan prajurit.
Setelah perintah itu, Pendekar Gila Mabuk dan rekan-rekan bergerak lebih cepat dalam mengidentifikasi jejak yang ada, seolah mereka adalah karyawan yang sedang menguber target produksi.
Gerak mata mereka bergerak lebih cepat seperti mata robot yang membidik objek dengan gerakan patah-patah, seperti nama goyangan. Ketika melihat bukti jejak di depan, mereka tidak lagi berjalan untuk ke sana, tapi dengan cara berkelebat.
Seperti pada satu waktu, Delik Rangka tahu-tahu berkelebat agak jauh ke depan karena dia melihat batang ranting yang ujungnya bekas potongan rapi senjata tajam.
Dari titik itu, Delik Rangka melihat arah jejak selanjutnya. Jika terus lurus, maka masuk jurang. Setelah diperhatikan, terlihat jejak berikutnya.
“Mereka berbelok kiri!” teriak Delik Rangka lalu berkelebat ke arah kiri, menyisir bibir jurang yang bersemak belukar.
Personel lainnya pun segera berkelebatan ke arah kiri mereka.
“Hati-hati jurang!” seru Sugigi Asmara.
“Jika jurangnya jurang asmara, aku tidak masalah terperosok. Hahaha!” kata Badirat.
“Dasar lelaki tidak tahu diri. Di depan suaminya, kau berani menggoda Kakak Asmara!” gerutuh Tangkil Ilir, lalu ujung-ujungnya menendang bokong Badirat yang berjalan di depannya.
“Eh eh eh!” pekil Badirat yang terdorong lalu oleng dan terpeleset ke samping kanan, tepatnya terpeleset di bibir jurang.
Tubuh pemuda tampan itu terperosok jatuh.
Siuuut!
Surya Kasyara sigap melesatkan bumbung tuaknya. Bumbung bambu itu melesat unik. Bumbung itu tidak melesat lurus, tetapi melesat dengan pola lesatan melengkung, dari atas ke bawah lalu naik lagi. Ketika melesat terbang mengayun ke bawah, bumbung itu melintas di dekat Badirat. Pemuda itu cepat menyambar tali bumbung dan ikut terbawa naik terbang ke atas jurang.
Itu salah satu kesaktian baru bumbung pusaka Surya Kasyara, yang sepuluh tahun lalu belum bisa terbang tanpa sayap.
“Jangan bergurau seperti itu,” kata Surya Kasyara menasihati dua pendekar muda tersebut.
“Hihihi! Aku hanya memberi Badirat pelajaran,” kilah Tangkil Ilir sembari cengengesan.
“Awas, jika nanti menjadi istriku, akan aku balas!” ancam Badirat setengah berbisik kepada Tangkil Ilir, membuat gadis itu mendelik terkejut. Otaknya langsung study tour, memcoba mempelajari tafsir dari kata-kata Badirat.
“Hahaha!” tawa Surya Kasyara dan Sugigi Asmara.
“Terima kasih, Kakang Surya,” ucap Badirat sambil memberikan bumbung tuak yang dipegangnya.
“Jika kalian setuju, aku bisa ajukan permohonan kawin untuk kalian berdua kepada Gusti Prabu,” celetuk Permaisuri Sandaria tiba-tiba sambil berlalu di dekat mereka bersama serigala hitam besarnya.
“Ja-ja-jangan, Gusti Permaisuri!” jawab Badirat dan Tangkil Ilir bersamaan dan tergagap bersama pula.
“Hahaha …!” tawa Surya Kasyara dan Sugigi Asmara bersamaan.
“Kenapa?” tanya Permaisuri Sandaria.
“Aku tidak suka jenis pemuda seperti Badirat, tidak punya otak!” jawab Tangki Ilir ceplas-ceplos.
“Apa yang kau katakan?” tanya Badirat dengan mata mendelik. “Kau pikir aku juga suka dengan wanita ganas sepertimu, hah?!”
“Tadi barusan kau berbisik apa kepadaku? Kau ingin meperistri aku, bukan?” debat Tangkil Ilir.
“Aku hanya menggodamu, agar kau besar kepala, lalu berharap dan kemudian sakit hati!” balas Badirat.
“Lelaki tidak punya otak sepertimu memang tidak bisa membahagiakan seorang wanita. Pokoknya, jika kau berani menggodaku lagi, bukan hanya satu kepala, tapi dua kepalamu akan aku gunting!” ancam Tangkil Ilir.
“Dua kepala? Hahaha!” Badirat menertawakan gadis cantik yang mirip mendiang Suzanna itu, terlebih jika matanya melotot-lotot, persis banget. “Lihat dengan baik. Kepalaku hanya ada satu. Nih, yang ini!”
Badirat memegang dagunya di depan wajah Tangkil Ilir dan menggerak-gerakkanya ke kanan dan ke kiri.
“Kau yang terlalu bodoh untuk mengerti kata-kataku. Dua kepala yang aku maksud adalah satu kepala yang bertelinga, dan satu kepala yang tidak bertelinga dan bermata!” tandas Tangkil Ilir sambil menunjuk wajah Badirat lalu menunjuk celana pemuda itu.
“Eiit, sembarangan!” pekik Badirat terkejut sambil terlompat kecil ke belakang dengan tangan kanan menggenggam benda di dalam celananya.
“Hihihi …!” tertawa nyaringlah Tangkil Ilir lalu buru-buru berkelebat bersama tawanya menyusul rombongan yang meninggalkan mereka berdua dalam perdebatan.
Badirat hanya menaikkan kedua alisnya sambil mencoba pulih dari syok mentalnya, setelah paham bahwa gadis secantik Tangkil Ilir mau menyunatnya untuk yang ketiga kalinya. Ia kemudian pergi berkelebat menyusul yang lain.
Pada akhirnya, mereka tiba pada satu area yang dikelilingi oleh pepohonan besar yang rapat. Ketika mereka berada di lokasi itu, seolah mereka berada di dalam sebuah penjara hutan berterali pepohonan besar. Tanah yang mereka pijak adalah rumput setinggi paha orang dewasa.
“Waspadalah, kita sedang diawasi!” seru Permaisuri Sandaria tiba-tiba yang agak mengejutkan jantung-jantung mereka.
Seketika mereka mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencoba mencari penampakan uka-uka. Semua sisi dan sudut area itu mereka jelajahi dengan pandangan. Hanya Permaisuri Sandaria yang tidak memandang ke mana-mana, karena percuma saja.
Sezz!
“Aaak!” pekik salah satu prajurit yang sedang membabati ilalang, ketika tiba-tiba ia tumbang oleh ular sebesar lengan orang dewasa, melilit dengan gerakan yang sangat cepat.
Set! Tseb!
Ketika ular itu sudah membuka lebar mulutnya hendak mencaplok kepala mangsanya, satu keris dilesatkan oleh Sugigi Asmara yang sigap. Keris itu menancap dalam pada sisi kiri kepala ular. Si ular mengamuk kesakitan dan membuat lilitannya pada tubuh mangsanya mengendur.
Keris milik Sugigi Asmara bukan sembarang keris. Racunnya ganas. Maka tidak heran jika kemudian gerakan si ular besar melemah, lalu mati dengan tidak damai.
“Apakah yang Gusti Permaisuri maksud adalah ular itu yang mengintai?” tanya Surya Kasyara.
“Waspada saja kalian,” jawab Permaisuri Sandaria.
“Baik, Gusti Permaisuri!” ucap Surya Kasyara patuh.
Sugigi Asmara pergi mencabut keris terbangnya. Prajurit yang lain membantu rekannya yang gemetar karena syok dililit ular besar.
Rumput ilalang yang tinggi menjadi tempat yang bagus bagi binatang melata untuk bersembunyi dan menyerang.
Mereka terus bergerak maju mengikuti arah jejak. Ketika hendak mencapai ujung bidang berumput ilalang itu, tiba-tiba dari balik sebuah pohon muncul seekor binatang besar.
Grrr!
Terdengar geraman binatang yang adalah seekor macan kumbang berwarna hitam. Besar macan itu seperti sapi dewasa.
Graurrr!
Tiba-tiba sosok serigala Belang melompat jauh ke depan dan mendarat di hadapan si macan kumbang. Belang menggeram keras menggertak macan kumbang yang jauh lebih kecil darinya.
Raungan Belang membuat si macan kumbang termundur tanpa sadar karena nyalinya langsung ciut. Sebentar kemudian, macan hitam itu berbalik lalu berlari kabur tanpa peduli lagi dengan harga dirinya.
“Di sebelah atas!” teriak Delik Rangka tiba-tiba sambil menunjuk ke atas pohon besar.
“Makhluk apa itu?” teriak Badirat pula lalu cepat berkelebat dan mencabut pedangnya. Dia sempat melihat satu bayangan hitam yang bergerak cepat bersembunyi di atas sebatang pohon besar.
Set! Ctar!
Alangkah terkejutnya Badirat ketika dia menjejakkan kakinya pada sepotong dahan sebelum naik ke batang atas. Sebutir kecil sinar kuning melesat meledakkan bagian pohon di dekat Badirat, memaksa pemuda itu melompat bersalto turun, menghindari serangan terhadapnya.
Setelah mendarat di rerumputan, Badirat cepat memandang kepada Permaisuri Sandaria yang menyerangnya dengan ilmu Secercah Kematian. Para pendekar dan prajurit juga terkejut melihat tindakan Permaisuri Serigala itu.
“Jangan memburu penghuni hutan ini, tugas kita mencari ketiga pendekar kita,” tegas Permaisuri Sandaria memberi jawaban kepada pertanyaan dari pandangan-pandangan abdinya.
“Baik, Gusti Permaisuri!” ucap Badirat dan yang lainnya patuh.
“Fokus kepada jejak, tapi harus tetap waspada!” perintah Permaisuri Sandaria lagi.
“Baik, Gusti Permaisuri!”
Mereka pun melanjutkan fokus untuk mengikuti jejak yang masih mereka temukan. Mereka semakin dalam masuk ke dalam Hutan Timur. (RH)
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Sambil menunggu up Arda Handara, yuk baca karya Om Rudi lainnya yang berjudul "Perjalanan Alma Mencari Ibu"!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 308 Episodes
Comments
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻ɢ⃟꙰ⓂSARTINI️⏳⃟⃝㉉
slh sdiri brani mnggoda miliknya
2023-02-28
1
rajes salam lubis
lanjutkan om kopi meluncur
2023-01-31
1
rajes salam lubis
lanjutkan
2023-01-30
1