*Penakluk Hutan Timur (PHT)*
Dua sosok berpakaian serba hitam, tapi berkulit putih bersih cemerlang tersiram cahaya api-api obor, melayang turun dari atas laba-laba raksasa ke lantai pelataran tepat di depan Prabu Dira Pratakarsa Diwana dan para istrinya. Sepasang kaki kedua wanita asing itu mendarat tanpa suara sedikit pun.
Prabu Dira bersikap tenang, setenang permukaan air kopi. Sebagai pemilik dan penikmat sebelas kecantikan tingkat dewi, ia pun terpana melihat kejelitaan Ratu Siluman yang belum ada dalam koleksi di ruang hatinya. Namun, seketika kekagumannya buyar ketika ….
“Hahahak!” tawa terbahak Ratu Siluman ketika melihat wajah tampan Prabu Dira.
Ia tertawa karena melihat wajah tampan Prabu Dira yang berbibir merah. Baginya itu lucu, meski sebelumnya dia sudah mendapat data bahwa penguasa Kerajaan Sanggana Kecil itu memang berbibir merah natural.
Gadis cantik yang bersama Alma Fatara bernama Kembang Bulan. Dia membawa pedang pusaka yang bernama Pedang Sepuluh Siluman.
Alma Fatara tertawa sendiri, karena Prabu Dira dan keenam istrinya hanya tersenyum untuk sementara. Keenam istri Prabu Dira bisa beradu cantik dengan Ratu Siluman yang doyan tertawa memamerkan dua gigi emasnya itu.
“Hormatku Ratu Siluman Alma Fatara kepada Gusti Prabu Dira Pratakarsa Diwana dan pastinya … kepada ….”
Ucapan penghormatan Alma Fatara terputus karena bingung memberi sebutan kepada para wanita jelita yang ada di sisi kanan dan kiri Prabu Dira.
“Ini adalah Ratu Tirana, dan yang lainnya adalah para permaisuri,” jelas Prabu Dira.
“Hahaha!” Alma Fatar justru tertawa. Lalu katanya, “Hampir saja aku menyebut para dewi ini selir. Hahaha!”
“Hahaha!” tawa rendah Prabu Dira menyikapi keberisikan tamunya itu.
“Hihihi!” tawa Permaisuri Sandaria mendengar kataa-kata dan tawa Alma Fatara.
“Gusti Prabu ternyata memang tampannya keterlaluan, tapi aku heran, kenapa tidak diperebutkan. Hahaha!” ucap Alma Fatara lalu ujung-ujungnya tertawa lagi.
“Apakah Gusti Ratu datang berniat untuk merebut hati Kakang Prabu? Kami tidak akan mempermasalahkan jika Kakang Prabu menambah seorang ratu lagi,” tanya Ratu Tirana seraya tersenyum.
“Hahaha! Terima kasih, Gusti Ratu. Aku tersanjung sekali. Namun, aku sebentar lagi juga akan menikah, sekitar sepuluh tahun lagi.”
“Hihihi!” tawa Ratu Tirana dan para permaisuri mendengar perkataan Alma Fatara.
“Maafkan aku, Gusti Prabu. Aku telah berbuat tidak sopan karena bertamu pada waktu tengah malam,” ucap Alma Fatara. “Aku harap kedatanganku tidak merusak asmara malam Gusti Prabu. Hahaha!”
“Tidak, semua sudah terlaksana dengan sempurna,” kata Prabu Dira seraya tersenyum lebar.
“Hihihi!” tawa Ratu Tirana dan para permaisuri, kecuali Permaisuri Kerling Sukma.
“Telah lama dikabarkan oleh Guru Malaikat Kipas, tapi kenapa sepuluh tahun baru datang berkunjung?” tanya Prabu Dira.
“Hua hua hua. Apakah kalian telah lama menungguku?” tanya Alma Fatara terperangah.
“Benar, Alma,” jawab Permaisuri Getara, selaku istri yang paling senior di antara mereka.
“Aku baru mendapat kabar tentang perang yang akan terjadi sejak satu tahun yang lalu dari Tiga Malaikat Kipas. Karena itulah aku pergi menguasai Gunung Dewi Runa lebih dulu, baru bertandang ke kerajaan besar ini,” ungkap Alma Fatara.
“Satu tahun?!” kejut Prabu Dira dan para istrinya.
“Lebih baik kita berbincang di dalam, Gusti Ratu,” kata Prabu Dira.
Tengah malam itu juga, Ratu Siluman dan pengawalnya di jamu di Ruang Kesejukan, ruang yang biasa digunakan oleh Prabu Dira untuk berbincang serius tapi santai dengan para istrinya.
Ruangan besar itu memiliki sejumlah aliran air jernih yang bermuara pada kolam-kolam kecil. Kolam-kolam itu dihuni oleh ikan-ikan kecil, tetapi memiliki kecantikan karena warnanya yang beragam. Di pinggir setiap kolam kecil didesain memiliki satu kursi besar yang bertilam, sehingga kursi itu bisa dipakai duduk atau bertelekan. Jumlahnya ada dua belas kursi, dengan satu kursi yang berpenampilan lebih mewah dan besar. Semuanya terbuat dari kayu hitam yang keras dan kuat, berpadu dengan unsur perak. Di setiap sisi kursi ada meja kayu kecil. Di atasnya sudah tersedia minuman. Kursi itu berformasi melingkar dan saling berhadapan secara umum.
Sesekali ada suara burung berkicau terdengar. Di salah satu sudut ruangan, agak jauh dari formasi kursi, ada sebuah sangkar burung yang cukup besar dengan sebuah pohon kecil tumbuh di sana. Sangkar besar itu dipagari tertutup secara penuh dengan jaring kawat. Meski dua belas burung di dalamnya bisa bebas melompat ke sana dan ke sini, tetapi mereka tidak bisa terbang bebas. Sebuah obor batu menjadi penerang di kala malam.
Uniknya, meski ruangan itu posisinya ada di tengah-tengah bangunan Istana, tetapi ada angin alam yang bebas masuk, memberi kedinginan seperti berada di alam terbuka. Hal itu bisa terjadi karena arsitek mendesain istana itu memiliki lubang angin yang besar. Angin bersumber dari semua arah dinding luar istana. jadi, ke arah manapun angin bertiup, dia bisa menyuplai angin alam ke dalam ruang-ruang di dalam Istana.
Ada beberapa tungku api yang dinyalakan sebagai penghangat ruangan.
Prabu Dira sudah duduk santai di singgasananya, di kursi yang paling besar dan mewah. Keenam istrinya juga sudah duduk semua di kursi masing-masing.
Ratu Siluman dan pengawalnya duduk di dua kursi yang kosong.
Sementara para dayang berdiri di belakang kursi setiap permaisuri. Malam ini cukup dua orang dayang yang ditugaskan mendampingi setiap permaisuri.
Prabu Dira sudah mengenakan pakaian yang lebih lengkap, menutupi badan bagusnya.
Sebelumnya, Ratu Tirana dan kelima permaisuri lainnya sudah memperkenalkan diri. Dialog basa-basi untuk saling akrab dan lebih mengenal sudah mereka lakoni, sehingga candaan-candaan yang sesekali muncul serta tawa Ratu Siluman yang kerap keluar tidak menjadi kesalahpahaman.
“Aku dengar di wilayah barat ini ada juga Kerajaan Siluman?” tanya Alma Fatara.
“Itu adalah salah satu kerajaan di bawah binaan Kerajaan Sanggana Kecil. Kini dipimpin oleh ibu mertuaku, ibu dari Permaisuri Asap Racun,” jawab Prabu Dira.
“Oooh, hua hua hua,” ucap Alma Fatara sambil manggut-manggut tanda mengerti.
“Kami tidak tahu di mana pusat Kerajaan Siluman yang Gusti Ratu pimpin,” kata Permaisuri Getara Cinta.
“Tidak ada yang bisa melihat keberadaan Kerajaan Siluman. Kerajaan Siluman itu seperti angin, bisa dirasakan keberadaannya, tapi tidak bisa dilihat. Hahaha! Kalian hanya bisa melihat ratunya yang cantik, rakyatnya yang setia dan pasukannya yang perkasa,” jelas Alma Fatara.
“Tunggu-tunggu, aku menjadi bodoh untuk memahaminya, Gusti Ratu,” kata Permaisuri Sandaria.
“Hahaha!” Alma Fatara tertawa mendengar perkataan wanita mungil itu.
“Maksud Gusti Ratu, Kerajaan Siluman hanya bisa dilihat jika kita masuk ke alam siluman?” tanya Permaisuri Sandaria antusias.
“Tidak, memang tidak ada wujudnya. Di mana ada rakyatku yang tinggal, maka wilayah itu adalah wilayah Kerajaan Siluman tanpa mengganggu penguasa wilayah sesungguhnya,” jelas Alma Fatara.
“Aku mengerti,” ucap Ratu Tirana.
“Kakak Ratu pasti hanya pura-pura mengerti,” tukas Permaisuri Sandaria sambil mencibirkan bibir imutnya.
“Hihihi!” tawa Ratu Tirana dan permaisuri lainnya.
“Hahaha!” tawa Alma Fatara pula.
“Seperti Taman Dewi Bunga. Taman itu adalah bagian dari istana ini. Namun, lebah yang hidup di taman itu akan mengklaim bahwa taman itu adalah kerajaannya, meski sebenarnya itu adalah taman milik Istana,” jelas Tirana dengan halus.
“Oooh. Hihihi!” desah Permaisuri Sandaria lalu tertawa lucu sendiri.
“Kedatanganku ke sini membawa dua tujuan, yang jelas bukan minta dilamar oleh Gusti Prabu. Hahaha!” ujar Alma Fatara lalu tertawa lebih dulu.
“Hahaha!” tawa Prabu Dira.
“Hihihi!” tawa Ratu Tirana dan para permaisuri pula. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 308 Episodes
Comments
pembaca komik📖
tak nyambung nih orang tak bahaya ta /Doubt/
2024-02-04
0
pembaca komik📖
hah/Doubt/ Hitam dan putih pakaian/Doubt/
2024-02-04
0
Budi Efendi
lanjutkan mantappp
2023-02-25
0