*Penakluk Hutan Timur (PHT)*
Dalam gelap gulitanya malam yang sudah sampai pada puncaknya, ada pergerakan makhluk yang sangat besar dan sangat cepat.
Makhluk raksasa itu tidak lain adalah Antula, laba-laba raksasa berwarna ungu gelap yang merupakan Hewan Alam Kahyangan. Antula milik Ratu Siluman Dewi Dua Gigi yang bernama Alma Fatara.
Meski berwarna ungu, tetapi karena gulita, makhluk itupun tidak terlihat karena gelap menutupi. Hanya sepasang matanya yang akan terlihat menyeramkan karena sangat besar jika dibandingkan dengan mata binatang malam lainnya.
Sekali melompat, jarak yang ditempuh begitu jauh. Jika berlari pun sangat cepat. Selain kaki yang panjang dan tinggi, jumlahnya yang banyak membuat pergerakannya seperti moyangnya setan.
Luasnya hutan bisa dengan cepat dilewati tanpa ada sesuatu yang bisa menghalangi atau menghambat. Melewati sebuah desa, cukup sekali lompat. Melewati sebuah gunung bukan perkara sulit, apalagi melewati lembah atau sungai.
Meski pergerakan Antula begitu cepat secepat angin berembus, di atas bagian punggung Antula ada dua wanita cantik yang bisa duduk bersila dengan tenang. Kedua wanita itu adalah Ratu Siluman Alma Fatara sendiri dan Kembang Bulan yang berstatus sebagai Pembawa Pedang Ratu Siluman.
Pakaian dan rambut kedua gadis berusia matang itu berkibar kencang seperti bendera di tengah laut. Duduk mereka seolah-olah lengket dengan binatang raksasa berbulu tersebut.
Setelah menempuh perjalanan sepanjang malam tanpa mengganggu penghuni bumi, Alma Fatara dan hewan tunggangannya akhirnya tiba di wilayah Kerajaan Sanggana Kecil.
Meski ada penjagaan yang ketat di perbatasan, setiap kadipaten, terutama di Ibu Kota, kehadiran Antula yang begitu besar tetap saja tidak disadari oleh pasukan ke amanan atau seorang pendekar sakti pun.
Barulah ketika Antula mendarat di pelataran Istana Sanggana Kecil, Prabu Dira Pratakarsa Diwana, Ratu Tirana dan semua permaisuri, kecuali Permaisuri Ginari, bisa merasakan kehadiran satu kekuatan besar yang sudah berada di pelataran Istana.
Namun, respons mereka berbeda-beda. Seperti halnya Permaisuri Dewi Ara dan Sri Rahayu, mereka memilih cuek dan melanjutkan tidurnya.
Prabu Dira yang sedang tidur bersama Permaisuri Kerling Sukma di Istana Hijau adalah orang yang paling terkejut bangun dari lelapnya. Permaisuri Kerling Sukma juga bangun dengan terkejut karena merasakan kehadiran satu kekuatan besar yang sudah memasuki lingkungan Istana.
“Siapa yang datang, Kakang Prabu?” tanya Kerling Sukma.
“Hewan Alam Kahyangan,” jawab Prabu Dira sambil buru-buru bangun dan keluar dari selimut yang menutupi tubuh bawahnya.
Ternyata, Prabu Dira dalam kondisi bugil. Ia segera meraih pakaian istrinya dan memberikannya kepada Kerling Sukma.
“Apakah Gimba yang datang?” tanya Kerling Sukma sambil meraih pakaiannya. Ia tidak bisa mengetahui secara jelas siapa atau apa yang datang, hanya bisa merasakan.
“Bukan. Aku tidak akan terkejut jika Gimba yang datang. Aku tidak tahu ini Hewan Alam Kahyangan apa dan milik siapa,” jawab Prabu Dira sambil mengenakan celananya dengan buru-buru. Di dalam lubuk hati yang paling dalam ia merasa bersyukur, sebab birahinya sudah tersalurkan sebelum tamu tidak diundang iti tiba.
Di Istana Keratuan, Ratu Tirana yang tidur bersama putrinya, juga terbangun, tapi seorang diri.
“Kekuatan besar apa yang datang di tengah malam seperti ini? Apakah penghuni Hutan Timur?” batin Ratu Tirana yang terdiam berpikir sejenak.
Ketika Antula mendarat tanpa suara di pelataran Istana Sanggana Kecil, para prajurit yang berjaga malam di koridor di sepanjang pinggiran pelataran, terlambat menyadari kehadiran makhluk besar itu. Cahaya obor yang menyala di sejumlah titik dengan tatanan yang teratur, tidak cukup terang untuk menerangi tengah-tengah pelataran yang gelap.
Pada akhirnya, ada seorang prajurit yang mulai menyadari keberadaan bayangan hitam besar di tengah-tengah pelataran. Ia melongokkan wajahnya dan mencoba menajamkan pandangannya untuk memastikan benda apa yang ada di dalam kegelapan. Karena tidak bisa meyakini benda besar apa yang tidak bergerak tersebut, si prajurit segera pergi ke tempat rekannya berdiri berjaga.
“Tugono, apakah kau melihat sesuatu di tengah pelataran?” tanya si prajurit yang bernama Batong.
“Kau bicara apa?” tanya Tugono sambil melemparkan pandangannya ke tengah pelataran.
Setelah diam sebentar, Tugono bisa melihat bayangan yang lebih hitam dari gelapnya malam.
“Eh, benda apa itu?” ucapnya, karena dia melihat bayangan hitam itu tidak bergerak sama sekali.
“Hahahak!” tawa terbahak seorang wanita tiba-tiba. Tawanya seperti tawa bapak-bapak. Sumber suara itu jelas berasal dari tengah pelataran yang gelap.
Namun, suara tawa keras itu jelas mengejutkan semua prajurit yang bisa dijangkaunya.
“Suara apa itu?” tanya Tugono tegang.
“Suara siapa,” ralat Batong.
“Iya, suara siapa itu?” tanya ulang Tugono.
Bukan hanya mereka berdua yang bertanya-tanya di kepala, semua prajurit yang berjaga di sekeliling luar pelataran juga jadi tegang.
Blass!
Tiba-tiba ada api besar yang menyala serentak di sejumlah tungku api besar di atas beberapa tiang yang berdiri di pinggir-pinggir pelataran. Dengan menyalanya tungku-tungku besar tersebut sebagai obor yang besar, pelataran pun menjadi lebih terang.
“Hah!” kejut para prajurit penjaga.
Namun seiring itu, di depan makhluk laba-laba raksasa berwarna ungu gelap telah berdiri Prabu Dira bersama Permaisuri Kerling Sukma. Sekejap kemudian, Ratu Tirana dan Permaisuri Getara Cinta telah hadir dengan muncul begitu saja di sisi keduanya.
“Tidak ada masalah, tidak ada masalah,” ucap Batong dengan lega. “Gusti Prabu sudah turun tangan.”
“Waaah! Tapi binatang apa itu?” ucap Tugono tidak habis pikir.
Terlihat pula di pelataran, Permisuri Sandaria muncul dengan serigala hitamnya. Saat yang sama, Permaisuri Yuo Kai dan Kusuma Dewi datang laksana Dewi Malam yang terbang santai di udara remang-remang.
Saat itu, Prabu Dira hanya mengenakan celana dan rompi pusakanya yang berwarna merah. Rambut panjangnya terurai bebas seperti rambut perempuan. Sementara para istri yang tetap jelita meski tampil sederhana tanpa make-up, kali ini berpakaian tidak megah tanpa perhiasan mentereng.
Prabu Dira dan para istrinya memilih berdiri menunggu beberapa tombak di depan Antula. Hal itu dikarenakan Permaisuri Mata Hati sudah berada di atas binatang tersebut, berhadapan langsung dengan Ratu Siluman dan pengawalnya.
Beberapa saat sebelumnya, di saat Ratu Siluman Alma Fatara duduk menunggu, Permaisuri Nara adalah orang pertama yang muncul dan tahu-tahu telah berdiri di atas dada Antula. Dia tampil dengan pakaian kekhasannya. Dia adalah orang pertama yang merasakan kehadiran Alma Fatara dan hewannya. Dia sama seperti Prabu Dira, bisa mengetahui bahwa yang datang adalah salah satu Hewan Alam Kahyangan.
Kemunculan Permaisuri Nara di depannya, seketika membuat Alma Fatara dan pengawalnya bangkit berdiri. Mereka berdiri berhadap-hadapan di atas dada Antula.
Saat itu masih gelap gulita, di saat dua prajurit di bawah sana sedang memperhatikan bayangan Antula. Tungku-tungku batu besar di atas tiang belum menyala.
“Apakah kau Ratu Siluman, Dewi Dua Gigi dari ujung timur Tanah Jawi?” terka Permaisuri Nara bernada datar dan dingin.
“Benar. Apakah aku berhadapan dengan Tetua Dewi Mata Hati yang tersohor sampai ke timur?” jawab Alma Fatara lalu balik bertanya.
“Benar,” jawab Permaisuri Nara.
“Hahahak!” tawa terbahak Alma Fatara tiba-tiba.
Itulah suara tawa yang tadi didengar oleh para prajurit, beberapa saat sebelum kemunculan Prabu Dira.
Blass!
Sebentar kemudian, sejumlah tungku api besar di atas beberapa tiang yang berdiri di pinggir-pinggir pelataran menyala serentak, membuat pelataran menjadi lebih terang dan sosok laba-laba raksasa warna ungu terlihat cukup jelas.
“Kenapa lama sekali baru datang ke mari?” tanya Permaisuri Nara.
“Bukankah peperangannya masih agak lama, Nek?” jawab Alma Fatara seraya tersenyum lebar.
“Kau tidak lihat aku masih semuda ini?” kata wanita jelita berbola mata hitam palsu itu.
“Hahahak!” tawa terbahak Alma Fatara lagi. Ia tahu bahwa Permaisuri Nara memiliki usia sudah lebih seratus tahun. “Baik, Tetua. Oh ya, kedua guruku yang bernama Pemancing Roh dan Pangeran Kumbang Genit titip salam teruntuk Tetua.”
“Salam hormatku untuk mereka ketika kau bertemu kembali dengan mereka,” kata Permaisuri Nara. “Urusanmu dengan Prabu Dira, jadi temuilah dia.”
Clap!
Setelah berkata, Permaisuri Mata Hati tiba-tiba menghilang begitu saja dari hadapan Alma Fatara dan Kembang Bulan. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 308 Episodes
Comments
pembaca komik📖
kira-kira apa yang dilakukan di gelap gulita?
2024-02-04
0
pembaca komik📖
mungkin ada yang terjadi kayak nya
2024-02-04
0
pembaca komik📖
jadi apa yang dilakukan oleh joko/Doubt/
2024-02-04
0