*Penakluk Hutan Timur (PHT)*
Pagi itu, para pejabat Kerajaan Sanggana Kecil yang menuju sidang akbar di Aula Sanggana Perkasa, dikejutkan oleh kehadiran sesosok makhluk raksasa berwarna ungu di pelataran Istana yang luas.
Makhluk besar warna ungu berkulit sangat tebal itu, berdiri dengan delapan kaki yang jenjang dan dua kaki pendek pada bagian depan. Pada sejumlah bagian kaki dan badannya berbulu rambut tebal warna ungu gelap. Ujung kaki-kakinya runcing. Tubuh makhluk itu terbagi tiga, yaitu kepala, dada dan perut. Perut menjadi anggota tubuh yang paling besar.
Binatang besar berkaki sepuluh itu adalah laba-laba raksasa jenis tarantula.
Baru kali ini mereka melihat makhluk sebesar rumah dan setinggi pohon kelapa. Sejauh ini, binatang raksasa yang pernah mereka lihat adalah burung rajawali raksasa milik Prabu Dira Pratakarsa Diwana, yang bernama Gimba.
Binatang laba-laba raksasa itu sudah ada di pelataran Istana sejak tengah malam.
Pagi ini adalah waktunya Sidang Akbar di Aula Sanggana Perkasa. Para pejabat Istana hingga keenam adipati hadir dalam sidang yang dilaksanakan sepekan sekali. Sidang dipimpin langsung oleh Prabu Dira Pratakarsa Diwana.
Sosok tarantula ungu itu juga membuat prajurit heboh. Mereka tidak pernah tahu kapan binatang raksasa itu datang, tahu-tahu sudah parkir di pelataran. Karena tidak ada tanda-tanda kekacauan keamanan di Istana, maka para prajurit pun tidak berani membuat kekisruhan dengan menyebarkan berita yang tidak pasti.
Cukuplah tarantula raksasa itu menjadi tontonan yang menakjubkan bagi orang yang lewat di sepanjang koridor yang mengelilingi pelataran Istana.
Berita kehadiran seorang tamu besar yang menunggangi laba-laba raksasa telah sampai pula ke Istana Dewi Awan pagi itu. Namun, Permaisuri Geger Jagad tidak tertarik untuk bertemu dengan tamu tersebut.
Jika sang ibu tidak tertarik bertemu dengan tamu tersebut, maka berbeda dengan sang anak. Pangeran Arda Handara sangat ingin melihat binatang raksasa yang katanya ada di pelataran.
Karena pada pagi itu ada kelas pendidikan di Pendapa Kebajikan, jadi Pangeran Arda Handara tidak langsung mengungkapkan niatnya kepada sang ibu. Kepergiannya meninggalkan Istana Dewi Awan tetap berjudul “pergi belajar ke Pendapa Kebajikan” yang dikawal oleh dua orang pemomongnya.
Jalan untuk menuju ke Pendapa Kebajikan tidak melewati area depan Istana, jadi tidak bisa melihat langsung hewan raksasa di pelataran.
“Paman Gogol, nanti binatangnya pulang duluan,” kata Arya Handara.
“Gusti Pangeran harus belajar dulu. Hari ini ada pelajaran penting dan ada hapalan yang harus disetor kepada Guru Tampan,” tandas Setya Gogol.
“Iya. Ibunda Geger Jagad tadi juga sudah bilang bahwa kami harus melaporkan hasil pembelajaran Gusti Raden setiap hari,” kata Lentera Pyar juga.
“Aaah, menyebalkan sekali,” gerutu Arda Handara dengan wajah yang manyun. Lalu teriaknya tiba-tiba, “Lariii!”
Arda Handara tiba-tiba berlari kencang meninggalkan kedua pemomongnya, tapi arah larinya tetap ke arah Pendapa Kebajikan.
“Gusti Pangeran!” teriak Setya Gogol dan Lentera Pyar lalu sepakat mengejar bersama, tapi tidak bergandengan tangan.
“Hahaha!” Terdengar Arda Handara tertawa.
Kejar-kejaran pun terjadi. Para prajurit yang mereka lewati atau jumpai, hanya bisa memandangi ulah pangeran dan kedua pemomongnya tersebut.
Ternyata Arda Handara tidak salah arah. Dia benar-benar menuju ke Pendapa Kebajikan.
Pendapa Kebajikan adalah sebuah pendapa berukuran sedang tapi terkesan mewah dengan gaya arsitekturnya yang mahal. Terbuat dari kayu berkualitas tinggi berhias seni ukir yang indah. Pendapa yang berdinding hanya setinggi lutut itu ditopang dengan enam tiang berwarna putih.
Pendapa Kebajikan adalah tempat para pangeran dan putri, serta anak-anak para pejabat yang tinggal di dalam kawasan Istana bersekolah. Mereka dididik langsung oleh seorang guru muda dan tampan yang bernama Lanang Jagad.
Lanang Jagad memiliki julukan Si Tampan Sakti atau Resi Muda. Ia berasal dari Padepokan Hati Putih dan murid dari mendiang Resi Tambak Boyo.
Sejak Lanang Jagad setuju untuk mengajar baca tulis dan bidang ilmu lainnya di Kerajaan Sanggana Kecil, ia dan istrinya tinggal di kawasan Istana.
Setibanya Arda Handara di Pendapa Kebajikan, sudah hadir beberapa adiknya bersama pemomongnya pula, termasuk beberapa anak dari pejabat kerajaan. Namun, kelas belum dimulai, karena memang masih kurang beberapa menit lagi.
“Kakang Arda!” panggil Pangeran Getar Jagad yang melihat kedatangan kakaknya.
Namun, Arda Handara tidak menjawab. Dia terus berlari lewat di depan adik-adiknya pergi ke arah Wisma Guru Muda, rumah kediaman Lanang Jagad yang letaknya di belakang Pendapa Kebajikan.
“Kakang Arda mau ke mana?” tanya Putri Hijau Sukma kepada pemomongnya.
“Mungkin mau bertemu Guru Muda,” jawab pemomongnya yang perempuan.
“Ke mana Gusti Pangeran Arda?” tanya Lentera Pyar kepada sesama pemomong. Dia tiba telat di depan Pendapa Kebajikan.
“Sepertinya ke Wisma Guru Muda,” jawab pemomong Putri Hijau Sukma itu.
“Guru Tampan! Guru Tampan!” teriak Arda Handara memanggil, sambil berlari masuk ke dalam Wisma Guru Muda.
Alangkah terkejutnya sepasang sejoli yang sedang ada di ruang tengah wisma tersebut. Pasalnya, Arda Handara langsung berlari masuk begitu saja yang pada saat yang sama, seorang pemuda berpakaian serba putih sedang memeluki seorang wanita cantik berpakaian kuning dari belakang.
Sontak si pemuda langsung melepas pelukannya pada sang istri. Keduanya seketika jadi salah tingkah.
Pemuda itu tidak lain adalah Guru Muda Lanang Jagad dan istrinya, Rara Sutri yang berjuluk Putri Cemeti Bulan dan merupakan kakak seperguruan Surya Kasyara.
“Pangeran Arda! Kenapa langsung masuk?” hardik Lanang Jagad, sang guru, tapi tidak terlalu marah.
“Hahahak!” Arda Handara malah tertawa terbahak.
Namun, tanpa merasa bersalah atau menggubris kelakuan gurunya barusan, Arda Handara segera memainkan siasatnya.
“Guru, guru! Ayo duduk dulu!” kata Arda Handara sambil menarik tangan kanan gurunya agar duduk bersama di lantai.
Dengan mimik keheranan, Lanang Jagad yang kini kulitnya sudah lebih putih dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, ikut duduk berhadapan dengan bocah tampan tersebut.
“Ada apa? Jangan katakan kau ingin menghindar dari menyetor hapalan,” tanya Lanang Jagad curiga.
“Seperti ini, Guru,” kata Arda Handara sambil memandang ke langit-langit, seolah sedang mencari susunan kalimat yang tepat.
Sementara itu, Setya Gogol dan Lentera Pyar muncul di ambang pintu depan. Mereka berhenti ketika melihat Arda Handara sedang duduk berhadapan dengan gurunya.
“Guru pernah mengajarkan, jangan buang peluang untuk mendapat pengetahuan yang jarang,” kata Arda Handara.
“Benar,” ucap Lanang Jagad membenarkan.
“Aku tiba-tiba mendapat ide cemerlang, Guru,” kata Arda Handara.
“Ide apa?” tanya sang guru dengan tatapan curiga. Ia tahu bahwa Arda Handara anak yang cerdas, tetapi kecerdasannya sering disalahgunakan.
“Di pelataran Istana saat ini ada seekor laba-laba raksasa, Guru,” kata Arda Handara lagi.
“Iya, Guru tahu.”
“Binatang yang jarang ada itu, belum tentu bisa kita temui untuk kedua kalinya, Guru. Jadi ….”
“Jadi apa?”
“Sebelum binatang hebat itu pergi dan kita tidak pernah melihatnya, lebih baik Guru memanfaatkan peluang. Guru ajak murid-murid untuk melihat binatang itu, Guru. Aku yakin, teman-temanku pasti akan sangat gembira,” ujar Arda Handara.
“Ini pasti hanya siasatmu, Pangeran. Sebenarnya kaulah yang sangat ingin melihat binatang raksasa itu. Benar?” tukas Lanang Jagad.
“Hehehe!” Arda Handara tertawa cengengesan karena tertebak.
“Baik, kumpulkan murid-murid. Pelajaran hari ini adalah mempelajari laba-laba raksasa,” kata Lanang Jagad menetapkan.
“Guru Muda memang guru bijaksana!” teriak Arda Handara lalu tiba-tiba menerkam memeluk gurunya yang hanya diam mendelik.
Cup!
Arda Handara bahkan mengecup pipi kiri sang guru.
“Sudah sudah sudah. Pergilah, beri tahu murid yang lain,” kata Lanang Jagad.
“Hahaha! Terima kasih, Guru!” ucap Arda Handara begitu senang. Ia lalu berdiri hendak pergi.
“Pangeran Arda, uyut-uyutmu tertinggal,” kata Lanang Jagad sambil menggerak-gerakkan bahu kirinya.
Pada bahu kiri Lanang Jagad memang ada seekor ulat bulu berwarna hitam bertotol kuning sedang bergerak merayap.
“Dasar uyut-uyut nakal!” rutuk Arda Handara. “Maaf, Guru.”
Arda Handara lalu mengambil ulat bulu piaraannya dari bahu gurunya. Setelah itu dia segera berbalik pergi.
Lanang Jagad hanya geleng-geleng kepala melihat keisengan muridnya itu. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 308 Episodes
Comments
pembaca komik📖
laba-laba apa yang pakai
2023-10-21
1
Abiasa Wenang
klakuannya jauh dari kta pangeran,,,,apa lagi piaraannya,,,kgk da yg lain apa,,,
2023-09-18
0
Budi Efendi
mantap
2023-02-24
0