Saat mereka bertiga membuka pintu rawat inap, pak Dedi dengan langkah panjangnya langsung mendekati Tania.
Ketegaran yang sedari tadi dia tunjukan pada kedua anaknya runtuh seketika.
Sebagai seorang ayah ia merasakan hancur saat melihat anak yang sangat dicintainya terbaring tak berdaya.
Sementara Kania hanya bisa diam sambil memeluk Rian yang ternyata merasakan kesedihan yang sama seperti ayahnya.
Rian terisak, bahunya bergetar menggambarkan betapa ia berusaha menahan untuk tidak menangis.
Kania menepuk pelan punggung Rian, memberikan pengertian bahwa semua akan baik-baik saja.
Tak ada yang tau bagaimana perasaan Kania saat ini, meski hatinya juga hancur melihat keadaan saudara kembarnya, tapi ia lebih hancur melihat ayah dan adiknya menangis.
Kania berusaha kuat, setidaknya itulah yang harus ia lakukan untuk saat ini.
Kania menoleh ke arah Reyhan yang masih berdiri di sampingnya.
Pria itu tersenyum sambil menepuk lembut bahu Kania.
Tentu itu adalah hal yang paling Kania butuhkan saat ini, dan keberadaan Reyhan berhasil menguatkannya.
Setelah suasana cukup tenang, Reyhan berpamitan untuk pulang setelah seharian mendampingi Kania di rumah sakit.
Sedangkan pak Dedi dan kedua anaknya lebih memilih untuk menginap untuk memantau keadaan Tania.
Semalaman Kania tidak bisa tidur, bukan karena ia tidak mengantuk.
Tapi ia tidak tega melihat ayahnya yang masih terjaga sambil menatapi wajah Tania semalaman.
Pagi harinya pak Dedi meminta Kania dan Rian untuk pulang kerumah.
Rian harus tetap sekolah dan Kania juga harus pulang untuk mengambil pakaian ganti dan makanan untuk ayahnya.
Setelah itu Kania kembali lagi ke rumah sakit.
"Ayah makan dulu ya, Kania gak mau ayah ikutan sakit. " bujuk Kania saat melihat ayahnya yang masih belum bergeser dari posisi duduknya.
"Kamu saja duluan, ayah bisa makan nanti, lagi pula kamu kan harus pergi kuliah, jadi jangan pergi dengan perut kosong." ucap pak Dedi tanpa melihat ke arah Kania.
"Kania akan makan kalau ayah juga makan. " Kania meletakan kotak bekal berisi makanan itu lagi ke meja tanpa menyentuhnya.
Pak Dedi menoleh melihat anak gadisnya, lalu dia berjalan mendekati Kania yang terlihat kesal.
"Ya sudah ayo kita makan." Pak Dedi tau dia tidak boleh bersikap egois, kesedihannya hanya akan melukai anak-anaknya dan pak Dedi tidak mau itu terjadi.
Sebenarnya Kania belum ingin masuk kuliah hari ini, namun pak Dedi terus saja memaksa sehingga mau tidak mau Kania harus rela meninggalkan ayahnya sendirian menjaga Tania.
Kania berjalan lesu sambil menyusuri koridor rumah sakit, sesekali ia melempar pandangan ke sekeliling sambil menghela nafas panjang.
Dari jauh Kania melihat seorang pria sedang duduk memainkan ponsel di tangannya.
Awalnya Kania bersikap acuh dan mengabaikannya begitu saja, merasa di perhatikan, Kania menghentikan langkah dan menatap pria yang kini sedang tersenyum padanya.
"Kania." Kevin berdiri dan berjalan menghampiri Kania yang sedang terpaku.
"Kak Kevin?" ujar Kania yang masih kaget, tidak pernah menyangka akan bertemu pria itu di tempat ini.
"Apa kabar, kamu kenapa bisa ada disini?" Kevin celingukan, mencari tau barangkali Kania sedang bersama seseorang.
"Aku baik kak, aku kesini...habis jenguk kerabat yang lagi sakit." jawab Kania sedikit gugup, ia sendiri tidak tau kenapa harus berbohong.
"Enggak kuliah?" Kevin tersenyum melihat Kania yang sedikit salah tingkah.
"Ini juga mau berangkat kuliah kak." jawab Kania semakin canggung begitu menyadari tatapan Kevin yang tak beralih, membuat jantungnya berdebar tak menentu.
"Mau di anterin?" Kevin menyatukan alisnya menunggu jawaban dari Kania.
"Hah?" Kania terhenyak, mengedipkan matanya beberapa kali, menyimak apakah pendengarannya bermasalah.
Kevin hampir tergelak, begitu gemas melihat reaksi Kania yang terlihat lucu dengan wajah terkejut.
Dan jangan abaikan bulu mata lentik Kania yang bergerak indah ketika gadis itu berkedip beberapa kali tadi.
Astaga...Kevin tak pernah di buat begitu terpesona oleh seorang gadis sederhana seperti Kania.
Selama ini para gadislah yang selalu menggilainya, namun Kania jelas sangat berbeda dari gadis manapun.
Dan hal itulah yang membuat Kania terlihat semakin istimewa di mata Kevin, gadis itu bersinar dengan caranya sendiri.
"Berangkat sekarang?" ajak Kevin.
"Eh..." Kania bingung harus apa.
"Udah ayuk buruan...keburu telat."
Dan tanpa sadar Kevin meraih pergelangan tangan Kania dan menuntun gadis itu untuk mengikutinya.
Kania yang masih begitu terkejut hanya bisa diam, menatap genggaman Kevin sembari menyamakan langkah lebar pria itu dengan debaran jantung yang semakin tak karuan.
Kevin membukakan pintu mobilnya untuk Kania, dan tersenyum kala mendapati semburat merah di pipi sang gadis pujaan.
"A..aku bisa naik taksi dari sini, kak Kevin enggak perlu repot nganterin aku." ujar Kania kemudian.
"Enggak akan aku ijinin." jawab Kevin dan Kania kembali mengedipkan matanya salah tingkah.
"Kenapa harus naik taksi kalau ada aku di sini." sambung Kevin tersenyum yang langsung mendorong tubuh Kania agar masuk ke dalam mobilnya.
Memastikan gadis itu dalam posisi nyaman sebelum menutup kembali pintu mobilnya.
Pandangan Kania bergerak mengikuti Kevin yang berjalan memutari mobil, dan menghela nafas panjang begitu pria itu kini duduk di sebelahnya.
Dan Kania nyaris pingsan saat Kevin mendekatkan wajahnya dengan senyum lebar.
Membuat gadis itu beringsut mundur dengan mata yang membelalak.
"Jangan lupa pake sabuk pengaman." ujar Kevin menyeringai, pria itu begitu menikmati pemandangan di depan matanya.
Sikap polos Kania benar-benar membuatnya gemas, dan sesaat Kevin terbuai begitu harum yang begitu lembut melintas di ujung hidungnya saat wajah mereka berdekatan ketika ia membantu Kania memasangkan sabuk pengaman.
Untungnya Kevin masih bisa mengendalikan diri, pria itu berdehem pelan untuk menghilangkan rasa gugup yang juga menderanya.
Suasana yang begitu canggung di dalam mobil jelas tidak bisa terelakan, meski Kevin terlihat lebih santai dan beberapa kali membuka percakapan, namun Kania masih merasa jika kedekatan mereka masih terasa aneh.
Ia mengenal Kevin karena pria itu sepupu dari sahabatnya, dan Kania merasa tak memiliki cukup alasan untuk mereka menjadi sedekat ini.
Namun hatinya yang tak tau diri justru berkata lain, sikap Kevin yang ramah dan sopan membuat Kania merasa nyaman.
Dan satu hal yang kini mengganggu pikiran Kania, kenapa jantungnya selalu berdebar tak karuan setiap melihat pria itu tersenyum kepadanya.
"Sadar Kania..." gumam gadis itu ketika perasaan aneh itu kembali muncul.
Kevin menoleh sesaat, memperhatikan Kania yang sesekali kedapatan mencuri pandang ke arahnya.
"Mikirin apa?" tanya Kevin saat mobil mereka berhenti di lampu merah.
"Hah?" Kania tampak sedikit terkejut dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Kevin tersenyum lagi melihatnya.
"Aku tanya kamu lagi mikirin apa?" ujar Kevin lagi, pria itu mengubah posisi duduknya sedikit memiring agar lebih leluasa menatap Kania.
"Eh...enggak lagi mikirin apa-apa kok." jawab Kania kemudian.
"Oh, kirain lagi mikirin aku." celetuk pria itu pura-pura kecewa.
"Maksudnya?" tanya Kania yang memberanikan diri membalas tatapan Kevin.
"Yah aku enggak keberatan kalau kamu mau mikirin aku, soalnya..." ujar Kevin terhenti saat melihat lampu yang berubah hijau.
Membuat Kania sedikit penasaran karena pria itu tak meneruskan ucapannya dan kembali fokus menatap jalanan yang mulai padat oleh kendaraan.
Dan anehnya Kania justru merasa sedikit kecewa.
Kevin mencari area parkir setelah mereka tiba di kampus tempat Kania menimba ilmu.
"Pulang nanti aku jemput ya." ucap Kevin saat Kania baru melepaskan sabuk pengaman dan berniat akan turun.
"Hah?" dan untuk kesekian kalinya Kania bertingkah seperti orang bodoh di hadapan Kevin.
"Boleh pinjem ponselnya bentar?" ijin Kevin mengulurkan telapak tangannya.
Membuat Kania kembali terhenyak, namun tak ayal merogoh ponselnya dari dalam tas dan memberikannya pada Kevin.
Pria itu tersenyum puas ketika mengetikkan sesuatu di ponsel Kania sebelum mengembalikannya lagi ke tangan gadis itu.
"Kabari kalau kelas kamu udah selesai." ujarnya sebelum keluar dari mobil hanya untuk membukakan pintu untuk Kania.
"Makasih udah dianterin." Kania tersenyum menatap Kevin.
Jujur saat ini ia merasa begitu bahagia, meskipun ia belum tau apa alasannnya.
Yang jelas Kania menikmati waktunya bersama Kevin, dan perhatian pria itu membuatnya merasa begitu di hargai.
"Sama-sama." balas Kevin ketika mereka masih berdiri dan saling melemparkan senyuman.
"Aku masuk dulu." ucap Kania yang kemudian diangguki oleh Kevin.
"Jangan lupa telpon." pinta Kevin tanpa suara, namun cukup membuat Kania mengerti ketika ia memutuskan memutar tubuhnya untuk melihat keberadaan pria itu sebelum benar-benar pergi.
Dan anggukan kepalanya tak ayal membuat Kevin tersenyum sumringah, lalu pria itu berlari kecil memutari mobilnya dan pergi meninggalkan pelataran kampus dengan hati yang bahagia.
*
*
"Astaga papa..." batin Kevin saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari sang papa.
Dan pria itu baru sadar jika sudah meninggalkan papanya di rumah sakit.
Meski ia sempat mengetikkan pesan kepada supir keluarga untuk menggantikannya dan menjemput papanya di sana.
Tapi tetap saja keputusannya yang lebih memilih mengantar Kania ke kampus tanpa berpamitan pada sang papa pasti membuat pria paruh baya itu murka.
"Hallo pa." ujarnya ketika memutuskan untuk melakukan panggilan.
Dan pria itu mengernyit sembari menggosok telinganya ketika mendengar rentetan teriakan dari ponselnya yang masih terhubung.
"Tadi Kevin udah minta supir buat jemput papa di rumah sakit."
"....."
"Iya Kevin minta maaf, tapi beneran tadi itu Kevin ada urusan penting pa."
"....."
"Eitsss...jangan marah dulu, ini kevin juga lagi usaha buat nyenengin papa, apa papa gak kepengen punya cucu?"
"....."
"Justru itu dengerin Kevin dulu pa, calon ibunya lagi on the way, jadi papa cuma perlu enjoy biar cepet sehat, mau cepet-cepet punya cucu kan? bentar lagi Kevin kabulin."
"....."
"Yang ini beda pa, doain supaya calon mantu papa ini mau segera Kevin nikahi."
"....."
"Iya entar di kenalin... perasaan Kevin deh yang mau nikah, kok jadi papa sih yang gak sabaran gitu." Kevin terbahak dan mengangguk ketika asistennya menyerahkan beberapa map yang harus ia periksa di atas meja kerja.
"....."
"Iya...iya, nih juga Kevin lagi kerja buat modal ngelamar calon mantu papa, udah dulu ya pa..calon mantu papa nelpon nih."
Kevin mengakhiri pembicaraannya dengan sang papa dengan senyum sumringah.
Melihat nama gadis pujaan muncul di layar ponselnya saja sudah membuat Kevin senang bukan kepalang.
Apalagi jika bisa mendapatkan gadis itu dan memiliki hatinya.
"Rasanya enggak sabar menunggu hari itu tiba, menjadikan kamu seseorang yang begitu spesial dalam hidupku...Kania." gumam Kevin dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Isu💟THY
lanjut
2020-09-26
0
Naiindy Aurelia
Aku sudah like beruntun nih thor.. dikasih makan gak akunya 😆😆
2020-09-22
0
Sept September
jempollll buat Kakak 😀
2020-08-06
0