Setelah menyelesaikan makan malam, kali ini Kania memutuskan untuk langsung kembali ke kamarnya.
Tidak seperti biasa yang sebelum tidur selalu menyempatkan waktu untuk ngobrol dengan sang Ayah.
Sekedar membicarakan kegiatannya di kampus atau hal-hal lucu tentang sahabatnya ataupun karyawan di toko roti.
Kania tidak ingin Ayahnya sampai melihat luka dibibirnya yang malah membuat pria itu khawatir.
"Hari ini Kania capek banget yah, mau langsung tidur." ucap Kania penuh sesal.
"Iya nggak apa-apa, udah sana kamu istirahat aja, Ayah mau nonton TV sebentar." pak Dedi berjalan ke ruang keluarga di mana Rian sedang menonton acara olah raga.
"Jangan tidur kemaleman, nggak baik buat kesehatan Ayah. "ucap Kania sekedar mengingatkan sang Ayah yang suka lupa waktu jika sudah menonton acara kegemarannya, apalagi kalau bukan pertandingan sepakbola.
"Iya...kamu juga kalau mau tidur wajahnya dibersihin dulu, mau tidur aja make bedak tebel bener macem mau pergi ke kondangan." celetuk pak Dedi yang langsung diiringi tawa menggelegar dari Rian.
"Mau ngalahin tukang jamu langganan bi Lastri yang dandanannya menor itu kali yah, siapa namanya...Rian lupa?" Rian tertawa sampai terguling-guling di samping Ayahnya.
"Maksud kamu mpok Nur." ucap Ayah sambil melirik Rian dan tak ayal membuat pria itu ikut tertawa sebab mengingat tingkah pola lucu dari penjual jamu yang menjadi langganan bi Lastri.
"Iya bener mpok Nur..." Rian masih saja terkekeh puas melihat raut kesal sang kakak yang harus di bandingkan oleh mpok Nur si penjual jamu.
"Bukannya kamu itu salah satu fansnya, yang tiap hari setia duduk depan rumah cuma buat nungguin mpok Nur lewat..." ejek Kania tak kalah tertawa sambil berjalan ke arah tangga.
"Amit-amit dah, kalau nggak kasian lihat bi Lastri yang selalu teriak-teriak tiap manggilin mpok Nur yang rada bolot mah Rian ogah." ucap Rian dengan bibir manyun.
"Helleeh...ngefans juga enggak apa-apa kok, siapa tau aja jodoh." ledek Kania sambil terkikik geli dan segera berlari ke arah kamarnya untuk menghindari amukan Rian.
"Kakaaak!" teriak Rian sekencangnya.
Namun Kania seakan tak peduli, sambil memegangi perutnya yang kaku karena tertawa.
Puas rasanya melihat wajah Rian yang imut kalau sedang kesal.
"Enggak kebayang kalau hari-hari aku pake bedak tebel gini, alamat diamuk mpok Nur deh... dianggap aku nyaingin dia." Kania melihat wajahnya di cermin dan kembali tertawa.
Kemudian dia tak lupa membersihkan wajahnya di kamar mandi sebelum merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang akan membawanya ke alam mimipi.
Baru saja Kania akan menutup matanya, dia mendengar pintu kamarnya yang di ketok dari luar.
"Ini Rian kak, kak Kania udah tidur?" ucap suara dari luar kamar.
Kania bangun dari ranjang dan berjalan untuk membuka pintu kamarnya.
"Ada apa? jangan bilang kamu minta di jodohin beneran sama mpok Nur..." canda Kania sambil merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.
"Ishh... kok jadi bahas mpok Nur terus sih." ucap Rian kesal.
Kania yang dalam posisi rebahan pun kembali duduk, mencoba menahan tawa dengan menempelkan salah satu tangannya ke depan mulut.
"Oke...kali ini serius, memangnya kamu mau bahas apaan?" tanya Kania menatap adiknya yang kini malah tampak ragu untuk memulai obrolan.
"Mau balikin ini..." Rian menyodorkan amplop berisi uang yang beberapa hari lalu ia letakkan di meja belajar adiknya.
"Itu buat kamu, buat beli laptop dan yang lainnya biar kamu enggak bolak-balik ke warnet tiap ada tugas sekolah." ujar Kania tersenyum sembari mendorong amplop berwarna coklat itu lagi ke arah Rian.
"Enggak perlu kak... mending uangnya kakak pake buat keperluan yang lain, Lagipula kasian mbak penjaga warnetnya ntar kecarian kalau sampe Rian nggak pernah kesana lagi." ucap Rian sambil nyengir kuda.
"Dasar genit!" Kania menjewer telinga Rian.
"Aduh... sakit kak." teriak Rian sambil menggosok kupingnya dan berpura-pura kesakitan.
"Dengerin kakak...kamu itu masih punya kakak dan juga Ayah. Jadi semua keperluan kamu itu udah jadi tanggung jawab kami.
Kakak ingin kamu jadi orang sukses, dan kakak akan melakukan apapun untuk mendukung kamu." ucap Kania menatap lekat mata adiknya.
"Rian cuma nggak mau nyusahin Ayah dan juga kak Kania..." ucap Rian lirih.
"Siapa yang bilang kamu nyusahin..., justru kami melakukan ini karena kami sayang sama kamu Rian, jangan pernah mikir gitu ah... kakak nggak suka. Kakak masih mampu membiayai semua kebutuhan kamu Rian.
Kakak juga tau selama ini kamu jarang make uang saku yang kakak kasih.
Hemat boleh...tapi kalau untuk kebutuhan sekolah harus jadi prioritas." Kania menepuk punggung tangan Rian yang berada dalam genggamannnya.
"Dan kakak pengen ngelihat kamu seperti temen-temen kamu yang lainnya.
Sesekali pergi jalan bareng mereka, enggak perlu sungkan pake uang jajan yang emang udah jadi hak kamu.
Tidak masalah menikmati masa muda selama kamu tau batasan." ucap Kania penuh penekanan.
"Makasih banyak kak..." Rian memeluk Kania, dan bertekad dalam hati agar suatu saat ia bisa membalas semuanya dengan segala prestasi yang sudah ia impikan untuk membuat orang tua dan kakaknya bangga.
"Udah malem, sana gih tidur..." Kania menepuk punggung Rian dan mengurai pelukan setelah sebelumnya menghapus air mata yang menetes tanpa bisa ia cegah.
Rian sendiri tampak menyusut air mata yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun selama ini.
"Ya udah...Rian balik ke kamar dulu ya kak."
Kania mengangguk dengan senyum manis yang tersungging dari bibirnya.
Namun sesaat kemudian Rian berbalik dan mengecup puncak kepala Kania.
"Kakak juga langsung tidur, jangan mikirin kerjaan melulu..." ucap Rian sebelum menutup pintu kamar Kania
Kania hanya tersenyum bahagia melihat sikap manis adiknya.
Dia kemudian kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang.
Mata Kania beralih ke bingkai foto yang ada di meja.
Diambilnya foto itu dan mengusapnya sambil tersenyum bahagia.
"Apakah ibu melihatnya, hadiah istimewa yang ibu tinggalkan kini sudah beranjak remaja.
Dia tumbuh dengan sangat baik bu...sikapnya manis dan memiliki wajah tampan seperti Ayah...Apa ibu begitu mencintai Ayah hingga wajah mereka begitu mirip...Terima kasih ibu, doakan Kania agar bisa menjaga dan membuat mereka bahagia..." gumam Kania dengan suara tercekat menahan tangisan.
Namun Kania tak bisa membendung air matanya yang tanpa permisi menetes saat melihat foto ibunya, Kania begitu merindukannya.
Namun setiap melihat wajah adiknya kerinduan itu seolah terbayar.
Hingga tanpa terasa Kania tertidur sambil mendekap foto sang ibu.
Malaikat tak bersayap yang pernah hadir dalam hidupnya meski hanya sesaat, namun gadis itu tak akan pernah melupakan semua kenangan dan nasehat yang pernah ibunya berikan dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Isu💟THY
👍👍👍👍👍
2020-09-20
0
Adine indriani
3 bab boomlike semangat
2020-08-07
0
Sept September
jempol buat Kakak 😀😀😀
2020-07-27
0