Hari semakin gelap, namun Kania masih berada di dalam ruangan tokonya.
Berjibaku dengan semua pembukuan, guna menghitung pemasukan dan pengeluaran toko untuk bulan ini.
Tak berselang lama Rian yang selalu datang menjemputnya pulang sudah berdiri di balik meja kerja Kania.
"Masih lama?" tanya Rian masih dalam posisi berdiri.
"Ngagetin ih..." pekik Kania memegangi dadanya.
"Fokus banget sih, sampe enggak nyadar kalo ada orang lain di sini." ujar Rian tertawa renyah, remaja itu menarik kursi dan duduk di hadapan sang kakak.
"Tunggu bentar ya, dikit lagi selesai kok." Kania melanjutkan pekerjaannya.
Namun Rian semakin gelisah, duduknya serasa tak nyaman, berulang kali pemuda itu menghembuskan nafas kasar guna menunjukkan jika ia sudah tidak betah berada di sana.
"Kenapa?" tanya Kania yang menyadari sikap tak biasa sang adik.
Rian menggeleng "Masih lama ya kak?" tanyanya kemudian.
Sejurus kemudian wajah pemuda itu berubah datar begitu pintu kembali terbuka dan memperlihatkan kepala salah satu pegawai Kania menyembul di sana.
"Kalo masih perlu sesuatu mbak Kania bisa panggil saya." ucap gadis hitam manis itu sembari melirik ke arah Rian yang langsung membuang muka tak suka.
"Eh...makasih loh As, belum pulang kamu?" tanya Kania.
Ada pemandangan lucu yang tiba-tiba membuat Kania mengerling pada Rian yang justru melengos sembari memainkan ponselnya.
"Belum mbak...bentar lagi,mmm...mas Rian juga kalau perlu sesuatu bisa panggil Asti."
Dan saat itu juga Rian malah memutar posisi tubuhnya membelakangi Asti, dan Kania hampir tak kuasa menahan tawa jika saja gadis itu tak cepat-cepat membungkam bibirnya dengan sebelah tangan.
"Iya As, entar di sampein ke mas Riannya buat panggil Asti kalau butuh apa-apa." ujar Kania tersenyum memandang sang pegawai yang langsung pergi setelah berpamitan dengan senyuman manis walau raut wajahnya jelas terlihat sedikit kecewa.
Setelah memastikan pintu kembali tertutup, saat itu juga tawa Kania meledak tak tertahan.
"Ck..." Rian berdecak dan tak berniat menanggapi tatapan penuh curiga dari sang kakak.
"Kayaknya kakak ketinggalan berita deh."
Kania jelas sedang berniat menginterogasi Rian yang nampak mencurigakan.
"Apaan sih kak." sela Rian begitu jari telunjuk sang Kakak menarik lengan kaosnya.
"Ceritain atau kakak sendiri yang bakal tanya ke Asti." ancam Kania dengan seringaian jahilnya.
"Males ah...udah selesai belum sih kak? pulang yuk." sela Rian jelas mencoba menghindar.
Namun Kania tak begitu saja menyerah, gadis itu malah meletakkan kedua tangannya ke atas meja untuk menyangga dagunya dengan tatapan menyelidik ke arah sang adik.
"Besok-besok Rian jemputnya kalo kakak udah nyelesain kerjaan di sini deh kak, males Rian kalo disuruh nunggu lagi, apalagi ada tuh orang yang kecentilan banget sok-sok cari perhatian." omel Rian pada akhirnya.
Kening Kania mengernyit "Maksud kamu siapa? Asti?"
"Heran, emang enggak ada kerjaan lain apa, harus gitu mondar mandir enggak penting dari tadi, ganggu aja." lanjut Rian dengan omelan yang terdengar lucu di telinga Kania.
"Ganggu gimana? justru menurut kakak Asti tuh baik loh, perhatian...sampe mau repot-repot buatin teh anget buat kamu." tunjuk Kania pada segelas teh manis yang belum Rian sentuh sedikit pun.
Kania masih terkekeh, menurutnya wajah kesal Rian justru terlihat begitu lucu dan menyenangkan di matanya.
Asti memang pernah beberapa kali menanyakan perihal Rian pada Kania.
Dan wajah bahagia Asti saat mendengarkannya bercerita tentang Rian cukup menunjukkan ketertarikan gadis itu pada sang adik.
Namun hal itu cukup wajar jika mengingat paras tampan Rian yang memang cukup menarik perhatian kaum hawa, tak terkecuali para pegawai Kania yang sering kedapatan mencuri pandang atau sekedar mencari perhatian Rian.
Namun Kania tak menyangka jika sikap agresif Asti dalam mendekati Rian justru membuat adiknya itu merasa tidak nyaman.
"Jadi pulang enggak nih..." ujar Rian sembari beranjak dari duduknya.
"Tehnya enggak di minum dulu." imbuh Kania dengan senyum penuh ejekan
"Udah deh kak, enggak usah pake ngeledekin."
Kania kembali tertawa, dan memilih membiarkan Rian membantunya memasukkan semua barang yang akan di bawa pulang ke dalam tas milik sang kakak, lebih cepat lebih baik, pikir Rian.
Dan untuk menghargai usaha Asti, Kania menyeruput teh hangat milik Rian sebelum keluar meninggalkan ruangan kerjanya.
"Enak loh tehnya, rasa cinta..." ledek Kania lagi.
Dan saat itu juga Rian langsung menarik tangan Kania untuk segera keluar dari toko dengan wajah kesal.
*
*
*
"Tania sudah di kabari?" tanya pak Dedi yang langsung membuat Kania menghentikan aktifitas mencuci piringnya setelah mereka selesai makan malam barusan.
"Sudah... tapi paling juga kayak biasa,alesannya sibuk trus ujung-ujungnya dia enggak nongol." jawab Kania tanpa melihat pak Dedi yang masih duduk terdiam di meja makan.
"Mungkin aja kakakmu itu memang sedang sibuk, yang penting sudah di ingatkan." ucap ayah dengan suara merendah.
Entah kenapa setiap mendengar nama Tania membuat mood Kania jadi berubah.
Namun Kania juga tidak bisa melarang sang Ayah yang setiap saat selalu mengkhawatirkan keadaan gadis itu.
Bagaimanapun juga Tania adalah anaknya dan bagian dari hidupnya, wajar kalau ayah masih menyayanginya meski sikap Tania yang sudah kelewatan pada keluarga ini.
Membaringkan tubuhnya di ranjang, Kania berharap matanya segera terpejam dan melupakan wajah kecewa sang ayah yang membuatnya gelisah.
Yah, hari peringatan meninggalnya sang ibu juga merupakan hari kelahiran Rian.
Hal itu membuat Rian tidak pernah menginginkan perayaan ulang tahun seperti layaknya orang-orang.
Pernah suatu ketika Kania dan sang Ayah berniat membuat kejutan ulang tahun untuk sang adik.
Namun Rian justru marah dan mengurung diri seharian di dalam kamarnya.
Sepertinya ucapan Tania terlalu membekas di ingatan Rian, anggapan dirinyalah yang menjadi penyebab kematian sang ibu begitu membuat Rian terpukul.
Dan sejak saat itu mereka sepakat untuk tak pernah lagi membahas perihal hari ulang tahun Rian.
Meski Kania tetap berusaha meyakinkan Rian jika kehadirannya di dunia ini adalah takdir yang sudah di gariskan Tuhan.
Dan kematian sang ibu tidak ada sangkut pautnya dengan kehadirannya, apalagi sampai menyalahkan dirinya sendiri atas semua musibah yang telah terjadi pada keluarga mereka.
Namun Kania yakin, seiring berjalannya waktu akan membuat Rian mengerti dan berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
Anak itu pasti tau jika ia dan sang Ayah begitu menyayanginya.
Menganggapnya sebagai kado terindah yang ibu mereka berikan dan harus mereka jaga dengan sepenuh hati.
Kania meraih foto sang ibu yang ada di samping tempat tidurnya.
Melihat senyuman didalam foto itu selalu menjadi penghiburan tersendiri bagi Kania.
Tanpa terasa air mata gadis itu mengalir, mengingat kebersamaan keluarga mereka dulu.
"Aku tidak boleh bersedih, saat ini Rian pasti jauh lebih terpukul." gumam Kania seraya menghapus air matanya dan meletakkan foto sang ibu ke atas meja sebelum memutuskan beranjak ke kamar Rian.
Membawa sebuah kotak yang ia siapkan meski tak berbungkus kertas kado yang cantik seperti pada umumnya, karena Rian tidak akan suka itu.
Kania melangkah perlahan dan membuka pintu kamar Rian yang tidak pernah terkunci.
Anak itu masih sibuk di meja belajarnya sambil membaca sebuah buku.
"Lagi ngapain?" ucap Kania, membuat Rian menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada buku yang ia baca.
"Nih..." menyodorkan kotak yang dibawanya ke hadapan Rian, Kania menaik turunkan kedua alisnya mendapati reaksi terkejut sang adik.
"Ini apa kak?" tanya Rian dengan wajah bingung, ia menatap Kania lalu beralih ke kotak yang kini ada ditangannya dan melihat kakaknya lagi dan begitu seterusnya.
"Buka aja." seru Kania sambil menunjukan seutas senyum.
Tanpa menunggu lama Rian langsung membukanya, dan Kania dapat melihat raut wajah bahagia sekaligus tak percaya dari Rian.
Kedua mata anak itu terbuka lebar dan langsung menatap Kania dengan senyum sumringah.
"Ini pasti mahal." Ucap Rian menatap sang kakak penuh selidik.
"Itu enggak penting, yang harus kamu pikirin sekarang cuma belajar dan lakukan yang terbaik untuk mencapai cita-citamu hmm..." Kania mengacak rambut Rian hingga membuatnya berantakan.
"Makasih banyak kak." ucap Rian sambil menghapus sudut matanya yang basah.
Dan hal itu membuat Kania terpaku, hatinya terlampau sakit melihat lelehan air mata sang adik, sekalipun ia tau jika itu adalah air mata kebahagiaan.
"Kakak balik ke kamar dulu ya, ngantuk banget...kamu juga jangan tidur kemaleman, belajarnya bisa di lanjutin besok lagi." Kania memutuskan kembali kekamarnya karena tidak ingin menciptakan suasana haru dan melihat Rian meneteskan air mata.
"Sekali lagi makasih hadiahnya, tidur yang nyenyak..." ujarnya saat Kania menoleh sebelum benar-benar keluar dari kamar Rian.
*
*
Ponsel Kania terus berdering mengganggu tidur malamnya yang begitu nyenyak.
Gadis itu menggeliat di dalam selimut dan tak berniat menerima panggilan di waktu dini hari itu yang memang menjadi waktu paling penting baginya untuk beristirahat.
Namun sepertinya sang penelpon tak memikirkan hal itu dan terus membuat ponsel Kania berbunyi.
Dengan malas Kania terpaksa meraih ponselnya, dan tanpa melihat siapa yang tengah menelponnya ia langsung menerima panggilan itu.
"Hallo.." ucapnya dengan suara berat.
"I..ini siapa ya?" tanya Kania terperanjat saat mendengar suara yang tidak ia kenali.
Kania mencoba mengumpulkan kesadarannya guna mencerna setiap ucapan dan informasi yang ia terima.
Sesaat kemudian Kania terpaku begitu menyadari jika nomor yang menghubunginya saat ini adalah nomor ponsel Tania.
Gadis itu sedang berpikir apa yang harus ia lakukan setelah mendengar kabar jika Tania baru saja mengalami kecelakaan sembari menatap layar ponselnya yang masih menyala.
"Hallo mbak....mbak masih bisa dengar suara saya..hallo.."
Suara yang cukup keras dari ponselnya membuat Kania tersadar dan langsung melompat dari tempat tidur.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Rin's
owwAllahhh
2021-07-12
0
Sept September
semangat kakakkkk 🤗
2020-08-06
0
Sasa (fb. Sasa Sungkar)
good
2020-07-15
1