~MENGANTAR AMARA PULANG.
****
Pertemuan dengan klien berjalan lancar, meski Galang harus menunggu selama beberapa menit dari waktu yang dijanjikan. Tak apa. Asal urusannya bisa cepat selesai hari ini juga. Dan, sang klien yang meminta Galang supaya proses perceraiannya dipercepat merasa puas.
Pasalnya, dari pihak istri yang hendak diceraikan tetap kekeuh tidak ingin bercerai dan selalu berkelit apabila diminta untuk jujur. Klien Galang kali ini adalah seorang suami yang kebetulan ingin menceraikan istrinya yang diduga sudah berselingkuh dengan sahabatnya.
Rumit.
Kebanyakan kasus perceraian yang ditangani oleh Galang sumber masalahnya adalah perselingkuhan. Jika tidak sang suami yang berselingkuh, atau sang istri yang main gila dengan pria lain. Terkadang Galang sebagai laki-laki yang terlah beristri merasa kasihan dengan nasib para kliennya.
Bagaimana tidak?
Mereka menikah berdasarkan apa? Bila ujung-ujungnya bercerai. Bila akhirnya ada perselingkuhan.
"Kadang saya ini enggak habis pikir sama mereka," ucap Galang yang ditujukan untuk kliennya yang baru saja pergi. "Bercerai itu memang mudah. Tapi, akan ada seseorang yang jadi korban dari keegoisan mereka. Yaitu anak-anak mereka. Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang broken home dan kurang percaya diri. Saya enggak bisa bayangin bagaimana jadinya jika itu semua menimpa keluarga saya."
Amara tertegun mendengar penuturan Galang barusan. Dia menatap lamat-lamat wajah atasannya itu. Terlihat jelas jika ada makna lain yang terselip di dalamnya. Entah itu apa. Yang jelas Amara memilih menjadi pendengar saja, tak berminat menanggapi hal yang di luar kuasanya.
Baru sehari dia bekerja sebagai sekretaris dari seorang Pengacara. Amara masih awam dan masih perlu banyak belajar.
Sedangkan orang di depannya kini terlihat gusar, usai berkata demikian. Amara memerhatikan Galang yang bergerak gelisah sembari tak henti menatap layar ponselnya. Seperti tengah menanti telepon dari seseorang yang penting.
'Kamu ke mana, Van? Kenapa belum bales pesanku.' Batin Galang yang tak henti memikirkan keberadaan istrinya.
Jenuh menunggu balasan pesan dari Vanila. Akhirnya, Galang memutuskan untuk pulang saja.
"Kita pulang sekarang, Ra. Mumpung belum terlalu malam." Galang beranjak berdiri, diikuti Amara yang juga ikut berdiri. "Ayo."
Keduanya lantas meninggalkan meja itu dan berjalan menuju lobby Hotel. Kemudian keluar dari sana, menuju pelataran parkir gedung bertingkat tersebut.
"Masuklah. Saya akan antar kamu pulang." Galang memerintah Amara untuk masuk ke mobilnya.
Sekejap Amara nampak kebingungan, dia menatap Galang yang berdiri di depannya sambil berpikir.
Apakah baik jika atasan mengantar pulang sekretaris yang baru saja bekerja?
"Em ...," Amara mengusap tengkuknya cemas. "Enggak perlu, Pak. Saya ... bisa pulang sendiri. Saya bisa naik taksi," tolaknya secara halus, tak bermaksud menyinggung perasaan Galang yang mempunyai niat baik padanya.
Penolakan Amara mendapat tatapan penuh tanya dari Galang. "Ini udah malem, Ra. Saya enggak mau karyawan saya pulang sendiri, sementara dia baru saja menemani saya menemui klien penting." Seulas senyum Galang sunggingkan untuk Amara yang menatapnya sungkan. "Ayolah. Kamu enggak usah ngerasa enggak enak begitu. Anggap saja ini tanda terima kasih saya. Ayo."
Amara semakin merasa tidak enak dan serba salah, ketika Galang dengan suka rela membukakan pintu mobil untuknya.
"B-baik." Kepala Amara mengangguk kaku antara tidak rela dan malu.
Persetujuan Amara disambut Galang dengan senyuman. Lelaki itu lantas menutup pintu mobil setelah memastikan Amara duduk dengan nyaman. Dengan cepat Galang mengitari badan mobil lalu membuka pintu di kursi kemudi.
Namun, pergerakannya mendadak terhenti lantaran dirinya tak sengaja melihat sosok Vanila yang hendak masuk ke Hotel bersama seorang pria.
"Vanila? Apa benar itu Vanila?" Galang memicingkan mata guna memperjelas pandangannya. Pasalnya jarak pelataran parkir dengan pintu masuk Hotel cukup jauh. "Tapi, ada urusan apa dia ke sini? Apa mungkin aku salah lihat?" Pikirannya seolah ingin menampik jika yang dilihatnya barusan adalah istri tercintanya. Akan tetapi, instingnya seakan berkata lain.
Galang berharap jika itu bukanlah Vanila. Mana mungkin istrinya ada di Hotel ini, sementara dia sedang ada pemotretan di Puncak.
"Semoga aku salah lihat," gumam Galang sebelum akhirnya masuk ke mobil dengan perasaan dan pikiran tak menentu.
***
"Iya, Mam. Maaf. Kayaknya Galang enggak bisa pulang cepet. Galang mau anterin sekretaris Galang pulang ke rumahnya dulu. Mami udah makan?"
"..."
Galang melirik sekilas Amara yang sejak tadi cuma menatap ke luar jendela. Perempuan itu tentu saja mendengar pembicaraan Galang, yang dia yakini dengan ibunya. Perasaan bersalah dan tidak enak semakin bertambah saja.
"Galang udah makan tadi di Restoran Hotel. Oke, Mam. Maaf, ya, Mam. Maaf. Love you, Mom." Galang mengakhiri panggilan teleponnya. Mengembalikan ponselnya ke dalam saku jas.
Dia menghela napas lega setelah menelepon mami Sarah. Terpaksa Galang tidak bisa menepati janjinya yang akan pulang cepat lantaran jarak Hotel dari rumahnya agak jauh. Terlebih, dia juga harus mengantar Amara pulang ke rumahnya.
Keheningan menemani perjalanan pulang mereka. Galang dan Amara sama-sama diam dan larut dalam pikirannya masing-masing. Amara memikirkan putrinya—Kasih, sementara Galang kembali memikirkan kejadian tadi—saat dia seperti melihat Vanila.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam setengah, akhirnya mereka tiba di rumah Amara.
"Ini rumah kamu?" Galang bertanya begitu menghentikan mobilnya tepat di halaman rumah Amara yang sederhana.
Rumah yang tidak terlalu besar namun terlihat indah, lantaran ditumbuhi pepohonan dan beberapa tanaman hias yang diletakkan di dalam pot kecil.
"Iya, Pak," jawab Amara yang sudah melepas sabuk pengaman dari badannya. "Ayo, Pak, silakan mampir dulu. Jauh-jauh Anda ke sini, rasanya enggak enak kalau Bapak enggak singgah sebentar," ajak Amara dengan ramah.
Dia hanya ingin membalas kebaikan Galang yang sudah rela jauh-jauh mengantarnya pulang. Tak ada hal lainnya.
Memandang situasi rumah Amara sesaat, Galang nampak berpikir sejenak. Lantas, beralih ke Amara lagi lalu bertanya, "Enggak apa-apa, nih, kalau saya mampir?"
Amara mengangguk seraya tersenyum. "Enggak apa-apa, Pak," jawabnya. "tapi ... maaf kalau rumah saya kecil dan mungkin kurang nyaman," tambahnya lagi.
Galang tertawa mendengar ucapan Amara. "Hahaha ... enggak masalah. Ayo. Saya juga mau ketemu sama anak kamu." Melepas sabuk pengaman lantas keluar dari mobil, disusul dengan Amara.
"Mari, Pak."
Galang menutup pintu mobil lalu menguncinya otomatis. Kemudian berjalan bersisian dengan Amara.
"Saya duduk di sini saja," ucap Galang menunjuk kursi yang terbuat dari kayu, begitu tiba di depan pintu rumah Amara. Dia merasa tidak enak dengan suami Amara apabila asal masuk.
"Ta—" Amara hendak melarang Galang yang ingin duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Namun, tiba-tiba...
"Ibu!" Suara Kasih dari dalam menginterupsi Amara yang sontak mengalihkan perhatiannya kepada bocah itu. Kasih berlari kecil dan langsung merangsek, memeluknya.
"Kasih." Amara membalas pelukan Kasih sambil sesekali melirik Galang yang menatapnya. "Nak, kenapa belum tidur?" tanyanya setelah mengurai pelukan.
"Kasih nunggu Ibu pulang," jawab Kasih dengan nada manja.
"Tapi ini udah malem, Nak." Amara mengelus kepala Kasih.
"Kasih mau bobok sama Ibu." Kasih mencebik lucu, gadis kecil itu belum menyadari jika ada seseorang yang sejak tadi menatapnya dengan senyuman.
"Hem, anak ibu, kok, gitu sih?" Amara mencubit gemas pipi Kasih. "Ya udah. Sini, ibu kenalin sama seseorang." Menuntun Kasih ke hadapan Galang.
Kasih mengerutkan keningnya. "Ini siapa, Bu?" tanyanya sambil menatap bergantian Galang dan Amara.
###
tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
ini calon PP sambung kasih 😜😜😜
2023-09-21
1
Enung Samsiah
ini om kamu nak,,,, bos ibu +calon suami ibu ok,,,,
2023-09-17
2
여보❥⃝•ꨄ︎࿐
Capar ibu nakk 🤣🤣
2022-09-01
1