~"Dia Kakak Perempuan Saya."
***
"Oke, Mom. Galang ke sana sekarang." Lantas Galang memasukkan lagi ponselnya ke saku jas. Dia menoleh sekilas ke arah Amara yang sedari tadi menunduk. "Barusan Mami saya telepon, beliau meminta saya untuk ke rumahnya. Kamu enggak masalah 'kan? Kalo kita ke rumah Mami saya dulu?"
Pertanyaan Galang sontak membuat Amara mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk, lalu menoleh.
"Kita enggak jadi ke rumah sakit?" tanyanya dengan suara terdengar serak. Amara menyentuh berulang pipinya yang terasa nyeri dan panas. Dan itu sukses membuat Galang menatapnya.
'Astaga ... aku hampir lupa kalo dia habis dipukul Vanila. Lebih baik aku mampir dulu ke apotek.' Batin Galang menyeru pilu. Merutuki dirinya yang hampir lupa dengan keadaan Amara.
"Kita tunda dulu ke rumah sakitnya. Mungkin besok," jawab Galang setelahnya.
Amara menghela berat seraya kembali menunduk lesu. Jemarinya tak henti mengelus pipi yang sejak tadi berdenyut.
'Ini sangat sakit. Ya Tuhan ... seumur hidupku baru kali ini aku dipukul dan dituduh oleh seseorang.' Perempuan bertubuh mungil itu membatin nelangsa. Tenggorokannya tercekat menahan sesak, cairan bening menetes dari sudut matanya.
Mungkin tamparan Vanila tak sesakit dibandingkan dengan tuduhan yang diberikan istri atasannya itu. Ja-lang—sebutan yang baru pertama kali Amara dengar. Dan itu terasa menusuk jantungnya.
Apa dia terlihat seperti wanita murahan? Sehingga kata-kata kasar itu pantas disematkan kepadanya? Amara menggigit bibirnya kuat-kuat agar isakan tak lolos dari mulutnya. Sengaja dia membiarkan rambutnya tergerai menutupi separuh wajahnya dari perhatian Galang.
Sementara lelaki bertubuh gagah itu berinisiatif untuk mampir sebentar ke Apotek. Dia hendak membeli salep dan obat untuk Amara. Memindai lewat kaca, Galang lantas memelankan laju mobilnya ketika menemukan sebuah Apotek di kiri jalan. Dia pun membelokkan mobilnya dan berhenti di pelataran parkir Apotek.
Melepas sabuk pengaman seraya berkata, "Saya turun dulu sebentar. Kamu tunggu saja di sini."
Amara hanya mengangguk tanpa bersuara, masih di posisi yang sama—menunduk. Dia tak berminat untuk mengangkat kepalanya sebab takut jika Galang melihatnya dalam keadaan menangis.
Suami Vanila itu pun gegas keluar dari mobil dan menutup pintunya. Dia masuk ke Apotek lalu meminta salep pereda nyeri dan obat. Tak lupa air mineral Galang beli juga. Setelah beberapa saat petugas Apotek mengambil semua yang diminta Galang.
Di mobil, Amara terisak begitu Galang keluar. Dia tersedu-sedu. Rasa malu mendominasi perasaannya saat ini. Malu kepada dirinya sendiri dan juga kepada Galang. Amara menyesal kenapa tadi dia membiarkan atasannya itu membenahi rambutnya yang berantakan. Andai saja dia bisa lebih menjaga batasan, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Hinaan dan tamparan tak akan pernah dia terima.
Mendengar pintu mobil dibuka, Amara buru-buru menyeka air mata dengan punggung tangan. Dia berdeham guna meredam isakan.
"Ra, saya beli salep pereda nyeri untuk kamu. Sini saya lihat luka di pipimu." Galang berucap sembari mengeluarkan kotak persegi panjang berukuran kecil dari plastik, kemudian membuka kotak tersebut dan menunjukkan salep itu kepada Amara.
Amara melirik sekilas salep di tangan Galang. Dia menggeleng pelan lantas berkata,
"Enggak perlu, Pak. Pipi saya baik-baik aja."
Kening Galang mengernyit heran. Telinganya menangkap suara Amara yang serak seperti habis menangis. Meski saat ini dia tahu jika Amara pasti sedih lantaran kejadian tadi, namun nalurinya sebagai laki-laki ingin sekali meringankan kesedihan itu.
Lantas, dengan hati-hati dan meminta izin terlebih dahulu kepada Amara, Galang memberanikan diri menyingkap rambut panjang gadis itu ke telinga.
"Maaf, saya cuma mau lihat luka di pipi kamu," ucap Galang memberi penjelasan sebelum Amara berpikiran jelek kepadanya. "Kamu nangis?" Galang tertegun menatap wajah Amara dari samping.
Amara menggeleng pelan seraya melipat bibirnya. Jari-jarinya saling menaut di atas rok span pendek berwarna hitam itu.
Bungkamnya Amara membuat rasa bersalah Galang semakin besar. Matanya menatap intens wajah Amara yang memerah dan sedikit berantakan.
"Maaf." Tangannya kembali menyentuh dagu Amara, lalu mengangkatnya perlahan.
Amara berjengit kaget sebab Galang menyentuhnya tiba-tiba, pandangannya seketika bertemu dengan mata Galang yang bermanik hitam kelam.
Sudut hati Galang berdenyut kala menatap bola mata Amara yang basah dan agak memerah.
'Dia ... menangis? Ya Tuhan ... ini pasti sangat menyakitkan untuknya.' batin Galang yang belum memutus tatapannya.
"Maaf. Atas nama istri saya, saya minta maaf sama kamu," ujar Galang dengan suaranya yang khas. Suara yang tegas namun terkesan lembut di telinga Amara.
Kelopak mata Amara mengerjap pelan sambil berusaha menyadarkan diri agar tidak tenggelam dalam tatapan itu. Mata Galang yang sayu berhasil mendebarkan jantung gadis itu.
"Kenapa Bapak yang meminta maaf. Seharusnya sayalah yang berkata demikian. Saya yang salah. Saya enggak bisa menjaga batasan kita. Ma-maksudnya—" Amara memalingkan wajah, menghindari kontak langsung dengan Galang yang menautkan alisnya.
"Kamu enggak salah, Ra. Istri saya yang terlalu arogan karena saya terlalu memanjakannya selama ini," sergah Galang bermaksud menghibur Amara, dia menyesali sikapnya yang terlalu lemah kepada Vanila selama ini.
Hening
Sejenak keheningan membentang mereka. Galang masih memandang Amara yang enggan menatapnya.
Galang tidak bisa membiarkan semua ini berlama-lama. Karena itu dia memberanikan diri sekali lagi menuntun wajah Amara agar menatapnya.
"Pasti ini terlalu menyakitkan. Karena itu izinkan saya mengobati pipi kamu, Amara. Sini."
Gadis itu terhenyak, membiarkan Galang mengolesi salep ke pipinya yang sedikit membengkak.
"ssshh ...." Rintihan kecil meluncur dari bibir Amara begitu salep menyentuh permukaan kulitnya. Perih namun sedikit sejuk.
Mendengar Amara merintih, Galang melembutkan lagi sentuhan jarinya di pipi gadis itu.
"Perih, ya? Tahan sebentar. Saya juga akan mengolesi di bagian sini." Kali ini sudut bibir Amara yang diolesi salep oleh Galang.
Embusan napas keduanya beradu, saling menerpa kulit wajah masing-masing. Mata Amara enggan berkedip, pesona Galang terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Lelaki ini baik, lembut dan perhatian. Beruntung Vanila memiliki suami seperti Galang, namun sebaliknya bagi atasannya itu.
'Kenapa istrinya tega menghianati laki-laki sebaik Pak Galang? Apa yang kurang darinya? Apa jangan-jangan Pak Galang mandul? Jadi istrinya selingkuh.' Tanpa sadar Amara mulai menaruh perhatian terhadap Galang. Entah karena terbawa suasana atau karena terbawa perasaan.
"Sudah."
Suara tegas Galang memecah konsentrasi Amara yang sedari tadi mengagumi keindahan lelaki itu.
Amara bergerak kikuk seraya beringsut mundur.
"Te-terima kasih," ucapnya dengan gugup, dia melirik Galang yang sedang membuka tutup botol minum.
"Minumlah. Ini obat pereda nyeri juga. Semoga bengkak di pipimu bisa cepat sembuh," perintah Galang sembari menyodorkan botol minum dan obat ke depan Amara.
Terdiam sesaat, Amara lantas mengambil semua itu dari tangan Galang.
"Terima kasih." Dia segera meminumnya dengan canggung lantaran Galang terus menatapnya.
Setelah memastikan Amara meminum obatnya, Galang pun merubah posisinya.
"Kita lanjut jalan ke rumah orang tua saya," ucapnya seraya menginjak pedal gas perlahan, membawa mobilnya keluar dari pelataran parkir Apotek.
*
*
Jarak kantor ke rumah mami Sarah cukup jauh, Galang harus menempuh sekitar tiga puluh menit untuk itu. Karena melamun, Amara tidak sadar jika Galang sudah menghentikan mobilnya di depan rumah yang sangat mewah dan besar.
"Ayo turun, Ra."
"I-iya, Pak."
Keduanya melepas sabuk pengaman kemudian turun dari mobil. Amara merapikan penampilannya yang sedikit berantakan. Dia tidak mau ibu dari Galang melihat penampilannya yang acak-acakan. Terkesan akan sangat aneh dan kurang pantas. Sekretaris dari seorang Galang Aditya Pratama berpenampilan lusuh dan kusam.
Galang dan Amara berjalan bersisian menuju pintu utama rumah besar tersebut. Dalam hati, Amara berdecak kagum dengan keindahan interior dan desain rumah orang tua Galang.
'Mewah.' Satu kata yang menggambarkan rumah mami Sarah.
Seorang asisten rumah tangga yang bekerja di sana bergegas membukakan pintu untuk anak dari majikannya yang baru saja tiba. Membukanya lebar-lebar sembari berujar,
"Silakan masuk, Den Galang. Nyonya sudah menunggu di ruang tamu." Asisten rumah tangga bernama Bi Ratna tersebut menyambut ramah tuan mudanya. "Masuk Non." Bi Ratna tersenyum kepada Amara seraya mengangguk.
"Terima kasih, Bi," ucap Galang kepada bi Ratna lantas menoleh ke Amara yang ada di belakangnya. "Masuk, Ra."
"Iya, Pak."
Kaki Amara melangkah masuk ke rumah besar itu. Matanya berkeliling menyapu seluruh isi bangunan yang serba wah dan lengkap. Tepat di depan pintu masuk, tamu langsung disuguhkan dengan sebuah foto berukuran besar yang tergantung di dinding. Foto keluarga Pratama yang terhormat terpampang jelas di sana.
Langkah Amara terhenti tepat di depan lukisan tersebut. Dia mengulas senyum seraya menatap foto keluarga Pratama dengan kagum. Ada empat orang yang ada di foto itu. Papi Hendra dan mami Sarah, Galang sendiri dan seorang perempuan cantik.
"Dia ...? Kenapa aku seperti tidak asing dengan wajahnya? Aku kayak pernah liat dia. Tapi di mana, ya?" Amara bergumam sendiri sembari memandangi wajah perempuan yang berdiri di samping Galang.
Dia merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Amara berpikir keras untuk mengingatnya tetapi sayang dia tidak ingat.
"Kenapa, Ra?" tanya Galang yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
Amara menoleh lalu bertanya, "Di-dia siapa, Pak?" Menunjuk foto yang ada di depannya.
Raut wajah Galang sontak berubah sendu. Menatap bergantian Amara dan foto perempuan itu lantas menjawab,
"Dia Kak Maya. Kakak perempuan saya." Seulas senyum terbit dari bibir Galang saat menyebut nama itu.
"Kakak?" lirih Amara dengan pandangan kosong.
###
tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Ersa
mama kandung kasih itu Ra
2023-10-21
1
Mamah Kekey
kknya Galang d rsj ya thor
2023-10-17
0
Katherina Ajawaila
jangan2 maya kecelakaan y thour
2023-09-21
0