Part 19

Masih di dalam ruangan sidang yang sudah sepi. Pria satu ini masih tidak mau melepas seseorang yang begitu ia tunggu-tunggu kehadirannya. Saat gadis ini pergi dirinya tidak tau karena selalu terbelenggu dengan dunia luar.

Lebih tepatnya di usir secara halus, dengan alasan belajar membuat Justin harus tinggal di luar negeri semenjak ia berumur 7 tahun. Di tinggal oleh Chalondra sendiri dengan di temani oleh beberapa pelayan. Chalondra mampir setiap bulannya dan akan selalu menemaninya.

Namun setelah dirinya menginjak umur 20 tahun, mamanya selalu sibuk mengurus beberapa cabang perusahaan. Dan itu membuat Justin sadar bahwa mamanya akan semakin jauh darinya. Setiap liburan, Justin pulang namun selalu tidak menemukan mamanya.

Papanya bilang kalau mamanya baru saja keluar negeri. Mamanya sudah menunggunya namun, pekerjaan menjadi penghalang di antara mereka. Justin mengenal ibu tirinya Belen, dia awalnya menolak keras kehadiran wanita itu namun, papanya menjelaskan bahwa Belen adalah orang yang membantu Olivia sewaktu mencari kebenaran tentang ibu mertuanya dan masa lalu suaminya.

Justin perlahan menerima wanita itu dengan lapang dada. Ia selalu menanyakan pendapat Chalondra tentang Belen dan mama akan selalu berkata. ''Sayangi dia seperti kamu menyayangi mama, bagaimana pun dia sekarang adalah ibumu juga.'' Kata yang akan selalu ia dengar jika menanyakan perihal perasaan Chalondra.

Saudara tiri yang ia dapatkan saat berumur 2 tahun membuatnya bahagia. Aurora menyayangi dan Ivander selalu mengajaknya bermain. Mereka jarang bertemu saat Justin keluar negeri. Justin pernah bertanya, mengapa hanya dirinya yang harus keluar negeri? Tidakkah Ivander harus ikut? Mereka kan seumuran.

Namun, papanya memiliki banyak sekali jawaban yang membuat kepala pusing tidak mengerti, akhirnya ia tidak bertanya lagi. Vijendra menemani Justin semenjak pria itu lulus SMA di negara ini. Vijendra belajar bersama Justin untuk mengelola perusahaan di Eropa.

''Lepas kak....'' Ujar Nadine lesu hanya kakaknya saja yang bisa membuatnya tidak berkutik. Mereka bagikan saudara kandung, ikatan keduanya sama sekali tak tertandingi.

''Dari mana saja? Apa kau sudah selesai mengasingkan diri? Kenapa tidak mengasingkan diri bersama kakak saja?'' Tanya Justin saat sudah melerai pelukannya dan menatap wajah adiknya yang masih tetap cantik dan lucu seperti dulu.

''Kakak, aku ini mengasingkan diri bukan berpiknik. Tentu hanya aku seorang yang akan pergi, tidak akan membawamu. Kau itu kan merepotkan!'' Celetuk Nadine dengan sengaja, suasana yang selalu ingin ia rasakan kembali saat Justin pergi.

Nadine membenarkan ucapan kakaknya yang mengatakan kalau ia mengasingkan diri, padahal dirinya itu di penjara dengan belenggu yang masih membekas sampai sekarang.

Justin menatap mata adiknya, menelisik kebenaran didalamnya. ''Apa ada yang menyakiti mu Nadine? Kenapa banyak guratan kesedihan dalam matamu?'' Tanya Justin, jantung Nadine seakan mencelos dari tempatnya.

Hanya dengan menatap matanya saja Justin bisa membuat Nadine linglung. Tak ingin menjelaskan semuanya karena itu pasti akan sangat menyakiti pria di hadapannya ini. ''Tidak kak, kau ini! Mulai deh! Udah kayak peramal saja!" Kesal Nadine berusaha menghindar.

"Lihat! Lihat! Bola matamu melirik kesana kemari, Kau tidak bisa berbohong dihadapan ku." Cecar Justin, memang Nadine akan selalu gugup jika berbohong dengan pria lembut seperti kakaknya.

"Apa kau masih berkabung dalam kematian om dan tante? Papa bilang kau menangis kencang dan memilih mengasingkan diri karena kejadian itu. Papa juga bilang bahwa kau ingin selamanya meninggalkan kota ini. Tapi, melihat kau baik-baik saja dan kembali membuatku bahagia. Jangan biarkan kesedihan itu terus membelenggu dirimu ya?" Ucap Justin sebelum dirinya kembali memeluk Nadine.

''Seharusnya aku yang berkata begitu padamu kak, Jangan biarkan pria itu membelenggu dirimu dalam dunia yang ia buat. Kau bodoh kak! Aku ingin sekali meneriakimu bodoh!'' Batin Nadine yang hanya bisa menghela nafas berat.

Bebannya kini seakan bertambah saat harus berbohong dan menipu kakaknya.

Anindira, Wiliam dan Laurinda masih bingung dengan hubungan mereka. Namun berbeda dengan Vijendra yang mengerti bahwa adik yang tuan mudanya sebutkan adalah sepupunya. Justin hanya mengetahui bahwa kedua orang tua Nadine meninggal karena kecelakaan. Tanpa ia ketahui bahwa, di balik kecelakaan itu ada campur tangan papanya yang kejam.

Bersikap seperti kucing saat di siang hari namun menjadi harimau saat malam.

''Siapa kau sebenarnya Nadine?'' Mendengar pertanyaan itu membuat gadis itu memutar bola matanya.

''Kau masih belum menyerah ya? Baiklah, perkenalkan. Pengacara Nadine Xavier Richards.'' Ujar Nadine setelah pelukan kakaknya terlepas.

''Kau adalah putri dari pria yang_''

''Ya! Aku adalah putri mereka.'' Mengakui kedua orang tuanya membuat Nadine merasa hatinya berdesir. Bahkan ada beban yang terangkat hingga membuatnya merasa lebih nyaman.

Nadine memotong ucapan Anindira sebelum Justin mendengar bahwa orang tuanya mendapatkan cap sebagai penjahat.

Dering ponsel Justin membuatnya terpaksa meninggalkan adiknya. Aurora memintanya untuk segera pulang untuk makan malam bersama. ''Ayo ikut kakak pulang.'' Ajak Justin memegang tangan Nadine dengan hangat.

''Kakak, aku memilih tinggal sendiri seperti yang kakak lakukan di luar negeri.'' Sahut Nadine mengelak saat akan di ajak pulang. Tidak ingin memaksa adiknya untuk mengenang masa lalu, Justin mengalah dan pulang.

''Terima kasih Xavier, siapapun dirimu aku tidak peduli. Yang terpenting terima kasih untuk hari ini dan kemarin.'' Ujar Laurinda yang tadi di samping Vijendra kini berdiri di depan Xavier.

''Kemarin? Apa yang terjadi?'' Tanya Anindira yang merasa seperti kehilangan informasi penting. Vijendra yang terlihat cuek sebenarnya sangat senang saat adiknya mendapatkan sebuah keadilan.

''Intinya Xavier yang menyelamatkan ku.'' Ujar Laurinda senang, Nadine hanya menunjukan wajah biasanya.

''Sudah ku bilang bukan! Gadis ini memang bom waktu! Kau bilang dia jelmaan iblis.....Akhh!'' Pekik William saat kakinya di injak dan di tekan secara sengaja oleh Anindira.

''Mulutmu itu bicara sudah seperti tetangga!'' Sungut Anindira, Nadine tidak begitu menggubris. Dirinya tau bahwa kelakuannya satu bulan ini keterlaluan. Namun, gengsinya besar untuk mengakui perbuatannya.

Dirinya diam, melihat Anindira yang berdebat dengan William lalu Laurinda yang memeluk kakaknya erat. Tidak ingin melibatkan mereka dalam peperangan yang akan Nadine lakukan. Banyak akan ada air mata yang tumpah jika dirinya melibatkan mereka.

Nadine masih bersikap acuh karena tidak ingin melukai seseorang. Melihat betapa kejamnya Aurora membuat Nadine ingin berperang sendirian.

Selama sebulan ini Nadine tak acuh karena menantikan momen ini. Dimana dirinya akan membela kasus Laurinda sebagai kasus pertamanya sebagai pengacara. Rencana Bi Nani berhasil saat Aurora sibuk dengan kasus adiknya. Wanita paruh baya itu membuat Nadine menjalani beberapa tes dan belajar hingga dalam sebulan membuatnya membawa gelar pengacara.

Tak di pungkiri bahwa itu semua karena kecerdasan otak nadine yang mengikuti jejak papanya.

Nadine tak menghiraukan mereka dan berjalan keluar tanpa kata. Dirinya ingin kembali pulang setelah dan istirahat setelah beberapa hari tak bisa tertidur nyenyak. Gelar yang ia dapatkan murni dan legal karena kepala kampus sendiri yang mengapresiasi Nadine tanpa sepengetahuan Aurora dan Brian.

Bersambung.......

Epilog

Satu bulan sebelum sidang, Laurinda berdiri di pinggir atap dengan mata yang berair. Perlahan kaki kanannya terangkat dan hendak meluncurkan dirinya ke bawah sana. Dengan kegelapan maka dirinya bisa merasa sedikit berani karena tidak mengetahui tinggi gedung itu.

''Setidaknya jika ingin bunuh diri maka pergilah ke gedung pencakar langit. Gedung ini hanya bertingkat tiga jadi sulit untuk mati.'' Ucap seseorang, Laurinda mengurungkan niatnya dan hendak berbalik. Ingin tau siapa orang itu.

''Astaga! Xavier!!'' Pekik Laurinda kala terkejut dengan Nadine yang sudah berdiri di sebelahnya dengan tatapan tertuju pada bawah sana.

Nadine mendongak menatap Laurinda setelah menatap ke bawah sana. ''Kenapa?! Kenapa tidak meloncat? Palingan nanti di bawah sana kau hanya akan luka ringan dan patah tulang.'' Jelas santai Nadine lalu bersandar pada pembatas atap.

''Setidaknya aku akan di rumah sakit dan koma bukan?'' Kesal Laurinda yang kini mengusap air matanya kasar. Bukannya memberikan sebuah ucapan agar tidak bunuh diri, Nadine malah mendorong Laurinda untuk bunuh diri.

''Iya kalau kau koma! Jika patah tulang bagaimana? Yang kudengar patah tulang lebih sakit dari mati!'' Ucap Nadine menakuti Laurinda.

Wajah gadis itu terlihat ragu, keinginannya untuk mati semakin menipis. Terlebih lagi membayangkan apa yang Nadine ucapkan. ''Dan yang aku dengar juga, malaikat maut akan membakar seseorang yang telah menyia-nyiakan hidupnya.''

Bruk!

Nadine terperangah saat Laurinda meloncat ke sebelahnya dan berdiri di samping Nadine. ''Aku tidak mau! Aku tidak mau mati!!'' Ujar Laurinda lalu pergi dari sana dengan air mata ketakutan saat ucapan Nadine selalu dengung di telinganya.

Nadine menatap puas, lalu berjalan turun setelah beberapa menit mengotak-atik ponselnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!