Part 15

Di luar mension, tepatnya di toilet umum. Anindira yang di seret dengan kasar kini menepis tangan Nadine. Anindira tak habis pikir, kenapa ada gadis seperti Nadine? Yang hanya bisa menonton tanpa mau membantu.

Apa yang membuatnya berubah? Setelah melihat semuanya di ruangan itu, Nadine menjadi tidak manusiawi. ''Apa kau gila! Bagaimana kau bisa diam saja saat melihat Laurinda di lecehkan seperti itu!! Aku tidak habis pikir dengan mu, apa kau yakin kau manusia! Kau iblis Nadine! Kau iblis!!" Ujar Anindira dengan menunjuk pada wajah Nadine yang terlihat bergeming.

''Benar, aku iblis yang di ciptakan oleh iblis seperti mereka.'' Batin Nadine.

''Itu adalah akibat dari keputusan Laurinda, dia pantas mendapatkannya.'' Ujar Nadine tanpa adanya keraguan dalam matanya. ''Aku sungguh marah padamu! Aku akan menyusul Laurinda jika kau tidak ingin membantunya.'' Ujar Anindira, Nadine berjalan lebih dulu ke luar toilet lalu menaiki motornya dan mengambil helm.

''Jika kau pikir bisa masuk setelah keluar, maka pergilah!'' Ujar Nadine sembari memakai helmnya. Bahkan gadis itu pergi saat melihat Anindira terdiam Karena ucapannya. Tak ada yang bisa menghentikannya kali ini, entah dendam atau keadilan yang akan ia lakukan. Namun, semuanya akan sangat merugikan Brian dan yang lain.

***

Sore harinya, Nadine baru saja hendak masuk kedalam gedung. Ia berpapasan dengan Laurinda yang sedang di rangkul oleh seorang pria. Tanpa menyapa, gadis itu tampak acuh dan berjalan santai.

''Xavier...'' Panggil Laurinda menyapa lebih dulu, meski dirinya di penuhi lebam namun Laurinda ingin memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja. Nadine yang di panggil menghentikan langkahnya.

Gadis itu menatap Laurinda dan laki-laki di sebelahnya. ''Kau datang dari mana? Kau terlihat rapi.'' Ujar Laurinda tersenyum, gadis itu terlihat berjalan mendekat. ''Kau berganti pria lagi?'' Ujar Nadine tanpa adanya beban.

Laurinda terlihat diam. ''Ah, dia? Dia kakakku, Vijendra. Kakak dia Xavier...'' Ucap Laurinda memperkenalkan mereka berdua yang terlihat memiliki kepribadian yang sama. ''Jangan ajukan gugatan! Itu hanya akan sia-sia!'' Peringat Nadine, Laurinda mengerti maksud yang Nadine ucapkan.

''Kenapa kau seperti ini Xavier?'' Tanya Laurinda lembut, bahkan gadis itu terlihat akan menangis. ''Jangan bicara dengan dia Laurinda! Itu hanya akan membuat mu tersesat! Dia adalah iblis!'' Ujar Anindira yang datang lalu merangkul Laurinda menggantikan kakaknya yang masih saja diam.

Plak...

Sebuah berkas melayang ke arah kaki Anindira dari Nadine. ''Apa ini?'' Tanya Anindira, Nadine menunjuk berkas itu agar diambil oleh Anindira sendiri. Tangan gadis itu meraih berkas yang tergeletak di bawah kakinya. Mulai ia buka secara perlahan dan ia baca.

Matanya membola, karena terkejut. Anindira menatap tajam pada si pemberi berkas itu. ''Apa maksud mu ini!! Kau menghancurkan semuanya!!'' Teriak Anindira marah, bahkan matanya memerah dan tergenang air mata kemarahan.

''Ada apa Anin? Apa yang Xavier hancurkan?'' Tanya Laurinda, Anindira menghampiri Nadine. ''Kau, belum pantas untuk kasus ini!'' Ujar Nadine sedikit menekankan setiap katanya. ''Kau gila? Hanya menunggu satu langkah lagi maka kasus itu akan terungkap! Kau merusak segalanya, Xavier!!'' Ujar Anindira, dan menunjuk wajah Nadine dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.

''Memang! Aku merusak segalanya! Kau pikir aku membantumu dengan memberikan penjelasan itu? Dan kau Laurinda, kau pikir aku menolongku malam itu karena aku peduli? Tidak! Aku sama sekali tidak peduli! Jadi....Jauhkan diri kalian dariku jika tidak ingin hancur seperti kasus Anindira.'' Ucap Nadine lalu berjalan naik ke rumahnya.

Anindira mengacak rambutnya yang di gerai hingga terlihat berantakan. Kasusnya telah di pindahkan ke kantor lain dan itu pasti putusan dari pusat. Karena kepala tim sama sekali tidak menghubunginya sama sekali. Bahkan saat ini untuk menghubungi kepala timnya sangat susah.

''Kakak!!'' Teriakan Zahra terdengar dan itu membuat Anindira yang frustasi kini berlari di iringi oleh Laurinda dan Vijendra. Saat mereka bertiga sampai dan hendak naik, Zahra terlihat meringis di lantai. Di tangga atas, Nadine terlihat menatap risih pada Zahra.

''Xavier!!'' Teriak Laurinda dan Anindira bersamaan. Luka di lengan dan lutut Zahra pasti karena jatuh dari atas. Mereka membantu Zahra berdiri, gadis itu mulai mengeluarkan cairan bening dari matanya.

''Kakak....Apa salah Zahra.....''Ujar Zahra, Laurinda mendekap gadis polos itu. Nadine melipat tangannya di dada lalu menatap angkuh. ''Kau terlalu menganggu!'' Ujarnya tanpa merubah ekspresi datarnya.

Anindira mengacak kembali rambutnya, sungguh Nadine hari ini begitu menyebalkan. ''Menganggu? Ada apa denganmu Xavier! Ini tidak seperti dirimu!'' Tanya Anindira kini menatap Nadine menantang.

''Aku memang seperti ini, selalu seperti ini. Ini lah aku, jadi pergilah menjauh jika tidak menyukaiku.'' Sahut Nadine lalu berjalan kembali menuju rumahnya. ''Zahra...Kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit?'' Tanya Laurinda sembari memutar tubuh Zahra.

''Tidak, hanya lengan dan lutut saja yang lecet dikit.'' Ujar Zahra menghapus air matanya yang tadi sempat keluar. ''Kau yakin? Kenapa Xavier hingga mendorongmu? Apa yang kau lakukan?'' Tanya Anindira yang mulai mencoba berfikir logis.

''Aku hanya mengikutinya seperti biasa, tapi kakak tiba-tiba saja berbalik dan mendorong ku. Mungkin Aku yang terlalu berlebihan karena mengikutinya.'' Ujar Zahra, gadis itu menunduk lalu dengan sekejap dia menatap kedua orang yang khawatir tentangnya.

''Aku baik-baik saja, aku mau kembali kerumah. Aku harus kembali belajar untuk ujian Minggu depan.'' Ujar Zahra semangat, Anindira mengusap pelan kepala zahra. ''Belajar yang rajin ya? Dan jadi dokter yang baik.'' Ujar Laurinda menyemangati, Zahra mengangguk.

Impian gadis itu ingin menjadi dokter, dengan alasan untuk membantu orang. Sesederhana itu alasan di balik impiannya. Tyaga sebagai kakak terus mendukung apapun keputusan adik kesayangannya. ''Iya, aku akan jadi dokter yang baik. Kalau begitu aku ke atas dulu ya kak, sampai jumpa...'' Ujar Zahra lalu berlari kecil naik ke atas.

''Kau juga harus istirahat dik, jangan ikut campur urusan orang.'' Ucap Vijendra yang kini angkat suara dan merangkul adiknya untuk di ajak ke dalam rumah. Anindira masih uring-uringan tentang kasus yang ia hadapi ini.

''Kenapa mudah sekali memindahkan kasus ini ke kantor lain? Siapa sebenarnya Xavier? Kenapa teka-teki ini selalu membuatku bingung!'' Kesal Anindira lalu berjalan ke luar gedung untuk mengambil mobilnya. Pasalnya ia harus bertemu kepala timnya secara langsung untuk menanyakan semuanya.

Malam harinya, Nadine sedang duduk di depan laptopnya dan tangan yang sibuk mengetik. ''Ayo makan dulu nona muda....'' Ujar bi Nani yang kini sudah kembali dan memasak untuknya.

''Aku akan makan nanti bi, taruh di atas meja saja.'' Sahut Nadine tanpa menoleh, bi Nani tersenyum. Wanita paruh baya itu mengambil makanan untuk Nadine dan berjalan ke arahnya. ''Aa...'' Ujar bi Nani menyodorkan sendok yang sudah berisi nasi dan lauknya.

''Tidak bi, aku bisa memakannya sendiri nanti.'' Ujar Nadine sembari melihat makanan dan beralih menatap mata Bi Nani. ''Nona....Bukankah bibi sudah biasa menyuapi nona dulu? Sekarang tidak ada bedanya.'' Ucap Bi nani, Nadine memasukan makanan itu ke mulutnya saat melihat tangan Bi Nani bergetar karena terlalu lama.

Nadine sedikit menyunggingkan senyumnya yang tadi sempat sirna. Ada desiran di dalam hatinya saat mendapat kan perhatian khusus dari Bi Nani setelah sekian lama. Wanita itu menyuapi Nadine yang sibuk masih mencari beberapa informasi.

Bi Nani tidak menanyakan hal itu, wanita itu sibuk menyuapi Nadine lalu mengelus kepalanya saat nasi di piring itu kandas tak tersisa. ''Bi...Aku sudah mengetahui siapa pembunuh mama dan papa....Aku melihat sendiri saat mereka_''

Grepp...

Wanita paruh baya itu memeluk erat nona mudanya. Ini, ini adalah hal yang Nadine inginkan saat dirinya tau tentang semuanya. Nadine sangat butuh kekuatan, di saat kebenaran sudah di depan mata maka yang ia butuhkan adalah kekuatan untuk menghadapinya.

Tanpa bicara BI Nani mengelus punggung Nadine dan memeluknya erat. Dari pelukan itu membuat Nadine merasa lebih tegar dan siap menghadapi semuanya.

Bersambung......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!