Part 9

Di restoran Bu Ida, Anindira sedang duduk bersama dengan William. Gadis itu sudah mulai melihat detail laporan dan beberapa foto mayat pertama hingga yang ke 8. William sengaja menyikut pundak Anindira untuk menggodanya.

''Kau senang sekarang? Pak kepala sudah mempertaruhkan jabatannya untuk membantumu.'' Sindir William yang juga senang melihat wajah gadis yang ia suka tersenyum.

''Ini adalah janjinya, jadi bukan kesalahan ku.'' Sahut Anindira dengan wajah senang.

Flashback on

''Arghh....'' Teriak Anindira frustasi lalu menendang tong sampah yang ada di depan kantor. Rasanya ia ingin sekali mencakar wajah kepala timnya. Di kantor ini, ada 5 tim yang terdiri dari 2 rekan dan yang lain sebagai pembantu 5 tim tersebut.

Hanya Anindira wanita satu-satunya di kantor ini. Kepala tim tadi selalu ke kantor pusat untuk melaporkan setiap kasus dan hanya bisa mematuhi keputusan dari kantor pusat. Kantor polisi tempat Anindira bekerja dekat dengan lingkungan gadung yang Anindira tempati.

''Jangan terlalu sering marah, lihat kerutan di wajahmu sudah mulai terlihat.'' Ledek William berharap gadis cantik itu berhenti marah-marah. ''Diam atau kau yang akan aku tendang.'' Ancam Anindira dengan mata bagaikan kilatan petir.

''Astaga, gadis cantik seperti mu memiliki tempramen yang buruk ya...'' Ledek William lagi, tapi Anindira tak menghiraukannya. William merangkul Anindira dan menyuruhnya duduk. Dengan perasaan kesal Anindira hanya menurut.

''Minum nih, siapa tau otak mu yang terbakar itu bisa padam setelah meminumnya.'' William memberikan air dingin pada Anindira dan gadis itu menyambarnya lalu meneguknya hingga abis.

''Ada apa kemari?'' Tanya Anindira yang bisa menebak William menghampirinya. Biasanya pria itu akan datang di saat amarahnya sudah mereda. Kini ia datang di saat amarahnya masih menyala, maka ada sesuatu yang ingin pria itu sampaikan. ''Kau di panggil ke ruangan pak kepala. Katanya ada yang ingin ia sampaikan.'' Ujar William memberitahu.

Anindira awalnya menolak, namun William bersikeras dan menyeretnya menuju ruangan kepala tim. Di dalam ruangan, suasana seakan menegangkan. Wajah cantik Anindira kini tersirat sebuah amarah dan matanya bagikan petir yang siap menyambar.

''Ekhemm....Jadi apa kau sudah memutuskan untuk merelakan kasus itu?'' Tanya pak kepala dengan rasa was-was. Bagaimana jika Anindira mengamuk di ruangannya dan melempar semua barang padatnya? Pikiran buruk itu membuat pak kepala tidak aman.

Gadis yang di tanya hanya diam seakan sudah bisa menjawab dari tatapan dan gesture tubuhnya. ''Aa...Berarti kau masih tetap bersikukuh bahwa kau akan melanjutkan investigasi ini?" Tanya Pak kepala, William yang disana hanya menyimak akhir pembicaraan tanpa mau ikut campur di dalamnya.

"Menurut bapak? Apa bapak pikir sikap saya tadi hanya pura-pura?'' Ketus Anindira dengan wajah yang masih menampilkan ekspresi yang sama. ''Hah....Sangat sulit memang untuk membujuk mu jika kau memang sudah mencurigai kasus ini. Apa kau yakin ada sesuatu di dalam kematian orang-orang itu? Bukan bunuh diri?'' Tanya Pak kepala lagi dengan meyakinkan.

Anindira yang awalnya bersikap kaku kini menghela nafas panjang. Lalu menatap mata pak kepala dengan yakin. ''Saya yakin pak, apa bapak tidak merasakan ada yang aneh? Kenapa harus di tutup? Bunuh diri? Apa mereka tidak punya pilihan lain selain bunuh diri? Bahkan di saat mereka punya banyak uang? Bunuh diri dan merelakan uang mereka untuk di donasikan itu sangat aneh.'' Ucap Anindira mengutarakan hal yang ia curigai.

Kepala timnya ini memang dekat dengannya karena ia adalah petugas yang paling teliti dan pantang menyerah. ''Memang saya sedikit curiga. Baiklah-baiklah, saya akan memberikan mu izin untuk melanjutkannya. Tapi jangan sampai rekan yang lain tau. Saya pertaruhkan pekerjaan saya pada keberhasilan mu, jika sampai kecurigaan mu salah. Maka saya yang akan menanggungnya.'' Ujar Pak kepala menyerah.

Dirinya juga sedikit curiga dengan kematian ini, sekarang ia mengambil keputusan untuk gadis yang membawa harum timnya. Sekarang ia yang harus membalas kebaikan gadis itu dan mempertaruhkan jabatannya.

''Sungguh? Bapak tidak berbohong?'' Tanya Anindira antusias, pak kepala tersenyum. ''Iya, tapi harus kau kejar hingga ke ujung dunia sekalipun.'' Ucap pak kepala menyemangati. Anindira tersenyum, memang kepala timnya yang terbaik. Meski kadang sering marah-marah.

Flashback off

''Kau harus membuktikan kebenaran yang tersembunyi di balik kematian 8 orang ini. Jangan sampai rencana ini menyebar dan kantor pusat tau tentang kita yang menentang keputusan.'' Ujar William memberitahu, Anindira mengangguk. Gadis itu sibuk dengan laporan yang harus ia pelajari dan banyak foto-foto juga hasil otopsi.

Di restoran saat ini sudah tutup karena Bu Ida harus mencari putranya yang keluyuran itu. Bukannya sekolah malah bermain hingga lupa waktu. Di saat seperti itu maka restoran tutup total, Anindira menggunakan restoran sebagai tempat ia mendiskusikan kasus ini agar tidak ada yang mendengar. Mereka berdua terdiam karena mulai mempelajari kasus.

''Ini pasti di bunuh...'' Celetuk seseorang yang membuat William dan Anindira mengusap dadanya pelan, karena terkejut. ''Ada apa? Aku benar bukan?'' Ucap Nadine lagi dengan santainya. Bahkan gadis itu yang tadinya berada di belakang Anindira kini berjalan santai mengambil sebuah minuman di meja dapur.

Mata Anindira terus memperhatikan gerak-gerik gadis itu hingga Nadine duduk di depan mereka berdua. ''Bagaimana analisis mu sama dengan Anindira? Dan siapa kau?'' Tanya William, Nadine terlihat meneguk air itu hingga tandas.

''Itu mudah, lihat saja bibir biru di setiap foto mayat ini.'' Ujar Nadine enteng, matanya sibuk mencari pemilik restoran berharap ia bisa makan disini. ''Bisa saja itu karena lama berada di dalam air atau bisa saja karena mereka merokok saat masih hidup.'' Sanggah William yang masih penasaran. Pasalnya Anandita belum mengizinkannya untuk melihat hasil otopsi ke delapan mayat itu.

''Merokok? Apa wanita ini juga merokok? Baiklah anggap saja mungkin dugaan mu itu benar. Tapi kau lihat bapak ini? Di ujung bibirnya sedikit sobek, dia di paksa untuk meminum racun itu melalu kain yang di gunakan untuk membekapnya.'' Ucap Nadine serius lalu menunjuk foto mayat yang ditemukan tadi.

Analisis kami sama. Batin Anindira.

''Bisa saja itu terbentur bukan?'' Ucap William ingin menolak asumsi Nadine. Anindira yang tadi sibuk memperhatikan Nadine kini melirik kesal ke arah rekannya. ''Kau pikir jika terbentur bisa menghasilkan luka seperti itu?'' Kesal Anindira, William hanya bisa tersenyum.

''Kau juga menyetujui asumsi ku bukan? Lihat hanya pria ini yang sudut mulutnya sedikit sobek. Itu mungkin karena pria ini sudah tau bahwa ia dipaksa untuk mati.'' Sahut Nadine, Kini lagi Nadine melewati kata kamusnya yang tidak suka ikut campur.

''Disini tidak di katakan bahwa mereka meminum racun. Mereka di perkirakan meninggal karena terlalu lama di dalam air. Semua sistem tubuh mereka mati rasa hingga membuat mereka meninggal.'' Ujar Anindira sembari membaca hasil otopsi.

''Yakin? Coba lebih teliti lagi. Mungkin ada yang aneh dalam tubuh mereka. Untuk apa bunuh diri di tempat yang sama? Apa tidak ada tempat lain?'' Ucap Nadine ketus, Anindira sibuk membaca lebih banyak. ''Contoh tempat lain?'' Celetuk William.

''Seperti masuk kedalam api, atau gantung diri dan masih banyak cara mati lainnya. Sangat monoton sekali jika harus meninggal di tempat yang sama. Seperti tidak berkesan sekali.'' Ucap santai Nadine seperti tanpa beban. Anindira hanya memutar bola matanya malas. ''Disini yang aneh adalah saraf hatinya yang mati lebih dulu.'' Ucap Anindira.

''Itu, itu dia. Berarti pembunuh itu menggunakan cara biasa untuk membunuh. Sungguh tidak berfariasi.'' Anindira semakin bingung.

''Maksud ucapanmu?'' Tanya Anindira, Nadine yang tadinya bersandar kini ia duduk dan menunjuk dada pria itu. ''Jika saraf hati yang lebih dulu mati, apa itu tidak aneh? Seharusnya jantung yang mati lebih dulu. Mereka membuat seolah-olah semua orang ini mati karena bunuh diri. Mereka menggunakan racikan racun sendiri untuk mengelabui banyak orang. Racun itu memang dikhususkan, jika seandainya di otopsi maka yang terlihat hanya penyakit biasa atau bunuh diri seperti ini.'' Jelas Nadine panjang lebar.

''Kau tau banyak hal tentang pembunuhan dan racun. Siapa kau?'' Tanya Anindira semakin curiga

''Apa kau mafia?''

Bersambung......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!