Part 5

Di dalam rumah, lebih tepatnya di ruang tengah. Nadine duduk di hadapan bi Nani. Di Suasana lenggang, bi Nani memulai pembicaraan.

''Nona, ini uang untuk keperluan nona.'' Ujar bi Nani yang sontak membuat Nadine menatap BI Nani.

''Untuk apa bi? Aku tidak bisa menerima semua ini. Cukup aku membebani mu karena tinggal disini.'' Tolak Nadine, gadis itu juga punya sopan santun meski terkadang menyebalkan.

''Tidak nona, ini bukan bibi yang memberikan. Ini adalah uang nyonya Olivia dan tuan Christian. Ini tabungan yang kiranya cukup untuk kehidupan nona saat ini.'' Jelas bi Nani agar Nadine tidak salah paham.

Mendengar nama kedua orang itu, membuat Nadine kembali berwajah datar. ''Jadi, wanita itu sudah tau bahwa aku akan datang. Kenapa tidak mati di hadapanku saja? Kenapa harus mati saat aku sudah kembali kesini.'' Kesal Nadine tanpa rasa bersalah.

Bi Nani hanya bisa menghela nafas panjang, memang Nadine harus mencari tahu sendiri kebenaran di balik semuanya. Jika terus berlanjut maka, sudah bisa di pastikan nona mudanya akan membawa dendam itu tanpa tau mana benar dan salah.

''Nona, ini adalah pulau yang tuan Christian berikan pada nyonya Olivia di saat mereka masih hidup. Nyonya Olivia memberikan akses masuk ke pulau itu pada nona dan juga sertifikat nya. Tidak ada yang tau bahwa pulau itu milik nyonya Olivia.'' Bi nani mengeluarkan beberapa berkas dan sebuah kartu.

''Untuk tabungan dan kartu ini, harus nona cairkan saat sudah membukanya. Nyonya Olivia sudah merencanakan bahwa nona tidak akan di berikan apapun oleh tuan Brian. Jadi, tabungan dan kartu ini hanya bisa nona buka sekali setelah itu jika nona tidak mencairkan semuanya maka akan di bekukan oleh tuan Brian.'' Jelas bi Nani lagi, lalu memberikan kode aksesnya.

''Uang ini cukup untuk kebutuhan nona dan juga nona bisa bersekolah disini. Bibi akan membuat nona bisa sekolah dengan waktu singkat tanpa ketahuan dari tuan Brian.'' Ujar Bi Nani yakin, Nadine hanya diam.

''Kenapa bibi bisa tau semua ini? Kapan wanita itu mengatakannya pada bibi?'' Tanya Nadine mengintimidasi. BI Nani tersenyum kecut. ''Andai bibi bisa memilih, maka bibi tidak ingin tau semua ini. Bibi tidak ingin melihat nyonya meregang nyawa di depan bibi. Mata bibi menyaksikan semuanya, tapi mulut bibi terkunci hanya untuk menunggu nona kembali.''

Mendengar ucapan bi Nani, Nadine terdiam. Meregang nyawa? Nadine bisa membayangkan bagaimana perasaan bibi saat itu. ''Jelaskan semuanya bi. Siapa yang membuat wanita itu meregang nyawa? Aku sungguh bingung dengan teka-teki ini.'' Ujar Nadine frustasi, semenjak kembali dari makam. Dirinya selalu di buat terkejut dengan berbagai hal.

''Nanti, di waktu yang tepat. Setelah nona mengetahui siapa penyebab dan bagaimana kejadiannya. Maka bibi akan menjelaskan apa yang terjadi pada nyonya hingga meregang nyawa.'' Ujar bi Nani, wajah sendunya semakin terlihat kala mengingat kejadian itu.

''Aku akan mencari tahunya. Bibi bisa istirahat, aku juga akan istirahat. Banyak yang harus ku cari jawabannya.'' Ujar Nadine yang berdiri lalu menuju kamar milik putri BI Nani.

***

''*Bi, aku ingin melakukan ini. Jangan halangi aku.'' Ujar Seorang gadis dengan rambut yang tergerai, senyumnya mengembang kala bisa memegang pisau.

''Nona, anda harus memegangnya dengan benar. Jangan sampai melukai nona sendiri atau sampai di ketahui oleh nyonya.'' Peringat sang pelayan dengan waspada. Gadis yang sibuk dengan melayangkan pisau ke atas semakin membuat pelayan itu takut.

''Nona, kembalikan. Nyonya datang...'' Ujar pelayan itu memberi tahu. Gadis itu masih tetap keras kepala dan tidak mau menurut. Pelayan yang panik segera menarik tangan gadis itu agar memberikan pisaunya.

''Jangan pegang aku! Lepas! Aku belum puas memainkannya!" Teriak gadis itu dengan sengaja menarik pisau yang ia pegang. Berharap tidak di ambil mainan kesukaannya.

"Jangan nona, nyonya akan marah nanti. Beliau sudah kesini." Karena kesal tanpa sengaja gadis itu melukai pelayan itu.

Srett...

"Nadine!!" Teriak seorang wanita dari arah belakang. Pelayan itu terlihat meringis memegangi pipinya. Pisau itu terjatuh seketika. Nadine merasa bersalah dan menunduk meminta maaf.

"Maaf bi, Nadine salah. Maafkan Nadine...." Sendu Nadine dengan wajah bersalah. "Tidak apa nona, ini tidak seberapa." Sahut pelayan itu berusaha terlihat baik-baik saja.

"Nadine! Ikut mama sekarang!!" Ujar wanita itu menyeret putrinya masuk kedalam kamar. Karena rasa bersalah, Nadine menangis di dalam kamarnya. Olivia sengaja mengunci kamarnya dan menyusul pelayan itu.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Nadine yang sudah berbaikan dengan pelayan itu kini tengah diam mematung saat mendengarkan ucapan kedua orang tuanya. "Kita lempar Nadine ke pedalaman yang ada di luar negeri saja." Ujar Olivia serius, Christian mengangguk menyetujui.

"Enggak! Nadine gak mau!" Teriak Nadine dengan air mata. Olivia dengan segera menyeret Nadine dari sana meski gadis itu terus memberontak. "Siapkan mobil." Titah Christian.

"Enggak! Nadine gak mau ma! Mama! papa! Kalian jahat! Nadine benci kalian!! Akhhh...! Ma! Buka ma! Nadine gak mau!! Nadine gak mau ma!!" Teriak nadine kala dirinya di kunci oleh Olivia di dalam mobil.

Di depan semua penjaga, Nadine di seret secara tidak hormat. Tanpa ia ketahui, mata Christian dan Olivia sedang menahan panasnya air mata yang hendak jatuh.

"Bi! Bi Nani! Apa kesalahan ku! Apa yang aku perbuat hingga di hukum seperti ini!! Apa kesalahan ku bi! Kenapa mama dan papa ingin melempar ku jauh!! Hiks....." Tangis Nadine pecah kala melihat pelayang kesayangannya hanya bisa menunduk menahan air mata.

"Ma! Pa! Apa yang Nadine lakukan!? Apa yang salah dengan Nadine!? Hiks.....Apa salah Nadine ma!!" Teriak Nadine merasa tidak terima. Olivia memberikan tiket, paspor dan beberapa lembar uang pada sopir itu.

"Lempar langsung dia ke negara itu." Ujar Olivia tanpa mau melihat putrinya. Christian juga memilih masuk kedalam dan tidak mau melihat kepergian putrinya. "Ma! Aku benci kamu! Aku membenci mu! Akhh...!!" Nadine tak sadarkan diri kala seseorang dari arah samping membiusnya dengan saput tangan*.

***

"Aaa....! Hah....Hah...'' Nadine terbangun dengan keringat yang dingin dan nafasnya tersengal-sengal. Mimpi yang selalu ia hindari kini kembali lagi. Entah mengapa tapi mimpi itu tak bosan-bosannya menghampiri dirinya.

Tangannya meraih gelas yang berisi air penuh. Meneguk hingga tandas tak tersisa. Nadine adalah gadis yang kuat jika menghadapi orang lain, tapi ia selalu takut kala mengarungi mimpi dan kejadian 12 tahun lalu terulang kembali.

Matanya menoleh ke arah jendela yang menampilkan sinar Surya yang hampir menuju atas. Dengan kasar ia meringsut menuju keluar kamar. Aroma makanan tercium sangat jelas.

Anehnya saat keluar kamar, dirinya tidak melihat makanan apapun. Dengan rasa penasarannya, ia menuju balkon lalu menengok ke arah kanan. Ternyata ada Anindira dan Zahra yang sedang duduk sambil menyuapi makanan ke mulut mereka masing-masing.

''Eh kak Xavier, sudah bangun ya? Pasti lapar bukan? Ini nasi goreng.'' Tanpa di minta Zahra mengambilkan nasi goreng baru dari tempatnya dan membawanya ke pinggir balkon. ''Jangan menawarkan nasi goreng padanya, dia palingan tidak suka makan murahan kayak kita. Dari panggilan BI Nani saja sepertinya dia keponakan yang sangat kaya.'' Ujar sinis Anindira yang menghentikan tangan Nadine yang sudah terulur untuk menerima piring itu.

Niat mengambil kini ia tarik kembali tangannya. Zahra yang melihat itu menjadi geram pada Anindira. ''Jangan bicara seperti itu kak, kakak tidak biasanya akan bersikap seperti itu pada orang baru. Ada apa?'' Tanya Zahra heran, Anindira selalu baik pada orang lain tapi kenapa pada Nadine sangat kasar.

''Tidak ada alasan, jika ingin tinggal di sini maka harus jujur jangan menyimpan banyak rahasia.'' Celetuk gadis itu tanpa rasa bersalah. ''Mentang-mentang dirimu detektif, bukan berarti kau bisa mencurigai semua orang. Jangan dengarkan detektif gila itu kak, maka sesuap saja. Akh..!'' Pekik Zahra karena pant@tnya yang di tendang oleh Anindira.

Mendengar ucapan Anindira membuat Nadine tidak berselera. ''Tidak, kau makan saja. Mulut pedasnya saja sudah cukup untukku. Lain kali jangan hanya makan cabai, sudah cukup mulutmu yang se pedas cabai 1 ton.'' Sindir Nadine, ia berjalan ke dalam lagi dengan wajah kesal.

Sedangkan Anindira merasa kesal dan terus makan sarapannya. ''Aku mau berangkat, nanti ingat kunci pintunya. Taruh di tempat biasa! jangan kamu bawa.'' Peringat Anindira, ia sudah tau watak gadis itu yang akan selalu lupa menaruh barang di tempatnya.

''Iya, bawel!'' Sungut Zahra yang langsung duduk kembali dan sarapan. Tyaga sudah berangkat pagi-pagi sekali, karena hari ini ia harus menyambut investor yang katanya dari luar negeri. Zahra akan ke rumah Anindira atau Laurinda jika kakaknya tidak ada di rumah.

Bisa juga dia akan turun untuk makan di rumah makan Bu Ida. Sungguh malang dirinya, tapi juga beruntung karena semua orang menyayanginya.

Bersambung.....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!