part 8

Pagi sudah mulai menghilang, sinar Surya semakin terik di luar sana. Seorang gadis dengan wajah pucat dan lesu baru saja bangun dari tidur panjangnya. Badannya terasa sangat perih dan sakit. Matanya mengerjap perlahan, berharap ia bisa bangun dari kasur kesayangannya.

Laurinda berusaha duduk dengan kondisi kaki yang sakit dan pipi yang bengkak. Gadis itu menatap dirinya di cermin. Menyedihkan, itu yang terbesit di dalam pikirannya.

Setelah membersihkan diri dengan susah payah, Laurinda duduk di depan cermin dan memandang dirinya. ''Kenapa aku bisa bertahan sejauh ini? Apa yang akan kakak lakukan kalau ia tau bahwa aku seperti ini? Hiks ...Tidak Laurinda.....Kau tidak bisa lemah. Kau harus bisa.'' Ujarnya menyemangati diri sendiri.

Kejadian kemarin terlindas bak film. Tujuan Laurinda sekarang adalah menemui gadis yang ada di balkon kemarin. Ia keluar rumah dengan pakaian serba kebesaran dan menggunakan masker. Laurinda tidak mengobati diri sama sekali.

Saat turun dari lantai 3, Laurinda berpapasan dengan Nadine yang juga hendak turun ke lantai satu. ''Xavier..!'' Panggil Laurinda, Nadine berhenti dan menatap Laurinda.

''Kejadian kemarin....'' Jeda Laurinda gugup, suara gadis kemarin adalah Nadine. Gadis itu sedang sibuk menikmati kopinya namun di ganggu oleh pemandangan yang buruk.

Dengan perasaan kesal, Nadine ikut campur meski itu tidak pernah ada dalam kamus nya. ''Kejadian kemarin? Apa yang terjadi? Aku tidak melihat apapun. Aku juga tidak suka ikut campur.'' Ujarnya santai lalu berjalan cepat menuruni tangga. Laurinda hanya bisa tersenyum.

''Terima kasih!'' Teriak Laurinda agar di dengar oleh Nadine yang sudah di bawah.

Nadine berjalan santai hendak ke suatu tempat. Matanya melirik sesuatu lalu kembali memundurkan langkahnya. Menatap lurus ke arah tiang listrik yang ada di depan gedung. Matanya yang jeli dapat melihat pasti sesuatu yang sudah di tutupi.

Senyum menyeringai menghiasi wajahnya, lalu hanya bisa menggeleng pelan seakan meremehkan. ''Masih saja menggunakan cara biasa.'' Gumamnya lalu berjalan santai kembali. Di belakangnya, sebuah mobil hitam seakan mengikuti kemana langkah kaki Nadine.

Gadis itu tersenyum kembali, seakan sudah bisa memastikan bahwa mereka memang mengikutinya. ''Kita lihat, berapa lama kalian akan terus mengikuti ku.'' Ujarnya remeh dan berjalan kembali. Tujuan awalnya yang ingin pergi ke tempat kontruksi, Nadine sekarang berbelok dan menuju sebuah warnet terdekat.

***

Di kantor polisi, Anindira sedang duduk dan bersandar pada kursinya. Baru saja dirinya habis dari tugas patrolinya. Karena salah satu rekan kerjanya izin, Anindira harus berpatroli sendirian.

Lelah di wajahnya begitu terlihat, gadis itu memejamkan matanya berharap lelah itu menghilang setiap detiknya. Baru beberapa menit dirinya memejamkan matanya. Seorang juniornya datang dengan beberapa berkas.

''Siang senior...'' Sapa junior itu sopan, Anindira membuka matanya lalu melirik.

''Kau sudah temukan sesuatu yang aku minta?'' Tanya Anindira sembari duduk dengan benar dan mengambil berkas yang di berikan. ''Hanya ini? Tidak ada yang lain?'' Tanya Anindira memicingkan matanya. Sungguh tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

''Iya senior, hanya ini yang saya temukan. Sepertinya ada pihak atas yang menutupi semua tentangnya.'' Jelas junior itu yang bernama Dimas. ''Baik kau bisa pergi...'' Ujar Anindira memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut.

Anindira meminta Dimas mencari tau tentang Xavier. Yang ia dapatnya hanya nama dan tanggal lahir? Bahkan semua tentangnya tidak ada. Anindira menaruh berkas itu lalu hendak kembali bersandar namun, teriakan Dimas membuatnya mengurungkan niat.

''Senior!! Ada kejadian lagi, seorang pria di temukan tewas dekat sungai batu.'' Panik Dimas, Anindira langsung berdiri dari duduknya hingga kursi yang ia duduki mundur ke belakang. ''Ayo, hubungi pria sialan itu agar datang ke tempat kejadian. Entah sampai kapan ia akan mengambil cuti, ini sudah melewati batas kesabaran ku.'' Titah Anindira yang kini sudah masuk kedalam mobilnya dan di temani oleh Dimas yang sedari tadi hanya mengangguk.

Di pinggir sungai batu, Anindira berjalan dengan cepatnya menuju para polisi yang sedang bergerombol. Sedangkan Dimas berjalan pelan karena batu yang bertebaran di mana-mana dan itu memenuhi seluruh pinggiran sungai.

Anindira seperti sudah biasa untuk melewati bebatuan seperti itu.

Di pinggir sungai seorang pria sedang tergeletak dengan wajah yang sudah di tutupi petugas. ''Kapan kiranya waktu kematiannya?'' Tanya Dimas, sedangan Anindira sedang membuka penutup wajah mayat itu.

''Dari yang bisa di perkirakan dari tubuhnya, sepertinya kemarin. Untuk waktunya kita perlu otopsi.'' Ujar petugas itu menjawab dengan yakin. Dimas mencatat pernyataan petugas.

Anindira kini memperhatikan mayat itu dengan seksama, tidak ada bekas apapun di tubuhnya. Anindira memperhatikan bibir bapak itu yang terlihat membiru dan hampir sangat tidak terlihat, di sudut bibirnya seperti sedikit tersayat. ''Apa kasus ini sudah di ketahui oleh pak kepala?'' Tanyanya pada Dimas.

''Sudah senior, pak kepala sendiri yang ingin turun tangan.'' Ujar Dimas memberitahu, raut tidak senang terlihat jelas. ''Kasus ini aku yang ambil, sampai kan itu kepada pak kepala.'' Ujarnya pada Dimas, dan pria itu mengangguk.

''Apa sudah ada keluarga yang mencarinya?'' Tanya Anindira, petugas itu kikuk sepertinya ia baru disini. ''Dia seorang pria yang tinggal sendiri, tak ada sanak saudara yang bisa di hubungi.'' Ujar seorang pria dengan gaya kasualnya, pria itu mendekat ke arah Anindira lalu menyerahkan laporan tentang pria itu.

Anindira membaca setiap detail laporan dan menatap kesal pria itu.

Plak ...

''Auch..'' Pekik pria itu dengan memegangi wajahnya berharap laporan itu tidak mengenai wajah tampannya. ''Kau baru datang! Sialan! Kau sudah mengambil cuti lebih dari 3 hari lamanya. Apa kau sedang bertapa!?'' Bentak Anindira, tak ada yang berani menengok meski teriakan Anindira menganggu pendengaran.

Semua petugas disana sudah tau bahwa Anindira adalah gadis yang sangat berpegang teguh dalam kebenaran. Beberapa kasus yang tidak menemukan jalan keluar, ia kejar hingga ke ujung dunia. Tidak ada yang bisa meragukan lagi keahlian Anindira. Tidak ada yang bisa ia lewatkan, kecuali memang kasus itu sengaja di tutup dan itupun terkadang ia langgar hanya untuk memenuhi rasa penasarannya.

''Maaf, nin....Apa kau sangat merindukanku hingga marah seperti ini?'' Goda William, rekan sekaligus sahabat dari Anindira. Mereka sudah berteman sekitar 7 tahun lamanya.

''Lakukan otopsi, berikan laporan itu padaku secepatnya.'' Ucap Anindira pada petugas, tak menghiraukan godaan William. ''Baik,'' ucap petugas itu sopan. ''Dimas, kau awasi mereka. Pastikan mereka memberikan laporan itu dengan cepat.'' Ujar Anindira sebelum meninggalkan tempat itu.

Mayat tadi di gotong dan di masukan kedalam mobil jenazah yang baru saja sampai. Anindira masuk kedalam mobil tadi bersama William. Gadis itu mengendari mobil seperti pembalap, ia ingin segera membaca semua berkas yang sudah di siapkan oleh Dimas dan William.

Pria yang duduk di sebelahnya terlihat tenang karena sudah tau bahwa Anindira gadis seperti apa. Ia bahkan bersiul sembari menikmati pemandangan yang tak terlihat jelas karena kecepatan mobil.

Sampai di depan kantor, Anindira masuk kedalam. Di sana sudah di tunggu oleh pak kepala tim. ''Kau sudah datang?'' Sapa pak kepala pada Anindira, gadis itu hanya bisa mengangguk menanggapi. Dengan perasaan was-was yang akan di ucapan oleh kepala timnya itu.

''Untuk kasus ini, sudah di tutup. Tidak perlu di otopsi, ia meninggal karena bunuh diri. Sudah bosan hidup karena tidak memiliki siapapun.'' Ucapan itu kini Anindira kembali dengar, kata-kata yang sudah bisa Anindira tebak jika pak kepala sudah menunggunya.

Brakk...!

William memejamkan matanya, ia tau kali ini kemarahan Anindira sudah di puncaknya. Tidak bisa di negoisasi. Anindira menatap marah pada pak kepala yang sedang mengelus dadanya , kaget.

''Lagi? Ini sudah yang ke 8 kalinya pak kepala seperti ini. Apa pak kepala tidak bosan dengan ucapan bapak! Saya saja sangat bosan dan kesal mendengarnya!'' Ucap Anindira dengan tangan yang mengepal erat dan mata yang menyala. Bahkan Anindira seperti akan menelan hidup-hidup pak kepala timnya.

''Sa-saya hanya bisa menuruti perintah yang di atas. Kamu harus menurutinya Anindira, tutup kasusnya dan selesai.'' Ujar pak kepala yang tadinya takut kini bicara normal. Anindira adalah gadis yang sungguh ia kagumi karena keberaninya.

''Bapak yang sudah berjanji, bahwa kasus kemarin adalah kasus terakhir yang akan di lupakan. Tapi sekarang? Bapak mengingkari janji?'' Sentak Anindira yang sudah merasa muak akan semua ini. Kasus dengan kejadian dan tempat yang sama hanya akan di masukan sebagai kasus bunuh diri.

Kenapa? Apa yang tersembunyi di balik kasus ini. Siapa dalang semuanya? Siapa atasan itu? Anindira sudah curiga saat penemuan awal mayat di sungai itu. Bukan bunuh diri melainkan pembunuhan.

''Tutup kasus ini atau_''

''Saya tidak akan menyerah!'' Bentak Anindira marah lalu pergi keluar kantor untuk menenangkan diri. ''Hey gadis gila! Apa kau akan mengejar kasus ini hingga ke ujung dunia lagi! Apa kau tidak ingin hidup tenang!?'' Teriak pak kepala itu, meski begitu, ia tau kekeuhan Anindira sebenarnya bertujuan baik.

Namun, apalah daya dirinya yang tidak bisa menolong karena kasus ini harus di tutup. Itulah perintah dari atas. ''William, bicara dengan Anindira. Lalu ajak dia ke ruangan ku.'' Ujar pak kepala yang berlalu ke dalam ruangannya.

''Gadis gila itu selalu membuatku berdebar...'' Gumam William tersenyum lalu berlari menemui Anindira.

''Arghhh!!"

Bersambung.....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!