Part 14

Di belakang mension Richards, kedua gadis itu sudah berhadapan dengan Bi Nani selaku kepala pelayan. Bahkan karena keahlian Nadine, wanita paruh baya itu tidak menyadari bahwa nona mudanya yang berdiri di depannya sekarang.

Bi Nani sedang memberikan arahan mana yang boleh di sentuh dan mana yang tidak. Lalu memberi penjelasan mana ruangan yang boleh di masuki dan tidak. Banyak yang Bi Nani ucapkan namun Nadine dan Anindira terlihat melirik sekitar yang terlihat ramai.

Entah mengapa tapi, pelayan semuanya terlihat membersihkan Mension dengan teliti lalu mengganti beberapa alat atau barang dengan yang baru. Dari perkiraan yang Nadine lihat, pasti wanita yang bernama Chalondra itu membeli beberapa barang.

''Kalian paham?'' Tanya bi Nani karena kedua gadis itu terlihat diam tanpa menjawab. ''Iya kepala pelayan....'' Ujar mereka berdua, bi Nani merasa tidak asing dengan keduanya namun karena pekerjaan yang masih banyak, membuatnya mengurungkan niat untuk bertanya.

Nadine dan Anindira di minta membersihkan ruang tengah. Gadis itu mengangguk lalu mengambil kain lap. Tangannya sibuk mengepel meja, matanya sibuk mencari informasi. Saat Aurora masuk kedalam ruang tengah, Nadine menunduk begitu juga Anindira.

''Apa? Dia datang? Bukankah seharusnya dia kembali satu tahun lagi?'' Tanya Aurora dengan wajah kesal saat semuanya terlihat berjalan tidak sesuai rencana. ''Biarkan dia datang....Jika kita mencegatnya maka dia akan curiga.'' Ujar Brian yang datang dari arah kamarnya.

Saat kedatangannya, ada dua telapak tangan yang mengepal erat. Bahkan sampai buku-bukunya memutih, sepertinya dendam yang begitu besar terselip di dalam hatinya. ''Arghh! Siapkan ruangan itu, sudah lama aku tidak menonton sesuatu yang membuatku senang.'' Titah Aurora, Brian tersenyum.

''Kau ingin menonton drama? Baiklah, papa ke kantor lebih dulu. Proyek itu akan di bangun.'' Ujar Brian lalu menepuk pelan pundak putri keberuntungannya dan berlalu keluar mension. Aurora duduk di sofa ruang tengah sembari ruangan yang ia minta di siapkan.

Anindira dan Nadine pergi dari sana. Mereka beralih membersihkan guci. ''Mau kemana?'' Bisik Anindira pada Nadine yang hendak pergi. ''Kita disini bukan mau jadi pembantu beneran..Ayo ikuti pelayan itu.'' Ujar Nadine menarik Anindira.

Mereka berjalan pelan, saat pelayan itu masuk. Mereka juga ingin masuk. ''Mau kemana kalian?'' Tanya seseorang dari arah jauh. Mereka berdua menegang. Otak Nadine mulai mencari akal agar tidak mencurigakan. Mereka berbalik dengan tersenyum canggung.

''Kami di minta untuk membersihkan ruangan ini.'' Ujar Anindira mendahului, pelayan itu tampak mengerutkan keningnya. ''Kenapa pelayan baru ini yang di minta? Kenapa tidak aku?'' Gumamnya namun bisa di dengan oleh dua makhluk ini.

''Baiklah! Sana masuk...'' Ujar pelayan itu pergi dengan rasa kesal dan iri. Anindira dan Nadine bisa bernafas lega lalu masuk dengan perlahan dan hati-hati. Mereka bersembunyi di belakang sofa besar saat pelayan itu sudah selesai membersihkan dan menaruh beberapa barang.

Suasana ruangan itu sedikit menyeramkan karena semuanya terlihat gelap. Tak ada cahaya sama sekali. Beberapa menit kemudian, Aurora datang dan duduk di sofa itu. Tangannya memencet tombol di sebelah sofa dan sebuah layar terlihat turun dari atas.

Lalu sebuah gambar mengerikan muncul, mulai ada senyum di wajah Aurora. ''Ini yang namanya kesenangan yang abadi...'' Ucap gadis itu lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. Vidio mulai di putar, sebuah teriakan mulai memekakkan telinga.

Tetapi menurut Aurora, teriakan itu bagaimana sebuah hiburan semata. Anindira mengerutkan keningnya, ia menoleh ke arah layar. Mereka masih bersembunyi di belakang sofa. Wajah Anindira terlihat ngilu saat melihat seseorang di aniaya secara sadis.

''Kejam!'' Gumam lirih Anindira, lalu matanya menatap Nadine yang terlihat membeku. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali, tangannya mulai dingin. Anindira memegang bahu Nadine yang masih tidak merespon.

Gadis itu bagaikan tanpa nyawa, diam dengan pelupuk mata yang hampir penuh akan air mata. ''Mama...'' Gumam Nadine yang tercekat, lalu ia menoleh ke arah layar. Dadanya sesak, sangat sesak bahkan bernafas pun dirinya susah.

''Ini adalah akibatnya karena kau tidak mau menurut!'' Bentak seseorang.

''Akh!!" Teriakan itu keluar dari mulut Olivia tanpa ada air mata. Matanya seakan kering, tak ada air mata yang mau turun saat di siksa untuk sekian kalinya.

Tubuh Nadine bergetar, bahkan wajahnya terlihat pucat. Matanya sendiri, menyaksikan sebuah pisau yang tajam menusuk bagian tubuh Olivia. Tidak hanya sekali namun berkali-kali, banyak sekali tawa dalam Vidio itu. Namun, wajah mereka tidak terlihat, yang terlihat hanya Olivia yang tergeletak sudah tak bernyawa.

''Hahahaha......Hahahaha......'' Tawa itu keluar dari mulut iblis Aurora, bahkan sampai matanya keluar air mata karena tertawa puas. Tidak ada rasa kasihan atau iba saat melihat Olivia tiada.

Nadine mengepalkan tangannya, ingin sekali dirinya membunuh Aurora saat ini juga. Anindira segera menahan tubuh Nadine saat gadis itu hendak berdiri. Tak sampai di situ keterkejutan Nadine, saat suara penuh wibawa yang selalu membimbingnya kini berteriak dengan tercekat.

Mata pria itu harus melihat sendiri wanita yang ia cintai di bunuh habis-habisan oleh mereka. Gelak tawa semakin terdengar kala pria itu kembali berteriak. Tak ada yang mau menolong dan hanya tertawa. Dada Nadine naik turun, dendam semakin membesar. Semuanya di saksikan langsung oleh Bi Nani yang hanya bisa menunduk.

Wajah wanita itu terlihat pucat, matanya tertutup dan tidak mau melihat kelakuan kejam majikannya sekarang. Bi Nani tidak bisa berbuat apapun karena tangan dan kakinya di ikat. Nadine terdiam dan memperhatikan semua Vidio itu dengan matanya sendiri.

Hingga akhir, Nadine menatap layar itu. Tak berkedip, matanya terus menatap layar hingga layar itu mati. Aurora berjalan senang dan bersenandung. Nadine menyadari satu hal, kebenciannya selama ini hanya sia-sia. Orang yang melindunginya adalah Olivia.

Bahkan tadi sebelum ajalnya, Olivia terus memohon dan menyatukan tangannya di depan dada. Agar putrinya yang berada di pedalaman sana tidak di usik atau di bunuh. Itulah permintaan terakhirnya, dan semua itu untuk gadis yang membencinya selama 12 tahun.

''Xavier...'' Anindira terus memanggilnya namun gadis itu terlihat diam dan bergeming. Dari wajah Nadine, Anindira bisa menebak kalau Nadine ada hubungannya dengan mereka yang di habisi secara bruntal.

Nadine bangun dari duduknya lalu keluar bagai tanpa nyawa. Tatapannya terlihat datar, tak ada ekspresi apapun yang biasanya gadis itu keluarkan kini hanya tersisa wajah datarnya. Anindira hanya mengikuti Nadine.

''Aurora, Brian, Belen, dan Ivander. Ini adalah peperangan yang aku nyatakan dengan sepihak. Kalian harus mati di tanganku...'' Batin Nadine yakin.

Ia berjalan keluar dengan dendam yang mendalam. Bahkan ketika Bi Nani memanggilnya, Nadine tidak menggubris. Di belakang rumah, teriakan seseorang membuat Nadine dan Anindira menghentikan langkah.

''Aku harus apa! Kau telah merenggut semuanya!! Aku tidak bisa hidup jika seperti ini!!" Teriak Laurinda dengan air mata yang sudah mengalir hingga matanya terlihat bengkak. "Berisik! Kau ini terlalu kuno, bahkan banyak wanita di luar sana yang sudah kehilangan kehormatannya sepertimu tapi mereka baik-baik saja? Kau terlalu berlebihan!'' Ucap Ivander dengan entengnya, tanpa peduli perasaan Laurinda.

''Kau harus bertanggung jawab ivander! Bagaimana jika aku hamil?!!'' Bentak Laurinda, Ivander tersenyum remeh. ''Jika kau hamil tinggal gugurkan. Banyak wanita di luar sana yang melakukan itu. Aku tidak mau mengorbankan kebebasanku karena mu, Lagian salahmu sendiri karena percaya padaku.'' Ucap Ivander dengan duduk di kursi roda. Karena kakinya yang masih sakit akibat hukuman dari kakaknya Aurora, membuat pria itu enggan berjalan.

Laurinda berdiri di depan Ivander lalu mengancamnya. ''Aku akan melaporkan mu ke polisi karena telah melakukan kekerasan padaku.'' Ujar Laurinda yakin, Ivander tertawa keras. ''Laporkan saja, akan aku sebarkan Vidio *** mu di media sosial.''

Plakk!

Tamparan mendarat di wajah ivander, laki-laki itu terlihat meradang. Bahkan wajahnya kini memerah, dengan kesal Ivander menendang perut Laurinda hingga tersungkur ke tanah. Gadis itu memegangi perutnya yang di tendang tadi.

Bugh...Bugh

Ivander kembali melayangkan tendangan dengan kaki yang masih sakit. ''Sial! Berani sekali kau!'' Ujar Ivander lalu kembali memukuli Laurinda. Banyak yang melihat dan hanya diam, para penjaga hanya bisa diam dan menatap kekejian pria satu ini.

Anindira yang melihat itu hendak menyusul namun tangannya di tahan Nadine. ''Jangan ikut campur, atau kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini.'' Peringat Nadine, Anindira terlihat marah kerena sikap Nadine yang terlihat tidak manusiawi.

''Apa kau manusia?'' Tanya Anindira, Nadine terlihat datar tanpa menjawab.

''Hentikan!!'' Teriak seorang pria dengan wajah memerah. Pria itu berjalan cepat lalu melayangkan pukulannya pada Ivander.

Bugh..Bugh...

''Ayo pulang!'' Ujar Nadine menarik Anindira untuk keluar dari mension itu.

Bersambung.....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!