Bahri terdiam tak menjawab pertanyaan kakaknya yang bernada riang tersebut. Tentu saja, Ia mau ditraktir. Mereka sangat jarang makan di luar. Namun uang dari mana Kakaknya dapatkan?
Untuk makan sehari-hari saja mereka harus irit, makan di luar bagi mereka adalah hal yang sangat langka. Karena itu, saat Dewi menawarkan untuk makan di luar kecurigaan Bahri semakin bertambah saja.
"Apakah Kakak sekarang kerjanya nggak benar? Kenapa Kakak sekarang punya banyak uang? Padahal, Kakak harus membayar hutang untuk biaya operasi Bapak. Uang dari mana Ia dapat? Sekarang saja masih jauh dari gajian! Biasanya malah Kakak puasa untuk menghemat uang yang ia miliki." batin Bahri.
"Dek! Kok diam sih?! Mau nggak Kakak traktir makan bakso?!" Dewi membuyarkan lamunan Bahri.
Dengan agak tergagap, Bahri pun mengiyakan ajakan Dewi. "I-iya, Kak. Mau kok. Nanti Bahri jemput ya."
"Iya. Bilang sama Bapak, obatnya diminum! Jangan lupa, sering latihan di rumah biar badannya nggak kaku! Terus bilang sama Ibu, nanti malam nggak usah masak biar kakak beliin makanan aja buat kita makan bareng!" pesan Dewi
Bahri semakin terdiam. Perasaannya menjadi sangat tidak enak oleh banyak praduga dalam dirinya "Iya Kak." Bahri pun mengakhiri sambungan teleponnya dan pulang ke rumah dengan hati yang berkecamuk berbagai macam pikiran.
***
Sesuai janji, Bahri menjemput Dewi di depan Cafe. Dewi tersenyum melihat adiknya datang. Motor Bapaknya yang sudah Ia perbaiki kini sudah bisa dipakai kembali. Untuk sementara, motor tersebut dipakai Bahri untuk menjadi tukang ojek secara full menggantikan Bapak. Mumpung sudah selesai ujian, Bahri bisa ngojek seharian.
Biasanya, sepulang sekolah Bahri hanya istirahat sebentar lalu mulai ngojek. Hasilnya lumayan untuk makan sehari-hari selama Bapak tidak bisa mencari uang. Namun karena Bahri sudah mulai ujian sekolah, Ia tak bisa sampai larut malam. Paling hanya sampai maghrib saja karena Ia juga harus belajar. Sekarang sambil menunggu kelulusan, Bahri bisa menggantikan Bapak.
Bahri memberikan helm yang Ia bawa pada Kakak-nya. Bahri melihat, kakaknya begitu kelelahan. Namun senyum di wajah Kakak-nya seakan menutupi setiap rasa lelah yang Ia rasakan. Bahri ingin tahu tapi Ia memilih untuk tidak bertanya. Kasihan. Nanti saja bertanyanya.
"Kamu mau makan bakso dimana nih? Atau kamu mau makan pecel ayam aja? Kamu tinggal pilih mau makan di mana! Kakak yang bayarin!" kata Dewi dengan penuh semangat. Wajahnya terlihat sangat bahagia karena akan mentraktir adiknya makan di luar.
"Memangnya Kakak udah gajian? Kok bisa sih traktir aku di tanggal tua kayak sekarang? Biasanya juga Kakak ngirit sampai harus puasa agar uangnya cukup!" Bahri sengaja mengorek keterangan dari kakaknya. Ia ingin agar apa yang Ia pikirkan itu tidak terjadi. Dia ingin kakaknya tetap menjadi kakak yang baik dan mencari uang dengan jalan yang halal.
"Oh itu... Tadi, kita lagi ngitung uang tip dari pelanggan. Ternyata hasilnya lumayan. Jadi, kita bagi rata deh. Lumayan beberapa bulan kita kumpulin dan sekarang uangnya bisa Kakak pakai buat traktir kalian!" Dewi pun berusaha tidak menampakkan kebohongannya di depan Bahri.
"Oh... ya udah kalau alasannya kayak gitu. Aku nggak mau ya kalau Kakak sampai pinjam uang ke teman Kakak hanya demi traktir kita makan di luar. Lebih baik kita makan di rumah aja, meskipun dengan menu yang seadanya tapi lebih baik daripada kita makan di luar dengan uang dari hasil ngutang!" ceramah Bahri.
"Bukannya kamu yang kemarin nyuruh Kakak ngutang ke temen Kakak untuk membayar pengobatan Bapak? Kenapa sekarang kamu jadi nggak mau Kakak ngutang sama teman Kakak?" sindir Dewi.
"Waktu itu beda Kak ceritanya. Bapak memang harus cepat-cepat dioperasi kalau masih ingin hidup normal. Aku kan nggak mau Bapak sampai cacat. Kalau aku sudah bekerja, pasti aku yang akan usahakan agar Bapak segera dioperasi. Sayangnya, aku mau ngojek 24 jam tapi motornya masih belum dibenerin. Cuma Kakak harapan kita satu-satunya. Ternyata memang benar kan, Kakak itu memang tulang punggung keluarga. Bapak dan Ibu pasti sangat bangga punya anak perempuan seperti Kakak!" Bahri yang sedang mengemudikan motor tidak tahu perubahan mimik wajah Dewi akibat perkataannya.
Dewi langsung merasa rendah diri mendengar apa yang dikatakan oleh Bahri adiknya. "Bangga? Apakah Bapak dan Ibu akan bangga kalau tahu aku menjual diriku demi bisa membayar semua hutang kami?! Apakah aku akan tetap menjadi anak yang membanggakan mereka kalau mereka tahu semalam aku nggak pulang hanya demi melayani seorang cowok sepanjang malam?" batin Dewi.
Dewi tak menanggapi lagi omongan Bahri. Rasa bersalah yang menyeruak dalam dirinya harus Ia tahan, kalau Ia terus-menerus melayani Wira seperti kemarin, maka Ia akan cepat menyelesaikan bisnis mereka.
Bahri lalu membelokkan motornya ke sebuah warung bakso yang selama ini ingin Ia makan. Bakso berukuran besar dengan isi daging cincang di dalamnya. Selama ini Bahri hanya bisa menatap sambil menahan air liurnya agar tidak menetes. Ia ingin makan namun menghabiskan uang Rp 25.000 hanya untuk semangkok bakso membuatnya berpikir ulang.
Uang Rp 25.000 bisa dipakai untuk memberi beras dan telur. Bisa dimakan satu keluarga. Kalau makan bakso saja kan hanya sendirian, kasihan keluarganya. Itu pun Ia harus mendapat penumpang dua kali kalau jarak dekat dan satu kali kalau agak jauh. Belum harus menunggu giliran dengan tukang ojek lain.
Dewi turun dari motor lalu memesan 4 porsi bakso jumbo untuk keluarganya. Selembar uang kertas berwarna merah dikeluarkannya untuk membayar pesannya tersebut. Tanpa Dewi ketahui, mata Bahri terus memperhatikan. Bahri bahkan tahu, di dalam dompet milik kakaknya ada beberapa lembar lagi uang Rp 100.000-an. Hal yang sangat jarang dan bahkan tak pernah dimiliki oleh Kakak-nya di tanggal tua seperti sekarang. Biasanya hanya uang dua ribuan yang menghiasi.
Bahri pun bertekad mencari tahu dari mana asal uang yang Kakak-nya miliki. Namun nanti, Ia tak tega melihat wajah Kakak-nya yang begitu kelelahan. Ia tak perlu mengintrogasi Dewi apa yang terjadi. Lebih baik Ia mencari tahu sendiri.
Bahri dan Dewi lalu pulang ke rumah dan disambut dengan senyum hangat oleh kedua orang tua mereka. Mereka makan bakso dengan sangat bahagia. Hal yang tak pernah mereka lakukan sejak lama. Memang sih hanya bakso, tapi kalau sampai mengeluarkan uang Rp100.000 untuk jajan seperti ini mereka pasti tak akan mau.
Dewi tersenyum senang melihat kebahagiaan keluarganya. Hilang sudah semua rasa lelahnya sehabis melayani Wira semalaman. Semuanya seakan terbayar dengan senyum bahagia keluarganya. Hal sepele yang membutuhkan pengorbanan paling besar dalam dirinya.
Senyum yang membuat dia bertahan menghadapi kerasnya hidup. Dalam hati Dewi bertekad, Ia akan secepatnya menyelesaikan bisnis ini dan akan kembali menjadi Dewi yang hidup di jalan yang lurus. Semoga.
****
Hi semua! Udah senin nih! Yuk vote Abang Wira, like dan komen yang banyak ya! Maacih 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
dyul
Bahri.... kk mu itu gak salah, keadaan yg bikin dia berbohong 🤧🤧
2024-03-24
0
anonim
Bahri...sebetulnya kasihan tuh kakakmu harus menjual keperawanannya demi kalian...demi keluarga. Apakah kamu akan marah nantinya kl kamu tahu yg sebenarnya terjadi...??
2023-12-16
0
Marlina Palembang
gmna ya reaksi Dewi kl ketahuan Bahri Krn udh melakukan bisnis plus plus
2023-02-28
0