Dewi memilih pulang ke rumah dahulu sebelum ke rumah sakit. Ia langsung menuju kamar mandi dan membersihkan seluruh tubuhnya. Ia merasa amat kotor. Mau membersihkan sesering mungkin tetap saja tak bisa mensucikan dirinya kembali.
Air dalam ember yang Ia taruh di bawah kran air sudah penuh, Dewi membasuh tubuhnya yang sudah penuh sabun dan busa. Setelah bersih, Ia menyabuni lagi tubuhnya dan kembali membasuhnya sampai sabunnya hilang. Entah sudah berapa kali Ia melakukannya, Dewi tak menyadarinya. Ia hanya merasa dirinya masih kotor. Sampai suara ketukan di pintu kamar mandi menyadarkannya.
"Kak! Kakak udah mau berangkat kerja?" teriak adiknya Bahri yang hari ini ada ujian praktek jadi masuk agak siang.
Dewi tak menjawab. Ia membilas tubuhnya, mengeringkannya dengan handuk dan memakai pakaian yang sudah Ia bawa ke dalam kamar mandi.
Dewi keluar dengan tubuh yang wangi karena beberapa kali sabunan. Tanpa Bahri ketahui, tangan Dewi memutih dan berkerut karena kena air sejak tadi.
"Kakak langsung ke rumah sakit. Kakak ijin enggak masuk kerja hari ini." Dewi melewati Bahri tanpa senyum dan mengambil Hp yang Ia letakkan di atas lemari plastik tempat Ia menaruh pakaiannya.
"Kenapa enggak kerja Kak? Kalau gaji Kakak dipotong gimana? Kita lagi butuh banyak uang agar Bapak bisa pulang, Kak!" rengek Bahri yang membuat emosi Dewi naik.
"Kakak tau! Memangnya kamu pikir Kakak ijin kerja karena mau nongkrong di Mall apa? Kakak mau jemput Bapak dan bawa Bapak pulang ke rumah!" kata Dewi dengan nada tinggi.
Bahri terdiam, tak biasanya kakaknya marah seperti itu. "Ka-Kakak mau jemput Bapak? Memangnya Kakak sudah dapat uang buat melunasi biaya rumah sakit?" Bahri bertanya lagi agar tidak salah dengar.
"Sudah!" jawab Dewi dengan ketus. "Kakak mau berangkat sekarang! Kamu pergilah sekolah biar Bapak urusan Kakak!" Dewi lalu masuk ke dalam kamar dan menyisir rambutnya yang basah.
Bahri masih penasaran. Ia pun mengikuti Kakaknya dan kembali bertanya, "Kakak dapat uang dari mana? Kok bisa dalam waktu semalam Kakak mendapat uang untuk melunasi biaya berobat Bapak?"
Dewi menghela nafas dengan kesal. Mood-nya sedang tidak baik hari ini. Bukannya membiarkan Ia lebih tenang sedikit, Bahri terus memaksanya menjawab setiap pertanyaan.
"Yang penting uangnya udah ada kan? Mau Kakak dapat dari mana juga bukan urusan kamu! Ini tanggung jawab Kakak sebagai anak tertua di keluarga ini! Kamu enggak usah mikirin Kakak dapet darimana!" kata Dewi dengan pedasnya.
"Kalau Kakak mendapatkannya dengan cara yang tidak benar, aku harus tahu! Sekarang Kakak jawab dengan jujur, dapat uang dari mana?" Bahri terus mendesak Dewi yang sudah merasa sangat lelah. Lelah batin dan juga lelah menahan diri sejak semalam.
"Kamu nggak percaya sama Kakak? Kamu pikir Kakak akan melakukan perbuatan nekat gitu?! Kakak juga masih punya pikiran! Kakak nggak akan merusak masa depan Kakak!" Dewi sengaja memilih untuk berkata bohong. Tak ada gunanya Bahri tahu apa yang Ia lakukan. Cukup adiknya tahu kalau Ia bekerja keras untuk mendapatkan uang tersebut.
"Yaudah, Kakak bisa dong kasih tau aku dari mana Kakak dapat uang itu? Kenapa dari tadi Kakak terus menerus muter-muter bukannya jawab?!" Bahri lebih keras kepala lagi.
"Kakak pinjam dari bos Kakak! Kakak harus mencicil setiap bulan agar bisa lunas, kamu puas?! Jawaban Kakak masih bikin kamu nggak percaya? Mau kamu bicara langsung dengan bos Kakak?!" tantang balik Dewi. Bahri kini terdiam. Dia bisa melihat kalau Kakaknya berkata jujur. Ia tak mau terus-menerus mendesak Kakaknya yang terlihat sangat lelah karena belum lama pulang pagi ini.
"Maaf, Kak. Bahri nggak bermaksud terus memojokkkan Kakak. Bahri percaya sama Kakak. Maaf, Bahri belum bisa membantu. Bahri janji, akan belajar dengan sungguh-sungguh. Bahri akan cepat dapat kerja dan membantu Kakak membiayai keluarga kita!" kata Bahri yang kini merasa bersalah.
"Iya. Pergilah sekolah sekarang nanti kamu telat!" Bahri lalu mencium tangan Dewi dan kemudian berangkat ke sekolah. Dewi pun segera bersiap-siap untuk menjemput Bapaknya.
Rumahnya kini kosong. Adik-adiknya pergi sekolah dan Ibu-nya di rumah sakit menemani Bapak. Dewi mengunci pintu kamar dan menatap cermin. Ia membuka kancing baju-nya dan menatap bekas perbuatan semalam yang ditinggalkan oleh Wira.
Bekas berwarna merah kehitaman itu kini ada beberapa buah, berada di sekitar buah sintal miliknya. Ia memang sangat terbuai dengan apa yang dilakukan oleh Wira semalam sampai tak menyadari kalau banyak jejak perbuatan mereka yang terukir di tubuhnya.
Dewi lalu mengambil tisu basah dan mulai membersihkan bekas perbuatan Wira di tubuhnya. Sudah tentu pembuatannya sia-sia belaka. Bekas itu masih tetap ada dan mungkin baru beberapa hari menghilang.
Masih teringat jelas dalam benak Dewi, bagaimana perbuatan mereka semalam. Bagaimana Ia mendesaah dan memanggil nama Wira. Ia juga merutuki dirinya yang begitu terbuai akan napsu semata. Ia begitu menginginkan Wira dan rasanya tak mau berhenti.
Dewi makin merasa jijik dengan dirinya sendiri. Mudah sekali terbuai dengan kenikmatan sesaat yang Wira berikan. Mudah sekali menjual tubuhnya hanya demi uang 200 juta saja. Ia terpaksa, Ia bisa apa? Di saat tak ada lagi orang yang bisa membantunya keluar dari permasalahan hidup, Wira datang dan membantu layaknya seorang superhero membantu masyarakat yang butuh bantuan.
Dewi menyadarkan dirinya. Ia tak bisa berlama-lama berada di rumah. Ia harus mengurus biaya administrasi dan menjemput Bapak pulang. Cepat-cepat diambilnya tas yang selama ini selalu Ia bawa kemana pun Ia pergi. Tas kulit imitasi dengan bagian bawahnya yang sudah terkelupas karena sering kena panas dan hujan. Dewi lalu menutup pintu kamar kontrakan kecil tempat Ia dan keluarganya tinggal.
Dewi berjalan sampai ke tempat pemberhentian angkot. Ia lalu naik angkot dan pergi ke rumah sakit. Dewi langsung menuju ke bagian administrasi dan melunasi semua pembayaran rumah sakit untuk Bapak-nya. Selesai membayar, Dewi memegang kuitansi pembayaran dengan senyum yang mengembang di wajahnya seraya dalam hati Ia terus membesarkan dirinya sendiri. "Semua bukan kesalahan, Wi. Semua benar. Apa yang aku lakukan udah benar. Kalau aku tidak menjual diriku Bapak nggak akan pulang hari ini. Aku yakin keputusanku sudah benar! " batin Dewi.
Dewi lalu membawa kabar gembira kepada kedua orangtuanya. Mereka sangat senang karena berpikir anaknya berhasil mendapat pinjaman uang untuk melunasi hutang-hutang mereka. Mereka tidak tahu saja kalau anaknya bahkan sudah menjual dirinya demi bisa membawa Bapaknya pulang ke rumah.
Dewi menyembunyikan dengan rapat semua yang telah Ia lakukan. Ia mengantar Bapak pulang ke rumah dan tak menyangka saat mendapat pesan di handphone miliknya.
Weekend ini, aku mau ambil beberapa service sekaligus. Persiapkan diri kamu wahai rekan bisnis!
Pesan singkat namun sudah membuatnya bergidik ngeri. Weekend ini? Beberapa service? Dewi memegang bagian intinya.
"Akankah robek lagi kayak semalam? Akankah menyakitkan lagi?" batinnya sambil meringis sedih.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Junita Junita
siapa yg mau di salah kan...!!!
2024-05-28
0
dyul
abis itu gak sakit lagi Wie.... kamu perempuan hebat
2024-03-24
0
Marlina Palembang
robeknya sekali doang wi,,nggak bakalan sakit lg malah enak.tp aq kasihan sm kamu wi.begitulah kehidupan kl kita miskin ga da yg perduli
2023-02-28
1