Wira mengambil jaket miliknya yang Ia sampirkan di belakang kursi kerjanya. "Kita berangkat sekarang!"
Dewi menuruti perkataan Wira tanpa banyak membantah. Pikirannya sedang kalut dan diliputi rasa putus asa. Ia terlalu bingung dan tak tahu kemana harus mencari pinjaman uang sebesar itu.
Keluarga Bapak dan Ibunya bukanlah berasal dari keluarga kaya raya. Kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke bawah. Dulu saat Bapaknya masih bekerja di pabrik otomotif, kehidupannya lumayan membaik. Sayangnya, sang Bapak mengalami kecelakaan kerja sehingga menyebabkan sebuah jari kelingkingnya terputus.
Bapaknya mendapat uang pesangon yang tidak seberapa dan tak lagi di pekerjakan. Semenjak itu, Bapaknya bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Penghasilan dari mengojek tidak bisa menutupi kebutuhan rumah tangga yang semakin besar. Persaingan antara tukang ojek pangkalan dengan tukang ojek online begitu ketat. Lama-kelamaan penghasilan Bapaknya mulai menurun dan tak lagi mampu menutupi kebutuhan hidup keluarganya.
Kedua adiknya masih sekolah. Untuk menutupi kekurangan, keluarganya meminjam dari tetangga. Hutang mereka semakin lama semakin menumpuk. Ibu mereka akhirnya bekerja sebagai buruh cuci untuk menambah penghasilan keluarga.
Dewi berhasil lulus SMA berkat perjuangan kedua orang tuanya. Hutang mereka mulai berkurang setelah Dewi mulai bekerja di Tarbi Cafe.
Namun hidup terus memberikan cobaan demi cobaan tanpa henti. Bapaknya kedapatan meminjam pada rentenir dengan bunga besar untuk mengganti motornya yang rusak. Terpaksa Dewi meminjam kesana kemari untuk menutup hutang pada rentenir agar bunganya tidak makin besar.
Dewi bahkan harus sering puasa agar uang sisa gajinya cukup sampai gajian berikutnya. Ibunya mulai tak kuat mengambil banyak cucian dari para tetangga, otomatis tanggung jawab yang Dewi pikul semakin berat saja.
Kini, hutang belum lunas sudah ada calon hutang lagi dalam jumlah besar yang menantinya. Bapaknya kecelakaan tunggal, jalanan yang licin membuat motornya tergelincir dan Bapknya jatuh dari motor.
Dokter mengatakan kalau Bapaknya harus dioperasi dan tak bisa bekerja sampai benar-benar pulih. Butuh waktu lama sampai Bapaknya pulih. Siapa yang akan menafkahi keluarganya kalau bukan Dewi?
Beban yang berat kini semakin berat saja. Rasanya Dewi ingin mengakhiri semua penderitaan dengan mengakhiri hidupnya saja. Namun Dewi berpikir keras, Ia tak mau keluarganya tambah menderita lagi karena sikap tidak tanggung jawabnya.
Satu-satunya jalan yang Dewi tempuh adalah dengan meminjam pada bos-nya. Teman-temannya sudah tak ada yang mau meminjaminya. Ia sudah dianggap tukang bohong karena tak pernah membayar hutang yang Ia pinjam.
Padahal Dewi bukannya tidak mau membayar, melainkan memang belum ada uang untuk membayar. Ia bahkan mencatat semua pinjaman yang Ia pinjam agar tidak lupa. Sejatinya, hutang itu jika tidak dibayar di dunia maka akan ditagih di akhirat.
Ia putus asa. Mau meminjam uang ke rentenir tapi Ia takut didatangi tukang tagih yang berwajah menyeramkan. Bagaimana kalau keluarganya yang kena pukul? Dewi menggelengkan kepalanya. Ia tak mau keluarganya terkena sial karena hutangnya.
Dewi melihat bos muda-nya datang. Ia sedikit kecewa. Ia berharap bos besar-nya yang datang. Pak Agas yang baik hati, ramah dan suka menolong. Pak Agas juga yang menerimanya bekerja di cafe ini.
Sayangnya, Pak Agas sudah jarang ke cafe. Bu Tari istrinya juga hampir tak pernah. Cafe ini kini dipercayakan oleh anaknya yang tampan, Wira.
Dewi tidak begitu mengenal Wira. Bos muda-nya itu jarang mengobrol dengan anak buahnya. Hobby-nya di ruangan memeriksa laporan dan sesekali membantu kalau cafe sangat ramai saja.
Ia jarang berbicara dengan karyawannya. Terkesan agak sombong dan menganggap dirinya dan karyawannya beda kasta sehingga tak layak diajak ngobrol. Itu yang Dewi tangkap tentang Wira.
Dewi mengesampingkan asumsinya tentang Wira. Ia butuh uang sekarang. Wira mungkin bisa membantunya, atau Ia akan mendatangi alamat Pak Agas untuk meminta tolong pada bos besarnya tersebut. Pak Agas pasti mau membantunya. Pak Agas orang baik. Dewi percaya itu.
Dewi pun memberanikan diri masuk ke dalam ruangan Wira. Ternyata benar, bos kecilnya ini menyeramkan. Aura bossy terpancar dalam dirinya. Berbeda sekali dengan kedua orang tuanya yang ramah dan menganggap karyawan bak keluarganya.
Dewi tak berani mengangkat wajahnya. Ia takut terpesona akan ketampanan Wira. Wajah mirip Pak Agas dan kulit seputih Bu Tari. Benar-benar perpaduan yang sempurna.
Dewi juga merasa malu dengan tujuannya meminjam uang, apalagi bos kecilnya mau memberi satu juta yang Ia anggap sebagai sumbangan. Ia tahu bos kecilnya punya hati baik, tak mau dirinya sampai berhutang. Namun uang satu juta masih jauh dari dua ratus juta yang Ia butuhkan untuk biaya operasi.
Dewi mulai panik saat adiknya Bahri menelepon dan memintanya datang. Tawaran dari bos kecilnya tak bisa Ia tolak.
Dewi pun pergi ke parkiran dan mendapati motor sport milik Wira terparkir bersama helm mahal miliknya. Tak ada yang berani mencuri helm mahal milik bos cafe itu meski ditaruh di parkiran motor. Semua karyawan sangat menjaganya.
"Pak, pinjamkan sebuah helm buat dia!" kata Wira yang berbicara pada security seraya menunjuk ke arah Dewi.
"Pakai helm saya saja, Pak!" ujar security seraya memberikan helm miliknya pada Wira.
"Terima kasih." Wira lalu melemparkan helm ke arah Dewi yang susah payah Ia tangkap. "Pakailah!"
Dewi menurut. Wira pun mulai naik ke atas motor dan menyalakan mesin motornya. "Cepetan naik! Jangan malah bengong aja!" ketus Wira.
"Ba-baik, Pak!" Dewi pun naik ke atas motor yang agak tinggi dan nung ging tersebut. Baju kerjanya yang dress selutut otomatis terangkat dan menampakkan pahanya yang putih mulus.
Wira merasa risih. Ia banyak bertemu cewek cantik tapi melihat paha mulus Dewi jiwa lelakinya keluar.
Wira menggelengkan kepalanya. Ia lalu melepas jaket miliknya dan memberikannya pada Dewi. "Nih pake! Jangan sampai semua orang ngeliatin kita selama di jalan!" perintah Wira.
"Iya, Pak." Dewi menerima jaket pemberian Wira dan menutupi paha mulusnya dengan jaket yang harum parfum beraroma maskulin dan mahal tersebut.
Baru saja menutupi pahanya dengan jaket, Wira sudah tancap gas. Dewi yang belum siap berpegangan pada bagian belakang motor pun reflek memeluk Wira.
Bukan hanya Dewi yang kaget, Wira juga. Ia merasakan sesuatu yang empuk dan besar menempel di punggungnya. Benar-benar menggoda imannya cewek di boncengannya kali ini.
Dewi pun menguasai diri dan melepaskan pelukannya pada Wira. Ia berpegangan pada besi belakang motor di tengah Wira yang menyalip dan ngebut dengan kecepatan tinggi.
Berbeda dengan Dewi, Wira malah sengaja menambah kecepatan motornya. Ia tak rela sesuatu yang empuk itu tak lagi menempel di punggungnya. Sayangnya, semakin Wira ngebut semakin Dewi bertahan agar tak lagi memeluk Wira yang harum tersebut.
****
Makin penasaran dengan kisah si Abang (Anak Bangor) Wira? Yuk sambil baca jangan lupa vote, komen, like dan add favorit ya 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
dyul
gak tahan liat paha mulus, sama gesekan squishy 🤣🤣🤣
2024-03-24
0
Sari Pratiwi
genitnya mirip Abinya dulu 😄
2024-02-15
0
👸 Naf 👸
ketinggalan baca karya kak Mizzly nee secara udh lama banget ga buka² novel
2023-08-29
0