Wira dan Dewi akhirnya sampai di rumah sakit yang tadi diberitahu oleh Dewi. Rumah Sakit Kesehatan Keluarga Itu Penting, rumah sakit langganan keluarganya. Bahkan Wira juga dilahirkan di sana, namun di RSIA bukan di rumah sakit umum seperti yang ada di depannya.
Wira menaruh helm miliknya di bagian belakang motor. Tak lupa Ia pakaikan gembok khusus helm. Jangan sampai helm harga jutaan ini lenyap dalam sekejap.
Kalau helm yang dipakai Dewi Ia taruh sembarangan. Toh kalau hilang paling harganya tak sampai seratus lima puluh ribu. Tak masalah baginya.
"Saya ke dalam dulu ya, Pak!" pamit Dewi.
"Eh nanti dulu! Udah jauh-jauh gue anterin eh gue lo tinggal begitu aja! Emangnya gue tukang ojek!" omel Wira.
"Mm... Bapak mau masuk ke dalam?" tanya Dewi.
"Iyalah. Mau tau aja kata-kata lo bener apa enggak?!" Wira merasa tak perlu lagi bersikap formal karena mereka sudah tidak berada di lingkungan cafe lagi. Bisa ber elo-gue kalau di luar.
"Mari, Pak!" Dewi yang memimpin jalan sedangkan Wira mengikuti dari belakang.
Biasanya kalau ke ruangan VVIP langganan keluarga mereka jika sakit pusing sedikit saja, dari pintu masuk tidak terlalu jauh dan hanya berbelok ke kanan. Kali ini Wira seakan diajak berkeliling rumah sakit dahulu baru sampai di tempat yang dituju.
Yang membuat bulu kuduk Wira meremang adalah Ia harus melewati kamar jenazah dahulu. Wira bukan cowok pemberani. Ia pun mensejajari langkah Dewi yang tak menyadari kalau bos-nya adalah cowok penakut.
"Jauh banget sih! Lo ngajak gue muter-muter dulu ya biar bisa lama jalan bareng sama gue?!" tuduh Wira.
"Eng... Enggak, Pak! Sumpah! Lift yang dekat pintu masuk tadi penuh dan lift sebelahnya rusak. Jadi daripada lama lebih baik kita naik tangga darurat saja. Kebetulan tangganya memang ada di bagian belakang. Bapak... Takut ya?"
"Gue takut? Kata siapa? Jangan sok tau lo! Gue mah biasa jalan begini di tempat gelap. Ikut uji nyali juga gue berani!" sesumbar Wira dengan sombongnya.
Lalu sesuatu yang tak terduga terjadi. Gumprang....
"Astaghfirullah! Apaan tuh!" ujar Wira yang baru saja melompat kaget.
Dewi menahan senyumnya, tak mau Wira tersinggung kalau tahu Ia menertawakannya. "Kayaknya itu nampan yang jatuh deh! Di belakang kan dapur."
Wira berusaha bersikap tenang. Menyembunyikan kekagetannya. Ia pikir Dewi tak tahu kalau Ia kaget dan terkejut dalam waktu bersamaan. Kalau Ia tahu pasti rasa malu-nya akan bertambah.
Mereka lalu melewati beberapa ruang perawatan yang namanya diambil dari nama bunga. Ada ruang Melati, Mawar dan mereka berhenti di ruangan Anggrek. Mereka lalu menuju ke ruang Anggrek Nomor 303.
Di dalam kamar Anggrek Nomor 303 terdapat 6 buah tempat tidur yang letaknya berhadap-hadapan. Tiga di sebelah kiri dan tiga lagi di sebelah kanan. Semua ranjang tempat tidurnya penuh oleh pasien yang di rawat inap.
Wira yang terbiasa satu ruangan seorang diri kini berada di satu ruangan yang harus berbagi kamar dengan 6 orang pasien. Belum lagi ditambah dengan keluarga mereka yang ikutan menunggu, makin terasa sesak saja. Suasana yang seharusnya tenang, malah jadi berisik dan mengganggu kenyamanan pasien kalau begini caranya.
Wira mengikuti langkah Dewi yang menuju ke bagian paling pojok yang bersebelahan dengan kamar mandi. Lagi-lagi Wira tak habis pikir, ruangan dengan banyak orang ini hanya ada satu kamar mandi saja. Kalau pasien ingin buang air, mereka harus menunggu dong? Sungguh tidak nyaman sekali!
Wira lalu menarik tangan Dewi sebelum Ia masuk ke dalam bilik ruangan milik ayahnya. "Ini nggak salah? Kok banyak banget sih orangnya? Biasanya tuh cuma satu orang di dalam kamar, tapi ini banyak sekali?" bisik Wira yang tak mau sampai ada yang mendengar percakapan mereka berdua.
Dewi sampai geleng-geleng kepala mendengar keheranan Wira. Dalam hatinya Ia bergumam, "Dasar orang kaya! Nggak pernah ngerasain hidup susah kali ya? Ini tuh masih untung bisa dirawat di rumah sakit ini yang bersih dan terawat. Kalau di rumah sakit daerah, mungkin lebih penuh lagi dan tidak terjaga kebersihannya." keluh Dewi menyembunyikan isi hatinya.
Dengan sabar Ia memberitahu Wira kenapa ayahnya dirawat di ruangan ini. "Ini namanya ruang inap kelas 3, Pak. Mungkin Bapak terbiasa di kelas VIP yang hanya berisi satu orang saja dengan kenyamanan seperti berada di hotel. Tentu biaya yang Bapak keluarkan akan sangat besar. Kalau di ruangan ini, biayanya jauh dengan yang Bapak keluarkan. Namun tetap saja, ini merupakan beban bagi saya. Biaya rumah sakit ini menurut saya juga sudah besar. Saya tak mampu pindah ke kelas yang lebih bagus lagi dari ini." kata Dewi menjelaskan. "Saya udah boleh masuk nih Pak?"
Wira hanya bisa mengangguk. Ia mengikuti Dewi dari belakang dan tak langsung masuk ke dalam bilik ruangan Bapaknya Dewi. Ia sengaja berhenti di depan agar keluarga Dewi tak ada yang tahu kalau Ia datang.
Kedatangan Dewi disambut oleh suara laki-laki. Dari caranya berbicara, bisa dipastikan kalau Ia adalah adiknya. "Kak Dewi, gimana? Dapat kan uangnya? Kata dokter kita harus deposit lima juta dulu. Bapak harus dioperasi Kak secepatnya! Kakak gak mau kan kalau Bapak sampai cacat seumur hidup?!"
Wira mendengarkan percakapan mereka dalam diam. Terdengar Dewi tidak menjawab pertanyaan adiknya sama sekali. Adiknya lalu bertanya lagi kepada Dewi. "Jangan bilang kalau Kakak belum dapat uangnya?! Kak, cuma Kakak harapan kita satu-satunya! Kakak kan bisa pinjam di kantor Kakak, atau pinjam kek sama temen Kakak! Kita harus cepat mengoperasi Bapak, Kak! Nanti, kalau Bapak sudah sembuh pasti Bapak akan membantu kita mencari nafkah lagi untuk keluarga. Pasti Bapak akan melunasi utang-utangnya. Bilang aja sama temen Kakak, kita pasti akan ganti!"
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Dewi. Anak itu benar-benar membutuhkan uang untuk biaya operasi Bapaknya. Ia satu-satunya tumpuan keluarga yang diharapkan dapat membawa uang untuk biaya operasi Bapaknya. Namun, kedatangan Dewi tanpa membawa uang sama sekali merupakan sesuatu yang mengecewakan bagi keluarganya.
Wira lalu mendengar suara perempuan yang lebih tua. Sepertinya, beliau adalah Ibunya Dewi. "Apa Ibu pinjam saja ya sama rentenir yang waktu itu Bapak pinjam? Pasti kita akan dikasih! Nanti bilang aja, kita akan bayar beserta bunganya. Yang penting Bapak harus segera dioperasi!"
"Jangan, Bu! Pinjam di rentenir itu bukanmya menyelesaikan masalah, justru kita akan terjerat ke dalam hutang yang lebih besar lagi! Kita mau bayar pakai apa? Kita udah nggak punya apa-apa lagi, Bu! Kita saja tinggal di kontrakan, enggak punya rumah seperti orang lain. Kita mau bayar pakai apa? Kalau mereka sampai mencelakakan kita bagaimana?" kata Dewi yang terdengar ketakutan dan putus asa. Wira mendengar suara Dewi bergetar menahan air mata dan kemarahan dalam dirinya.
Kasihan... Beginilah hidup Dewi sebagai generasi sandwich. Harus kuat demi menopang keluarganya. Beginilah potret hidup keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Hidup terlalu kejam, tak segan mencekik orang yang sudah susah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Bunda Aish
banyak curhat'an generasi sandwich gini di medsos, ada yang betul² karena musibah di keluarga nya tp ada juga karena gaya hidup 🤷
2024-04-12
0
dyul
miris😭😭😭😭
2024-03-24
0
Marlina Palembang
ayo bantuin dong wira
2023-02-28
0