Dicintai Makhluk Halus

Dicintai Makhluk Halus

Chapter 01

"Ayu, ini ada sedikit makanan sisa dari hajatan di rumahnya Mpok Minah. Ini masih layak makan kok, cuma karena kebanyakkan jadi nggak habis." Ucap kak Mirna sambil menyerahkan kantong plastik berwarna hitam padaku.

Aku yang baru saja pulang dari mencari kayu bakar, sedikit terkejut sekaligus senang. Pasalnya, hari ini aku hanya makan saat pagi saja. Sekarang sudah hampir maghrib, tetapi perutku belum diisi untuk kedua kalinya.

"Waaah, terimakasih ya kak Mirna." Ucap ku sambil meraih kantong plastik itu sambil tersenyum sumringah.

"Iya, sama-sama. Ya udah, kalau gitu kakak langsung pulang."

Aku lalu membereskan hasil kayu bakar yang aku dapatkan tadi dan meletakkannya di samping gubuk ku, karena besok masih harus di jemur terlebih dahulu karena masih sedikit basah. Aku lalu membawa masuk kantong plastik itu, mengambil piring dan sendok juga segelas air minum.

Aku lalu duduk di atas dipan bambu kemudian segera membuka kantong plastik itu, terlihat nasi yang di bungkus dengan daun pisang, juga ada sedikit lauk berupa sepotong ayam dan sedikit sayuran.

"Alhamdulilah."

Aku menyalin semuanya kedalam piringku lalu melahapnya.

Sangat jarang sekali aku bisa makan makanan seperti ini, jika ada acara atau hajatan di desaku, kak Mirna lah yang selalu membawakan makanan sisa untukku. Makanan sisa hanyalah sebutan, karena makanan di rumah orang hajatan yang terlalu banyak. Jadi, ketika acara selesai dan makanan masih banyak, tuan rumah akan membagi-bagikan makanannya.

Aku ayu Sulastri, umurku saat ini masih 19 tahun. Hidup di sebuah desa yang terbilang jauh di pelosok. Jika harus ke kota, akan butuh waktu sekitar dua jam perjalanan menggunakan kendaraan seperti motor atau mobil. Meskipun begitu, di desaku hampir 85% penduduknya kaya. Terlihat dari rumahnya yang perlahan-lahan makin modern dan bergaya seperti rumah-rumah di perkotaan.

Sedangkan aku adalah seorang gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara, tidak punya keluarga dan saudara, bahkan adik atau kakak pun tidak punya. Jika makan, aku selalu mengandalkan sawah para penduduk desa. Di sawah, banyak sekali di tumbuhi kangkung. Tak jarang juga aku memetik genjer.

Aku tidak pernah memegang uang. Jika penduduk desa meminta bantuan ku seperti meminta mencarikan kayu bakar atau sekedar memberi pakan ternak, aku akan diupah sepiring nasi beserta lauknya. Akupun tak masalah, karena jika uang pun aku juga akan membelikan makanan.

Aku bersendawa sembari mengucapkan syukur, karena malam ini aku bisa tidur dengan keadaan perut yang kenyang. Tapi tidak tau jika esok hari, mungkin aku akan kembali memetik kangkung di sawah.

Pagi hari telah datang, seperti biasa aku selalu bangun pagi. Kegiatanku setiap pagi hanya menyuci baju dan piring di sungai, ya aku masih melakukannya di sungai. Juga mandi dan sebagainya, jika ingin buang air, ada tempat khusus yang dibuat oleh salah seorang warga yang kasihan padaku. Seperti pondok kecil yang pembuangannya juga masih di sungai yang sama, untuk mencuci dan mandi pun ada tempat khususnya juga. Hanya aku yang menggunakan sungai itu, tak ada yang lain, karena rata-rata mayoritas warga desa sudah memiliki sumur dan kamar mandi di dalam rumah.

Merapikan rambut dan membersihkan tempat tidur sederhanaku, lalu bergegas menuju dapur dan membawa dua ember yang masing-masing berisi pakaian kotor dan piring kotor. Aku lalu keluar dari pintu kecil yang berada di belakang gubukku, lalu berjalan menuju sungai yang cukup besar berada di belakang gubukku.

Aku harus berjalan menurun, tanah yang ku buat seperti tangga, membuatku tidak kesulitan saat menuruni lereng menuju ke sungai. Berjalan perlahan, hingga tibalah di sungai. Baru saja akan berjongkok, ada sesuatu yang perih terasa di perutku. Ya tentu, aku sudah mulai merasa kelaparan.

Aku memulai kegiatan mencuciku, tidak butuh waktu lama, karena pakaian kotor dan piring kotorku tidak banyak. Aku juga hanya punya beberapa, juga makanpun tidak pernah sampai tiga kali sehari. Setelah selesai, aku kembali naik menuju gubukku dan mengambil pancing yang terbuat dari bambu kecil.

Aku kembali ke sungai, dengan cacing sebagai umpannya, dengan semangat aku melemparkan pancingku ke tengah-tengah sungai. Saat sedang asyik aku menunggu dan berharap agar pancingku di makan ikan, aku melihat di bagian sungai sebelah kanan seperti ada sesuatu yang menarik perhatianku.

BLURB!!! BLURB!!!

Air sungai itu mengeluarkan gelembung-gelembung, seperti ada sesuatu di dalamnya. Aku semakin memfokuskan mataku kearah itu dan aku seketika terkejut, ada sesosok pemuda yang tiba-tiba keluar dari dalam sungai. Padahal aku pun tidak pernah masuk kedalamnya, karena diperkirakan bahwa sungai itu sangatlah dalam.

"Hey, maaf. Apakah kamu terkejut? Aku sedang mencari ikan disini, maafkan aku jika kamu terkejut." ucapnya.

Aku melihat pemuda itu seperti tengah berdiri di tengah-tengah sungai itu, aku masih menatapnya heran sekaligus tidak percaya.

"I-iya, aku sedikit terkejut. Pasalnya, air sungai itu sangatlah dalam. Tapi kenapa kamu seperti sedang berdiri di dalamnya?"

"Ha? Dalam? Tidak, ini tidak dalam. Lihatlah, hanya sebatas pinggangku. Apa kamu tidak pernah masuk kedalam sungai ini?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Tidak, air sungai ini sangatlah dalam. Aku tidak berani untuk masuk, sudah ada tempat ini. Jadi, aku tidak perlu masuk."

"Bagaimana bisa kamu langsung menilai bahwa sungai ini dalam, sedangkan kamu belum pernah coba masuk?"

Aku terdiam, dalam hati membenarkan ucapan pemuda itu. Kulihat, pemuda itu berjalan ketepian, mendekat kearahku dan duduk di sebuah batu.

"Apa kamu tinggal disini?" tanyanya.

"Disini? Oh, tentu tidak disungai ini. Aku tinggal di gubuk di atas sana," jawabku sambil menunjuk gubukku yang bisa di lihat dari sungai.

Dia melihat kearah dimana tunjukku mengarah, dia kemudian mengangguk.

"Lalu, kamu berasal dari desa mana? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, dan juga selain aku tidak ada warga desa lain yang menggunakan sungai ini,"

Dia sedikit terkejut mendengar pertanyaanku, dia tidak menjawab, kulihat sepertinya dia berusaha mengeringkan tubuhnya. Karena kasihan, aku lalu mengambil handukku dan memberikan padanya.

"Oh, terimakasih."

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu berasal dari mana?"

"Emmm, aku berasal dari kampung sebelah. Selama ini aku tinggal kota, dan sudah dua hari ini pulang kedesa." Jawabnya.

Aku mengangguk tanda mengerti, lalu memfokuskan kembali kepancingku. Aku menatap nanar dan penuh harap, tapi sepertinya ikan-ikan disungai tidak mau memakan umpannya.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Aku sedang memancing, sudah hampir satu jam tapi tidak ada ikan yang memakan umpannya." Jawabku sambil meremas perut yang semakin perih. "Aku harus naik, mungkin aku akan memetik kangkung di sawah para penduduk sini."

Aku lalu menarik pancingku dan bergegas pergi dari sungai itu, kulihat pemuda itu hanya menatapku dari jauh. Ah, masa bodo. Perutku yang paling penting saat ini. Aku masuk kedalam gubuk, meletakkan pancingku ketempatnya, lalu mengambil sebuah keranjang kecil untuk tempat yang biasa aku gunakan ketika memetik kangkung dan genjer.

Setelah itu aku membuka pintu dan keluar, betapa terkejutnya aku sesaat pintu gubukku terbuka. Pemuda yang aku temui di sungai tadi kini telah berdiri tepat di depan pintu dan di depan ku, dia langsung tersenyum ketika melihatku membuka pintu.

"Kamu? Dari mana kamu tau rumahku?" Tanyaku.

"Hah? Bukannya kamu sendiri yang menunjuk rumahmu saat disungai tadi?" Jawabnya masih tersenyum.

"Oh, iya benar. Aku lupa, kalau begitu aku kesawah dulu. Mau memetik kangkung jika ada," Ucapku kemudian kembali melangkah.

"Tunggu! Ini aku dapat beberapa ekor ikan, kamu bisa mengambilnya jika mau. Aku sudah tidak berminat untuk memakannya."

Aku menoleh seketika saat mendengar dia berkata seperti itu, mataku langsung berbinar saat menatap ikan yang dia bawa di tangannya.

"Untukku? Apa kamu yakin?"

"Ya, tentu. Aku sudah tidak berminat lagi makan ikan, aku hanya sekedar hoby saja menangkap atau memancing ikan. Ambilah!"

Dengan sedikit ragu, tanganku mulai meraih ikan itu. Namun, aku urung melakukannya.

"Maaf, tapi kita baru saja bertemu. Bagaimana bisa kamu mau memberikan begitu saja ikan yang hasil dari tangkapanmu sendiri dengan susah payah? Kamu bahkan menyelam kesungai yang menurutku sangat dalam itu."

"Hahaha, itu tak masalah. Ambilah, aku tidak punya maksud apa-apa. Hanya ingin berbagi saja, jika kamu tidak mau semuanya, ambillah beberapa dan sisanya untukku."

Aku menatap ragu padanya, akhirnya mau tak mau aku meraih ikan yang berada di tangannya itu.

"Baiklah, terimakasih. Aku ambil satu saja, itu akan cukup hingga makan malam nanti." ucapku.

"Oh, baiklah. Hmm, dari tadi kita belum saling mengenal satu sama lain. Aku Raja, jika tidak keberatan, bisakah kamu memberitahu namamu?" Ucap nya sambil menyodorkan tangannya padaku.

"Oh, ya tentu. Namaku Ayu, aku harus segera memasak. Ini sudah hampir siang, aku belum makan apa-apa sejak tadi."

"Memasak? Bolehkah aku bantu?"

"Oh, tidak terimakasih. Lagian tidak enak dilihat oleh penduduk desa, jika ada seorang laki-laki yang masuk kedalam rumah seorang gadis yang hidup sendiri. Lebih baik kamu pulang saja, bukan maksud mengusir, aku harap kamu bisa mengerti." Ucapku berusaha sesopan mungkin.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi, bisakah esok aku datang lagi? Emm, sekedar untuk mengobrol saja, tidak lebih."

"Entahlah, aku tidak memastikan jika esok aku ada dirumah."

"Begitukah? Baiklah. Aku akan pulang, senang bertemu dan berkenalan denganmu."

Aku tak menjawab, hanya menanggapinya dengan tersenyum dan mengangguk. Pemuda yang mengaku bernama Raja itu pun berlalu dari gubukku, tapi seperti ada yang aneh. Dia bilang bahwa dia berasal dari desa sebelah, tapi kenapa saat dia bilang ingin pulang, dia berjalan kearah sungai? Padahal di sekitaran sungai, hanya ada rumahku saja. Itupun sedikit jauh letaknya, tapi kenapa pemuda itu malah kearah sana?.

Lagi-lagi aku tak perduli, ikan ditanganku yang lumayan besar ini sepertinya telah menunggu untuk disantap. Aku lalu membawanya kedapur, membersihkannya lalu membalurinya garam. Oh, aku tidak pernah mampu untuk membeli sekarung beras. Jika aku makan, aku hanya makan dengan lauknya saja tanpa adanya nasi.

Maka dari itu, jika ada yang memberikan makanan sisa dari sebuah hajatan, itu adalah hal yang aku nanti-nantikan. Makanan dari sisa hajatan menurutku adalah makanan mewah, karena aku sangat jarang sekali bisa makan nasi. Seperti ikan ini, aku hanya akan membakarnya saja. Aku tidak punya minyak untuk menggoreng, setelah dibakar, aku akan memakannya begitu saja tanpa nasi.

Meski begitu, aku bersyukur perut ku masih bisa terisi. Aku tidak mengeluh dengan keadaanku seperti ini, aku selalu menjalaninya dengan sepenuh hati.

Sudah sore, entah kenapa tidak ada satupun warga desa yang memintaku untuk mencarikan kayu bakar. Biasanya hampir setiap hari ada saja yang memintaku untuk di Carikan kayu bakar, aku hanya bisa duduk di depan pintu gubukku sambil menatap kearah hamparan sawah yang sedikit jauh dari gubukku.

"Eh, Ayu. Nggak baik anak perawan melamun sendirian,"

Aku tersentak kaget dan reflek melihat kearah sumber suara, ternyata itu mba Minah yang datang.

"Oh, mba Minah. Dari mana mba?"

"Ini, habis dari warung. Pas lewat, eh mba lihat kamu ngelamun sendiri."

Aku tak menjawab, hanya tersenyum menanggapi ucapan mba Minah.

"Oh ya, Ayu. Umurmu sekarang sudah 19 tahun kan?" Tanya mba Minah tiba-tiba.

"Iya mba, memangnya kenapa?"

"Kenapa tidak menikah saja? Sudah lama sekali kamu itu tinggal dan hidup seperti ini, jika menikah hidupmu setidaknya ada yang menjamin,"

Aku menatap lekat mata mba Minah cukup lama, entah kenapa perempuan yang hampir memasuki umur 25 tahun itu berkata seperti itu padaku. Padahal dirinya sendiripun juga belum menikah, aku lagi-lagi tidak menanggapi ucapannya dan hanya tertawa kecil saja.

"Kamu itu gadis manis dek, pasti ada yang mau menikahimu,"

"Iya mba, aku pasti menikah jika jodohku sudah datang." Jawabku sesingkatnya.

"Terserah deh, ya udah. Mba mau pulang dulu, jangan melamun lagi."

Akhirnya mba Minah pergi, hampir setiap bertemu mba Minah selalu mengucapkan kata-kata itu. Bagaimana mau menikah, setiap pemuda yang melihatku saja seperti tidak dianggap. Aku tau sebabnya karena statusku, gadis sebatang kara dan miskin. Siapa yang bersedia meminangku.

Karena rasa kantuk tiba-tiba menyerang, aku akhirnya masuk kedalam gubukku dan menutup pintu kecil yang terbuat dari sebatang papan. Aku berjalan sedikit menuju dipan, dimana tempat yang selama ini menjadi alas tidurku.

Baru saja aku ingin memejamkan mata, tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang diketuk. Dengan sedikit malas aku mendekat membuka pintu, saat terbuka, terlihat mba Minah yang tengah berdiri di depanku.

"Eh, mba Minah lagi. Ada apa mba?"

"Ini Ayu, mba lupa bilang sama kamu, kalau besok di rumahnya pak Sapri ada hajatan kawinan anaknya yang sulung. Jadi kamu di minta untuk mencari kayu bakar, terserah berapa banyak yang sanggup kamu dapatkan. Yang penting, dua hari kedepan kamu sudah mengumpulkan kayu bakarnya."

Mendengar itu, aku sangat senang. Kalau masalah mencari kayu bakar aku ahlinya, aku pasti akan dapatkan banyak.

"Oh, baik mba. Mulai besok pagi aku akan mulai cari kayu bakarnya, didaerah sungai ada banyak kayu."

"Baiklah kalau begitu."

Mba Minah pun berbalik berniat pulang, tapi entah kenapa dia kembali berbalik menatap kearahku.

"Mba juga baru ingat, kalau tadi... Mba liat kamu seperti berbicara sama seseorang, tapi kok mba nggak liat kamu bicara sama siapa??"

"Hah? Ooo, tadi ada pemuda dari desa sebelah bertemu denganku di sungai saat mencuci tadi. Apa iya mba nggak liat orangnya?"

"Iya, mba liat kamu seperti bicara sendiri. Tapi entahlah, mba juga nggak yakin. Memang dua bulan belakangan ini, mata mba bermasalah. Sepertinya mba harus beli kacamata, ya sudah mba pulang dulu."

Aku melupakan apa yang barusan di katakan oleh mba Minah, aku hanya merasakan bahagia karena ada kerjaan dari pak Sapri untuk cari kayu bakar. Aku akan makan makanan mewah lagi, hari ini aku harus istirahat dulu. Dua jam setelahnya aku harus mandi, karena kalau sudah gelap aku tidak berani untuk kesungai.

Terpopuler

Comments

Rasti Rasti

Rasti Rasti

Masya Allah, dari novel ini aku bisa belajar banyak, meskipun hany sebuah imajinasi tapi cukup membuat saya memetik banyak pelajaran, bahwa syukur harus tetap di tanamkan, sedikit banyaknya sebab diluar sana banyak yang ingin seperti saya tapi mereka tidak bisa.


Dedi Thor dengan kisah nya ayu

2022-10-27

0

Keysa_Bom

Keysa_Bom

hallo kak salam kenal dari " Menikahi Pria Tua " yuk boleh mampir 😘😘😊😊

2022-07-03

0

Euis Nina

Euis Nina

aku mampir kak, , yg barusan komen di fb (@alfiansyah nugraha)

2022-07-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!