NovelToon NovelToon

Dicintai Makhluk Halus

Chapter 01

"Ayu, ini ada sedikit makanan sisa dari hajatan di rumahnya Mpok Minah. Ini masih layak makan kok, cuma karena kebanyakkan jadi nggak habis." Ucap kak Mirna sambil menyerahkan kantong plastik berwarna hitam padaku.

Aku yang baru saja pulang dari mencari kayu bakar, sedikit terkejut sekaligus senang. Pasalnya, hari ini aku hanya makan saat pagi saja. Sekarang sudah hampir maghrib, tetapi perutku belum diisi untuk kedua kalinya.

"Waaah, terimakasih ya kak Mirna." Ucap ku sambil meraih kantong plastik itu sambil tersenyum sumringah.

"Iya, sama-sama. Ya udah, kalau gitu kakak langsung pulang."

Aku lalu membereskan hasil kayu bakar yang aku dapatkan tadi dan meletakkannya di samping gubuk ku, karena besok masih harus di jemur terlebih dahulu karena masih sedikit basah. Aku lalu membawa masuk kantong plastik itu, mengambil piring dan sendok juga segelas air minum.

Aku lalu duduk di atas dipan bambu kemudian segera membuka kantong plastik itu, terlihat nasi yang di bungkus dengan daun pisang, juga ada sedikit lauk berupa sepotong ayam dan sedikit sayuran.

"Alhamdulilah."

Aku menyalin semuanya kedalam piringku lalu melahapnya.

Sangat jarang sekali aku bisa makan makanan seperti ini, jika ada acara atau hajatan di desaku, kak Mirna lah yang selalu membawakan makanan sisa untukku. Makanan sisa hanyalah sebutan, karena makanan di rumah orang hajatan yang terlalu banyak. Jadi, ketika acara selesai dan makanan masih banyak, tuan rumah akan membagi-bagikan makanannya.

Aku ayu Sulastri, umurku saat ini masih 19 tahun. Hidup di sebuah desa yang terbilang jauh di pelosok. Jika harus ke kota, akan butuh waktu sekitar dua jam perjalanan menggunakan kendaraan seperti motor atau mobil. Meskipun begitu, di desaku hampir 85% penduduknya kaya. Terlihat dari rumahnya yang perlahan-lahan makin modern dan bergaya seperti rumah-rumah di perkotaan.

Sedangkan aku adalah seorang gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara, tidak punya keluarga dan saudara, bahkan adik atau kakak pun tidak punya. Jika makan, aku selalu mengandalkan sawah para penduduk desa. Di sawah, banyak sekali di tumbuhi kangkung. Tak jarang juga aku memetik genjer.

Aku tidak pernah memegang uang. Jika penduduk desa meminta bantuan ku seperti meminta mencarikan kayu bakar atau sekedar memberi pakan ternak, aku akan diupah sepiring nasi beserta lauknya. Akupun tak masalah, karena jika uang pun aku juga akan membelikan makanan.

Aku bersendawa sembari mengucapkan syukur, karena malam ini aku bisa tidur dengan keadaan perut yang kenyang. Tapi tidak tau jika esok hari, mungkin aku akan kembali memetik kangkung di sawah.

Pagi hari telah datang, seperti biasa aku selalu bangun pagi. Kegiatanku setiap pagi hanya menyuci baju dan piring di sungai, ya aku masih melakukannya di sungai. Juga mandi dan sebagainya, jika ingin buang air, ada tempat khusus yang dibuat oleh salah seorang warga yang kasihan padaku. Seperti pondok kecil yang pembuangannya juga masih di sungai yang sama, untuk mencuci dan mandi pun ada tempat khususnya juga. Hanya aku yang menggunakan sungai itu, tak ada yang lain, karena rata-rata mayoritas warga desa sudah memiliki sumur dan kamar mandi di dalam rumah.

Merapikan rambut dan membersihkan tempat tidur sederhanaku, lalu bergegas menuju dapur dan membawa dua ember yang masing-masing berisi pakaian kotor dan piring kotor. Aku lalu keluar dari pintu kecil yang berada di belakang gubukku, lalu berjalan menuju sungai yang cukup besar berada di belakang gubukku.

Aku harus berjalan menurun, tanah yang ku buat seperti tangga, membuatku tidak kesulitan saat menuruni lereng menuju ke sungai. Berjalan perlahan, hingga tibalah di sungai. Baru saja akan berjongkok, ada sesuatu yang perih terasa di perutku. Ya tentu, aku sudah mulai merasa kelaparan.

Aku memulai kegiatan mencuciku, tidak butuh waktu lama, karena pakaian kotor dan piring kotorku tidak banyak. Aku juga hanya punya beberapa, juga makanpun tidak pernah sampai tiga kali sehari. Setelah selesai, aku kembali naik menuju gubukku dan mengambil pancing yang terbuat dari bambu kecil.

Aku kembali ke sungai, dengan cacing sebagai umpannya, dengan semangat aku melemparkan pancingku ke tengah-tengah sungai. Saat sedang asyik aku menunggu dan berharap agar pancingku di makan ikan, aku melihat di bagian sungai sebelah kanan seperti ada sesuatu yang menarik perhatianku.

BLURB!!! BLURB!!!

Air sungai itu mengeluarkan gelembung-gelembung, seperti ada sesuatu di dalamnya. Aku semakin memfokuskan mataku kearah itu dan aku seketika terkejut, ada sesosok pemuda yang tiba-tiba keluar dari dalam sungai. Padahal aku pun tidak pernah masuk kedalamnya, karena diperkirakan bahwa sungai itu sangatlah dalam.

"Hey, maaf. Apakah kamu terkejut? Aku sedang mencari ikan disini, maafkan aku jika kamu terkejut." ucapnya.

Aku melihat pemuda itu seperti tengah berdiri di tengah-tengah sungai itu, aku masih menatapnya heran sekaligus tidak percaya.

"I-iya, aku sedikit terkejut. Pasalnya, air sungai itu sangatlah dalam. Tapi kenapa kamu seperti sedang berdiri di dalamnya?"

"Ha? Dalam? Tidak, ini tidak dalam. Lihatlah, hanya sebatas pinggangku. Apa kamu tidak pernah masuk kedalam sungai ini?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Tidak, air sungai ini sangatlah dalam. Aku tidak berani untuk masuk, sudah ada tempat ini. Jadi, aku tidak perlu masuk."

"Bagaimana bisa kamu langsung menilai bahwa sungai ini dalam, sedangkan kamu belum pernah coba masuk?"

Aku terdiam, dalam hati membenarkan ucapan pemuda itu. Kulihat, pemuda itu berjalan ketepian, mendekat kearahku dan duduk di sebuah batu.

"Apa kamu tinggal disini?" tanyanya.

"Disini? Oh, tentu tidak disungai ini. Aku tinggal di gubuk di atas sana," jawabku sambil menunjuk gubukku yang bisa di lihat dari sungai.

Dia melihat kearah dimana tunjukku mengarah, dia kemudian mengangguk.

"Lalu, kamu berasal dari desa mana? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, dan juga selain aku tidak ada warga desa lain yang menggunakan sungai ini,"

Dia sedikit terkejut mendengar pertanyaanku, dia tidak menjawab, kulihat sepertinya dia berusaha mengeringkan tubuhnya. Karena kasihan, aku lalu mengambil handukku dan memberikan padanya.

"Oh, terimakasih."

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu berasal dari mana?"

"Emmm, aku berasal dari kampung sebelah. Selama ini aku tinggal kota, dan sudah dua hari ini pulang kedesa." Jawabnya.

Aku mengangguk tanda mengerti, lalu memfokuskan kembali kepancingku. Aku menatap nanar dan penuh harap, tapi sepertinya ikan-ikan disungai tidak mau memakan umpannya.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Aku sedang memancing, sudah hampir satu jam tapi tidak ada ikan yang memakan umpannya." Jawabku sambil meremas perut yang semakin perih. "Aku harus naik, mungkin aku akan memetik kangkung di sawah para penduduk sini."

Aku lalu menarik pancingku dan bergegas pergi dari sungai itu, kulihat pemuda itu hanya menatapku dari jauh. Ah, masa bodo. Perutku yang paling penting saat ini. Aku masuk kedalam gubuk, meletakkan pancingku ketempatnya, lalu mengambil sebuah keranjang kecil untuk tempat yang biasa aku gunakan ketika memetik kangkung dan genjer.

Setelah itu aku membuka pintu dan keluar, betapa terkejutnya aku sesaat pintu gubukku terbuka. Pemuda yang aku temui di sungai tadi kini telah berdiri tepat di depan pintu dan di depan ku, dia langsung tersenyum ketika melihatku membuka pintu.

"Kamu? Dari mana kamu tau rumahku?" Tanyaku.

"Hah? Bukannya kamu sendiri yang menunjuk rumahmu saat disungai tadi?" Jawabnya masih tersenyum.

"Oh, iya benar. Aku lupa, kalau begitu aku kesawah dulu. Mau memetik kangkung jika ada," Ucapku kemudian kembali melangkah.

"Tunggu! Ini aku dapat beberapa ekor ikan, kamu bisa mengambilnya jika mau. Aku sudah tidak berminat untuk memakannya."

Aku menoleh seketika saat mendengar dia berkata seperti itu, mataku langsung berbinar saat menatap ikan yang dia bawa di tangannya.

"Untukku? Apa kamu yakin?"

"Ya, tentu. Aku sudah tidak berminat lagi makan ikan, aku hanya sekedar hoby saja menangkap atau memancing ikan. Ambilah!"

Dengan sedikit ragu, tanganku mulai meraih ikan itu. Namun, aku urung melakukannya.

"Maaf, tapi kita baru saja bertemu. Bagaimana bisa kamu mau memberikan begitu saja ikan yang hasil dari tangkapanmu sendiri dengan susah payah? Kamu bahkan menyelam kesungai yang menurutku sangat dalam itu."

"Hahaha, itu tak masalah. Ambilah, aku tidak punya maksud apa-apa. Hanya ingin berbagi saja, jika kamu tidak mau semuanya, ambillah beberapa dan sisanya untukku."

Aku menatap ragu padanya, akhirnya mau tak mau aku meraih ikan yang berada di tangannya itu.

"Baiklah, terimakasih. Aku ambil satu saja, itu akan cukup hingga makan malam nanti." ucapku.

"Oh, baiklah. Hmm, dari tadi kita belum saling mengenal satu sama lain. Aku Raja, jika tidak keberatan, bisakah kamu memberitahu namamu?" Ucap nya sambil menyodorkan tangannya padaku.

"Oh, ya tentu. Namaku Ayu, aku harus segera memasak. Ini sudah hampir siang, aku belum makan apa-apa sejak tadi."

"Memasak? Bolehkah aku bantu?"

"Oh, tidak terimakasih. Lagian tidak enak dilihat oleh penduduk desa, jika ada seorang laki-laki yang masuk kedalam rumah seorang gadis yang hidup sendiri. Lebih baik kamu pulang saja, bukan maksud mengusir, aku harap kamu bisa mengerti." Ucapku berusaha sesopan mungkin.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi, bisakah esok aku datang lagi? Emm, sekedar untuk mengobrol saja, tidak lebih."

"Entahlah, aku tidak memastikan jika esok aku ada dirumah."

"Begitukah? Baiklah. Aku akan pulang, senang bertemu dan berkenalan denganmu."

Aku tak menjawab, hanya menanggapinya dengan tersenyum dan mengangguk. Pemuda yang mengaku bernama Raja itu pun berlalu dari gubukku, tapi seperti ada yang aneh. Dia bilang bahwa dia berasal dari desa sebelah, tapi kenapa saat dia bilang ingin pulang, dia berjalan kearah sungai? Padahal di sekitaran sungai, hanya ada rumahku saja. Itupun sedikit jauh letaknya, tapi kenapa pemuda itu malah kearah sana?.

Lagi-lagi aku tak perduli, ikan ditanganku yang lumayan besar ini sepertinya telah menunggu untuk disantap. Aku lalu membawanya kedapur, membersihkannya lalu membalurinya garam. Oh, aku tidak pernah mampu untuk membeli sekarung beras. Jika aku makan, aku hanya makan dengan lauknya saja tanpa adanya nasi.

Maka dari itu, jika ada yang memberikan makanan sisa dari sebuah hajatan, itu adalah hal yang aku nanti-nantikan. Makanan dari sisa hajatan menurutku adalah makanan mewah, karena aku sangat jarang sekali bisa makan nasi. Seperti ikan ini, aku hanya akan membakarnya saja. Aku tidak punya minyak untuk menggoreng, setelah dibakar, aku akan memakannya begitu saja tanpa nasi.

Meski begitu, aku bersyukur perut ku masih bisa terisi. Aku tidak mengeluh dengan keadaanku seperti ini, aku selalu menjalaninya dengan sepenuh hati.

Sudah sore, entah kenapa tidak ada satupun warga desa yang memintaku untuk mencarikan kayu bakar. Biasanya hampir setiap hari ada saja yang memintaku untuk di Carikan kayu bakar, aku hanya bisa duduk di depan pintu gubukku sambil menatap kearah hamparan sawah yang sedikit jauh dari gubukku.

"Eh, Ayu. Nggak baik anak perawan melamun sendirian,"

Aku tersentak kaget dan reflek melihat kearah sumber suara, ternyata itu mba Minah yang datang.

"Oh, mba Minah. Dari mana mba?"

"Ini, habis dari warung. Pas lewat, eh mba lihat kamu ngelamun sendiri."

Aku tak menjawab, hanya tersenyum menanggapi ucapan mba Minah.

"Oh ya, Ayu. Umurmu sekarang sudah 19 tahun kan?" Tanya mba Minah tiba-tiba.

"Iya mba, memangnya kenapa?"

"Kenapa tidak menikah saja? Sudah lama sekali kamu itu tinggal dan hidup seperti ini, jika menikah hidupmu setidaknya ada yang menjamin,"

Aku menatap lekat mata mba Minah cukup lama, entah kenapa perempuan yang hampir memasuki umur 25 tahun itu berkata seperti itu padaku. Padahal dirinya sendiripun juga belum menikah, aku lagi-lagi tidak menanggapi ucapannya dan hanya tertawa kecil saja.

"Kamu itu gadis manis dek, pasti ada yang mau menikahimu,"

"Iya mba, aku pasti menikah jika jodohku sudah datang." Jawabku sesingkatnya.

"Terserah deh, ya udah. Mba mau pulang dulu, jangan melamun lagi."

Akhirnya mba Minah pergi, hampir setiap bertemu mba Minah selalu mengucapkan kata-kata itu. Bagaimana mau menikah, setiap pemuda yang melihatku saja seperti tidak dianggap. Aku tau sebabnya karena statusku, gadis sebatang kara dan miskin. Siapa yang bersedia meminangku.

Karena rasa kantuk tiba-tiba menyerang, aku akhirnya masuk kedalam gubukku dan menutup pintu kecil yang terbuat dari sebatang papan. Aku berjalan sedikit menuju dipan, dimana tempat yang selama ini menjadi alas tidurku.

Baru saja aku ingin memejamkan mata, tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang diketuk. Dengan sedikit malas aku mendekat membuka pintu, saat terbuka, terlihat mba Minah yang tengah berdiri di depanku.

"Eh, mba Minah lagi. Ada apa mba?"

"Ini Ayu, mba lupa bilang sama kamu, kalau besok di rumahnya pak Sapri ada hajatan kawinan anaknya yang sulung. Jadi kamu di minta untuk mencari kayu bakar, terserah berapa banyak yang sanggup kamu dapatkan. Yang penting, dua hari kedepan kamu sudah mengumpulkan kayu bakarnya."

Mendengar itu, aku sangat senang. Kalau masalah mencari kayu bakar aku ahlinya, aku pasti akan dapatkan banyak.

"Oh, baik mba. Mulai besok pagi aku akan mulai cari kayu bakarnya, didaerah sungai ada banyak kayu."

"Baiklah kalau begitu."

Mba Minah pun berbalik berniat pulang, tapi entah kenapa dia kembali berbalik menatap kearahku.

"Mba juga baru ingat, kalau tadi... Mba liat kamu seperti berbicara sama seseorang, tapi kok mba nggak liat kamu bicara sama siapa??"

"Hah? Ooo, tadi ada pemuda dari desa sebelah bertemu denganku di sungai saat mencuci tadi. Apa iya mba nggak liat orangnya?"

"Iya, mba liat kamu seperti bicara sendiri. Tapi entahlah, mba juga nggak yakin. Memang dua bulan belakangan ini, mata mba bermasalah. Sepertinya mba harus beli kacamata, ya sudah mba pulang dulu."

Aku melupakan apa yang barusan di katakan oleh mba Minah, aku hanya merasakan bahagia karena ada kerjaan dari pak Sapri untuk cari kayu bakar. Aku akan makan makanan mewah lagi, hari ini aku harus istirahat dulu. Dua jam setelahnya aku harus mandi, karena kalau sudah gelap aku tidak berani untuk kesungai.

Chapter 02

POV Raja Mahendra.

"Mohon ampun, Baginda. Anda mau kemana?"

Aku berhenti seketika mendengar suara tersebut, menghela nafas dengan berat. Begitu sulit untuk meninggalkan singgasanaku itu, bahkan untuk menyendiri saja sangat tidak mudah. Para pengawal selalu mengikuti kemanapun aku melangkah, itu semua siapa lagi kalau bukan perintah dari ibu, aku bahkan tida pernah meminta untuk menjagaku terlalu ketat.

"Saya hanya ingin berjalan-jalan sebentar, tolong biarkan saya sendiri sejenak." Jawabku tegas.

"Mohon ampun, Baginda. Tapi ini sudah perintah dari ibu suri untuk selalu menjaga Baginda kemanapun Baginda pergi, hamba mohon jangan hentikan hamba." Ucap pengawal itu dengan badan yang menunduk.

"Kembalilah ke tempatmu, saya pastikan bahwa ibu tidak akan mengetahuinya. Berikan aku waktu sesekali untuk sendiri, pergilah!!"

"Ba-baiklah Baginda, saya permisi."

Akhirnya aku bisa keluar dari istana ini, sejak kecil aku selalu dikurung diistana besar nan megah ini. Ya, siapapun yang melihat nya akan beranggapan seperti itu. Tapi lain hal nya denganku yang sudah benar-benar bosan.

Aku Raja Mahendra, seperti namaku, aku adalah seorang raja yang memimpin satu-satu nya kerajaan di sungai Cendradana.

Bedanya, aku beserta rakyat-rakyatku, tidak ada satupun manusia yang bisa melihat keberadaan kami. Dunia kami dan dunia manusia berbeda, namun manusia pernah mendengar mitos tentang keberadaan kami.

Mayoritas manusia menyebut kami adalah "Hantu Air", karena kami hidup dan menghuni dunia bawah air. Aku sebagai seorang Raja yang memimpin makhluk yang disebut "Hantu Air" pun tidak tau pasti bahwa kami ini sebetul nya apa, yang jelasnya kami bukanlah manusia melainkan makhluk halus.

Aku berjalan keluar dari istana, sayub aku mendengar diatas sana seperti ada seseorang yang sedang bergumam. Terlihat juga olehku, air sungai seperti ada yang menggunakannya. Karena penasaran, aku terbang keatas untuk memastikan nya.

Saat sudah di permukaan, mataku begitu terpesona oleh pemandangan yang aku lihat. Terlihat didepan sana, ada seorang gadis yang entah sedang melakukan apa. Gadis manis berambut diikat kebelakang, terlihat sedang melakukan kegiatan yang tak ku tahu.

Saat mata ini memuja dan memperhatikan gadis itu, entah kenapa gadis itu sepertinya menyadari keberadaanku. Apa iya, manusia bisa melihat wujudku?

"Hey, maaf. Apakah kamu terkejut melihatku? Aku sedang mencari ikan disini, maafkan aku jika itu membuatmu terkejut." Ucapku menyadari bahwa gadis itu benar-benar bisa melihatku.

Dia sedikit terkejut dan menatapku dengan raut kebingungan.

"I-iya, aku terkejut. Air sungai itu sangatlah dalam, kamu terlihat seperti sedang berdiri di dalamnya."

Aku terdiam, memang benar sungai ini sangatlah dalam. Aku juga jarang bertemu manusia masuk atau sekedar berenang disungai ini.

"Hah? Dalam? Tidak, ini tidak dalam. Lihatlah, ini hanya sebatas pinggangku. Apakah kamu tidak pernah masuk kedalam sungai ini?" Tanyaku padanya setelah berpikir sejenak untuk menjawab jawaban yang tepat.

Dia terlihat menggeleng, "Tidak, air sungai ini sangatlah dalam. Aku tidak berani untuk masuk, sudah ada tempat ini. Jadi, aku tidak perlu masuk."

"Bagaimana kamu bisa langsung menilai bahwa sungai ini sangat dalam, sedangkan kamu sendiri belum pernah mencobanya?" Ucapku, jikapun nanti dia ingin mencobanya, aku akan membuat dia merasakan bahwa sungai ini dangkal.

Gadis itu terlihat diam, dia menggaruk kepalanya. Akupun mencoba untuk mendekat kearahnya, tidak terlalu dekat, aku duduk di atas batu yang jaraknya sekita sepuluh meter darinya.

"Apa kamu tinggal disini?"

Astaga! Aku kelepasan, mana mungkin dia tinggal di sungai ini. Dia jelas berbeda denganku, dia adalah manusia, semoga dia tidak menyadari bahwa aku adalah makhluk halus.

"Disini? Oh, tentu tidak disungai ini. Aku tinggal di gubuk di atas sana." Jawabnya sambil menunjuk kearah atas, terlihat dikejauhan sebuah gubuk berdiri di atas sana.

Aku mengangguk tanpa mengerti.

"Lalu, kamu berasal dari desa mana? Aku belum pernah melihat mu sebelumnya, dan juga selain aku, tidak ada warga lainnya yang mengunakan sungai ini."

Aduh, dia mulai bertanya tentang siapa aku. Aku berpura-pura tidak mendengar saja dan pura-pura ingin mengeringkan tubuh. Tiba-tiba saja dia mengulurkan sebuah handuk dari tangannya, dia memberikan handuknya padaku. Aku semakin terpesona, selain manis, dia juga gadis yang baik.

"Oh, terimakasih." Ucapku sambil meraih handuk itu, padahal tanpa aku keringkan, sedetik setelah aku keluar dari air, badanku sudah kering, dan tentu dia tidak menyadari itu.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu berasal dari mana?"

Astaga, mengapa itu sangat penting sekali. Aku bahkan tidak tau harus menjawab apa, keluar kepermukaan saja ini kali pertamanya.

"Emmm, aku berasal dari desa sebelah. Selama ini aku berada di kota, dan sudah dua hari ini aku pulang ke desa." Jawabku dengan sangat mudah.

Kulihat dia mengangguk tanda mengerti, aku kembali merasa tenang. Kulihat gadis itu terdiam, menatap kearah sesuatu yang sedang dia pegang itu.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Aku sedang memancing, sudah hampir satu jam tapi tak ada satupun ikan yang memakan umpannya." Jawab gadis itu sambil meremas perutnya.

Aku sedikit mengernyitkan dahi, apa yang terjadi dengannya dan aku belum bisa memahaminya. Tiba-tiba saja gadis itu berdiri dari duduknya dan menatap kearahku kembali.

"Aku harus naik, mungkin aku kembali memetik kangkung di sawah milik warga desa."

Setelah berkata seperti itu, gadis itu menarik kail pancing nya dan bergegas pergi sungai ini. Aku merasa ada sesuatu dengan gadis itu, apa dia kelaparan? Itu sebabnya dia memancing ikan di sini?

Aku menatap punggung gadis yang baru beberapa menit aku jumpai itu, entah kenapa seperti ada sesuatu yang berdesir di dalam hati. Saat gadis itu menghilang dari pandangan, aku kembali masuk kedalam sungai dan dengan sekali celup tanganku mendapatkan lima ekor ikang sekaligus.

Dengan ini, aku bisa memberi alasan untuk bertemu kembali dengan gadis itu. Aku berjalan menaiki lereng, cukup kesulitan karena aku tidak terbiasa melakukannya. Tak lama, sampai lah aku diatas, dimana desa tempat gadis itu tinggal. Seperti ini rupanya desa.

Tak jauh dariku, sebuah gubuk kecil dan lusuh berdiri. Apa itu rumah gadis itu? Tapi saat disungai tadi, dia menunjuk kearah rumah ini. Aku lalu berjalan perlahan mengitari rumah kecil itu, dan sampailah aku di depan pintu kecil.

Ragu akan mengetuknya, tiba-tiba saja pintu itu terbuka dengan sendirinya dan terlihat lah gadis manis yang sama keluar dari rumah kecil itu. Aku lagi-lagi terpesona dan mengaguminya dalam diam saat menatap matanya lekat, sedangkan dia menatapku heran sekaligus bingung.

"Kamu? Dari mana kamu tahu ini rumahku?" Tanyanya.

"Bukannya kamu sendiri yang menunjuk rumahmu saat disungai tadi?" Jawabku nyengir.

"Oh iya benar, aku lupa. Kalau begitu aku kesawah dulu, mau memetik kangkung jika ada." Ucapnya dan berniat melangkah meninggalkanku kembali.

"Tunggu! Ini aku dapat beberapa ekor ikan, kamu bisa mengambilnya jika kamu mau. Aku sudah tidak berminat untuk memakannya."

Sudah kupastikan bahwa gadis itu hidup sebatang kara, saat ini dia sedang kelaparan dan mencari sesuatu yang bisa di makannya. Selain manis dan menarik hati, gadis ini ternyata hidup serba sederhana. Berbeda denganku.

Mendengar ucapanku itu, dia kembali membalikkan badannya dan menatap ikan yang berada di tanganku.

"Untukku? Apa kamu yakin?" Tanyanya.

"Ya, tentu. Aku sudah tidak berminat memakan ikan lagi, memancing dan mencari ikan itu hanyalah hoby saja. Tak jarang aku juga selalu memberikannya pada orang yang aku temui saat pulang." Bohongku.

Aku dan kaumku tidak makan apapun, kami tidak perlu makan dan minum. Bahkan mandi pun tidak perlu, hanya saja tidur atau istirahat saat malam hari, kami sangat membutuhkan itu.

Mendengar itu, dia sedikit senang. Tangannya mulai mendekat dan ingin meraihnya, namun entah kenapa dia menarik kembali tangannya itu dan urung melakukannya.

"Maaf, tapi kita baru saja bertemu. Bagaimana bisa kamu mau memberikan ikan hasil dari tangkapan mu sendiri dengan susah payah? Kamu bahkan menyelam kesungai untuk mendapatkannya."

Ya ampun, aku semakin jatuh hati pada gadis ini. Ternyata dia bukanlah wanita yang mudah dekat dengan orang yang baru ia kenal, seperti diriku ini.

"Hahaha, itu tidak masalah. Ambilah, aku tidak punya maksud apa-apa. Hanya ingin berbagi saja, seperti yang ku katakan tadi bahwa aku selalu memberikannya kepada siapa saja yang kulihat saat pulang dari menangkap ikan. Jika kamu tidak mau semua, ambilah beberapa dan sisanya untukku."

Dia menatapku lama, dan akhirnya meraih ikan yang ada di tanganku ini.

"Baiklah, aku akan ambil satu saja. Itu akan cukup hingga makan malam nanti." Jawab gadis itu dengan sumrigah, sepertinya dia sangat bahagia.

Gadis itu benar-benar sederhana, meski dia tidak berpakaian mewah seperti gadis-gadis di duniaku, tapi menurutku dia masih tetap manis, aku suka sekali.

"Oh ya, dari tadi kita belum saling mengenal satu sama lain. Perkenalkan, namaku Raja."

Gadis itu tersenyum dan menyambut tanganku, "Namaku ayu, aku harus memasak sekarang. Karena hari sudah mulai siang, sedari pagi aku belum memakan apapun."

"Memasak? Bolehkan aku bantu?"

"Oh tidak, terimakasih. Aku bisa sendiri, lagian tidak enak jika warga desa melihat seorang pria berada di dalam rumah seorang gadis yang tinggal sendirian. Bukan maksudku mengusir, tapi kuharap kamu bisa mengerti."

Oh tuhan, selain sederhana, suara gadis itu membuatku damai seketika. Nada suaranya yang ramah dan lembut, aku semakin memuja gadis yang bernama Ayu ini, secantik namanya.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi, apakah besok aku bisa datang kembali? Emm, sekedar untuk mengobrol saja." Aku sangat berharap bisa kembali bertemu dengannya lagi.

"Entahlah, aku tidak bisa memastikan jika esok aku ada dirumah."

Senyum diwajahku sedikit memudar, seperti kehilangan harapan.

"Begitukah? Baiklah, aku akan pulang. Senang bertemu dan bisa berkenalan denganmu."

Dia tak menjawab, hanya ada senyuman dan anggukan darinya.

Saat kembali, ternyata ibuku sepertinya telah menungguku di depan pintu utama istana. Dia menatapku penuh selidik.

"Baginda, apa yang Baginda lakukan di atas sana? Dunia itu berbeda dengan dunia kita, Baginda."

Aku memutar bola tanda malas jika mendengar ocehan ibu.

"Bu, aku hanya naik sebentar. Sekedar untuk melihat-lihat, seperti apa dunia seberang itu. Sudahlah Bu, tidak akan terjadi apa-apa."

Aku kembali melangkah menuju dalam istana, tetapi sepertinya ibu tidak berhenti disitu saja. Dia masih mengikutiku sampai aku duduk di singgasanaku.

"Jangan pikir ibu tidak tau, Baginda telah bertemu seorang manusia diatas sana bukan?"

Aku sedikit terkejut mendengar ucapan ibu, tapi seorang Raja tidak mungkin memperlihatkan wajah khawatirnya .

"Benar, lalu dimana letak kesalahannya ibu?" Jawabku singkat.

"Tidak ada salahnya, yang menjadi masalah besarnya adalah Baginda menampakkan diri."

"Lalu, dimana letak masalah besarnya itu ibu?" Aku semakin kesal saja.

"Leluhur-leluhur kita melarang itu, Baginda. Hanya sebangsa kitalah yang bisa melihat manusia, jangan sampai manusia bisa melihat kita apalagi keberadaan dan asal kita."

"Seperti apa masalah besarnya itu!!" Kali ini suara ku mulai tegas.

"Ibu tidak bisa memastikan masalah besar apa itu, tapi saran ibu, jangan terulang lagi untuk yang kedua kalinya Baginda. Ibu ingin kembali kekamar, ibu undur diri." Aku hanya menatap punggung ibu menjauh dariku.

Tidak bisa seperti itu ibu, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada anak manusia. Dan aku harus memperjuangkan itu, bagaimanapun caranya. Masalah besar itu hanyalah mitos, itu hanyalah omong kosong agar menghindari diri dari manusia. Karena sejatinya, manusia lebih tinggi derajatnya dari pada makhluk-makhluk lainnya.

Salah sang pencipta, mengapa mempertemukan aku dengan anak manusia, dan membuat aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, sebisa mungkin aku harus menutup diri agar Ayu tidak mengetahui siapa aku sebenarnya.

🌷🌷🌷🌷

Chapter 03

Aku mengerjabkan mata, karena silaunya sinar matahari menembus dinding papan rumahku yang beberapa telah berlubang. Astaga, aku ternyata tertidur dari sore kemarin hingga pagi menjelang. Perutku juga sangat-sangat perih, karena tidur dalam keadaan perut kosong.

Aku mengikat rambut dan melipat selimut menuju kedapur berniat ingin makan ikan pemberian dari pemuda bernama Raja kemarin, saat ku buka tudung saji, kulihat hanya ada sebuah piring saja. Tak ada ikan sisa ku makan kemarin, aku hanya bisa melongo. Sebenarnya sudah menjadi hal biasa, kucing sangat pintar hingga bisa membuka tudung saji dan mengambil apa yang ada.

Aku harus kesungai dahulu, mandi dan mencuci. Setelah itu mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk hari ini, selanjutnya aku harus mencari kayu bakar di sekitaran sungai. Disana banyak pepohonan, hampir mirip hutan tetapi tidak terlalu rimbun.

Aku menyusun semua baju dan piring kotor, lalu berjalan perlahan kesungai. Setibanya, aku melakukan aktifitas seperti biasanya. Namun, disela beraktifitas, aku merasa bahwa ada sesuatu yang sedang memperhatikanku. Tapi aku tidak bisa melihat apa itu, karena merasa mulai tak nyaman, aku bergegas menyelesaikan aktifitasku dan kembali naik.

Setelah berpakaian, aku berjalan dengan keranjang yang kubawa menuju sawah para warga. Saat sampai, mataku berbinar melihat ada beberapa batang kangkung yang tumbuh disekitaran sawah para warga. Dengan semangat yang membara, aku langsung memetiknya satu persatu.

Setelah merasa cukup, aku lalu membawanya pulang untuk di masak. Ya seperti biasa, aku hanya bisa memasaknya tanpa penyedap rasa dan nasi. Hanya ada garam, itupun didapat dari beberapa bulan yang lalu. Saat warga desa yang mengadakan pesta pernikahan, mba Minah datang membawa perlengkapan sisa dari acara tersebut, termasuk sebungkus besar garam.

Garam itu lah yang aku gunakan untuk membuat makanan ku setidaknya mempunyai rasa, meskipun tidak ada nasi untuk pendamping makanku.

Aku lalu memotong-motongnya dengan kulit bambu yang diruncingkan oleh salah seorang warga yang kasihan padaku karena tidak memiliki pisau untuk memotong sesuatu, setelah selesai, aku lalu memasaknya diatas kuali besi pemberian dari almarhumah nenek Atik, seorang wanita tua yang dulu tinggal tak jauh dari rumahku.

Setelah masak, aku langsung menyantapnya. Aku selalu bersyukur meski makan tidak sempurna, namun masih bisa mengisi perut. Merasakan perut yang sudah kenyang, aku lalu membawa keranjang besar untuk mencari kayu bakar. Keluar dari rumah dan menuju sungai, berjalan menuju tempat yang rimbun pepohonan tinggi dan semak belukar.

Aku berjalan perlahan menyurusi semak-semak, cukup banyak kayu-kayu dan ranting yang cukup besar. Karena disekitaran sungai, banyak sekali pohon besar, jadi rantingnya pun juga besar. Mengumpulkannya terlebih dahulu di tempat yang tidak terlalu semak, setelah banyak nanti barulah aku memasukkannya kedalam keranjang yang kubawa, kemudian membawanya naik sediki demi sedikit.

Karena hari ini cukup panas dan cuaca sangat bagus, jadi nantinya aku tidak perlu untuk menjemur nya terlebih dahulu. Aku langsung bisa memberikannya pada pak Sapri, dan aku mendapatkan makanan sebagai upahnya. Aku tidak perlu uang, hanya butuh makanan untuk menyambung hidup.

Aku sangat bersemangat karena aku mendapatkan kayu dan ranting yang lumayan, terlihat tak butuh waktu lama, aku sudah dapat segunung kayu dan ranting yang besar-besar. Dengan segera aku memasukkan ranting dan kayu yang bagian paling kecil terlebih dahulu, yang ukurannya cukup besar, akan ku bawa satu persatu nanti.

Saat mulai mengangkut, aku mendengar grasak-grusuk dari dalam semak. Seperti ada sesuatu, tapi aku tidak bisa melihatnya. Aku kembali melanjutkan perjalanan, karena hari sudah mulai siang menjelang sore. Saat aku kembali melangkah, segerombolan monyet keluar dari semak dan berlari mendekat kearahku. Salah satu dari mereka menerkamku tiba-tiba, hingga kayu-kayu yang ku bawa di pundak, berhamburan kembali.

Tangan dan pipi sebelah kiri ku terkena cakaran dari mereka, bukan cuma itu, mereka seperti bersiap-siap ingin mencabik-cabikku. Ya, memang itu hanya monyet. Tapi jika jumlahnya melebihi dari 3 ekor, itu bisa menghabisi nyawa.

"Ayu!! Kamu tidak apa-apa?"

Aku reflek menoleh kearah sumber suara, ternyata itu Raja, pemuda yang bertemu denganku kemarin. Dia mendekat, lalu memeriksa keadaan dan lukaku.

"Aku tidak apa-apa, kamu harus hati-hati karena jumlah mereka banyak sekali." Hanya itu yang bisa aku ucapkan.

Karena jika ingin melindungi pun, aku sudah terluka lebih dulu.

"Menjauhlah sedikit."

Aku sedikit mengernyitkan dahi, mau apa dia? Sudah jelas nyawanya dalam bahaya.

Kulihat Raja menatap satu persatu dari monyet itu dan tidak melakukan apa-apa, monyet-monyet itu yang awalnya terlihat buas, kemudian terlihat jinak dan menundukkan kepalanya. Aku semakin heran, apa yang dilakukan pemuda itu?

Tak lama, segerombolan monyet itu pergi dan berlari sejauh mungkin dan hilang di dalam semak-semak belukar. Setelah itu, Raja membalikkan badannya dan berjalan kearahku.

"Kamu yakin tidak apa-apa? Kamu sedang apa disini sendirian?" Ucap Raja dengan wajah cemasnya.

Aku sedikit merasa berbeda saat seorang pemuda berbicara seperti itu padaku, sejenak aku terdiam menatap lekat wajah pemuda itu. Sedangkan dia, masih dengan wajah cemasnya menatap seluruh bagian badanku yang terluka.

"Ayu, jawablah! Kamu yakin tidak apa-apa?"

"O-oh, i-iya. Aku tidak apa-apa."

Aku terkejut, lupa akan luka di tubuhku karena menatap lekat kearah pemuda yang sepertinya khawatir denganku. Ah, ada apa denganku ini.

"Lalu, apa yang kamu lakukan disini sendirian?"

"Aku mencari kayu bakar, dari kecil aku sudah terbiasa disini untuk mencari nya. Tapi ini adalah kali pertama aku mengalami kejadian ini." Jawabku, karena itu adalah kenyataannya.

Dia diam, lalu mengedarkan pandangan nya. Terlihat olehnya kayu hasil pencarianku berhamburan dimana-mana, dengan cepat dia mengambil kembali kayu-kayu itu dan memasukkannya kedalam keranjang.

"Eh, apa yang kamu lakukan?" Ucapku melihat apa yang dia lakukan.

"Sudah, kamu duduk saja. Biar aku yang bantu bawa naik."

Luka cakaran akibat dari monyet-monyet itu tidak bisa membuatku bersuara lagi, aku lalu duduk tak jauh dari pemuda itu. Menatapnya kembali dan... Ternyata aku terpesona.

Pemuda ini ternyata tampan, aku bahkan baru menyadarinya. Putih dan tinggi, serta memiliki lesung pipi yang manis. Astaga, ya ampun Ayu...

"Kamu tunggulah disini sebentar, aku akan kembali setelah membawa ini keatas."

Aku sedikit tersentak, dan mengangguk begitu saja. Menatapnya yang seperti merasa tidak membawa apa-apa di punggungnya, sedangkan aku butuh istirahat lebih dari 5x hingga sampai keatas. Dan dengan santainya, Raja harus turun naik demi membantuku membawakan kayu bakar itu.

Aku memperhatikan luka ditanganku, aku juga merasakan panas dibagian pipi sebelah kiri ku. Luka ditanganku sepertinya cukup parah, bagaimana aku harus mengobatinya. Aku meringis menahan perih, bertepatan dengan datangnya kembali Raja. Dia berjalan mendekat kearahku dan duduk disampingku.

"Lukamu cukup parah, kamu tunggulah disini sebentar. Aku akan mencari sesuatu untuk mengobati lukamu, ingat!! Jangan kemana-mana."

Aku hanya mengangguk tak menjawab, kenapa Raja sebegitu perhatiannya padaku? Dengan dia bersikap seperti itu, membuatku merasakan ada sesuatu yang berdesir.

Ternyata tak lama, Raja kembali dengan segenggam dedaunan. Dia lalu menumbuk dedaunan itu di atas batu besar di tepi sungai, setelah *****, dia membawakannya padaku. Dia sendiri yang menaruh di luka-lukaku.

"Maaf, aku akan menaruhnya dipipimu sebentar."

Dia lelaki yang sopan ternyata, aku hanya mengangguk saja dan membiarkannya mengobati lukaku dengan caranya. Saat dia menaruh ******* dedaunan itu di pipiku, jarak kami hanya beberapa senti saja. Entah kenapa, jantung terasa berdebar dengan cepat. Oh astaga, ada apa denganku.

"Sudah selesai, biarkan ini sampai malam. Paginya, basuh lah dengan air sungai ini. Mudah-mudahan bisa cepat mengering, ayo aku antar kamu naik."

Dia berdiri dan mengulurkan tangannya, tanpa di komando, tanganku meraih begitu saja tangan Raja. Dia tersenyum kearahku, tatapan nya seperti tatapan yang penuh arti. Entahlah, apa itu hanya pikiran ku saja.

"Ngomong-ngomong jika aku boleh bertanya, apakah kamu tinggal sendirian dirumah itu?" Tanyanya saat kita berjalan beriringan menuju rumahku.

Aku menoleh kearahnya, dan kembali mengalihkan pandangan kedepan sembari tersenyum.

"Ya, aku hidup sendiri sekarang. Itu dimulai saat aku berumur 9 tahun, aku pun tidak mempunyai kakak ataupun adik sama sekali. Itulah yang membuatku benar-benar hidup sendiri." Jawabku sambil tersenyum.

Dia terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Aku tahu apa yang dia fikirkan, mungkin setelah ini dia tidak akan mau lagi bertemu denganku. Seperti halnya pemuda di desa ini, mereka semua tau latar belakangku. Sehingga, tidak satupun dari pemuda desa ini yang mau mendekatiku. Tapi, itu bukan masalah besar bagiku.

"kalau.... Keluarga, apa kamu memilikinya?"

"Tidak juga, ibu dan ayahku adalah pendatang didesa ini. Aku tidak tau mengapa bisa seperti itu, yang jelas intinya aku tidak memiliki keluarga didesa ini."

Dia mengangguk tanda mengerti, dan tersenyum kearahku. Aneh, dia terlihat seperti tidak perduli dengan apa yang aku katakan.

"Jadi jika aku datang kembali, apa kamu tidak keberatan?"

"Maksudmu?"

Kami berdua berhenti tepat di belakang rumahku.

"Ya... Aku akan kesini setiap hari, untuk sekedar berbincang dan mengobrol denganmu."

"Oh, begitu."

"Bagaimana?"

"Bisa, tetapi tentu tidak perlu berlama-lama. Aku tidak enak dengan warga desa jika melihat kita." Jawabku.

"Oh, tentu. Tentu saja,"

Aneh, dia kenapa terlihat sangat senang sekali?

"Oh ya, aku sampai lupa bertanya. Bagaimana kamu bisa menemukanku tadi?" Tanyaku sedikit heran.

"Hmm, kebetulan tadi aku berniat ingin memancing di sungai. Nah, saat aku memulai melemparkan pancing, aku mendengar seperti ada sesuatu di dalam rimbunan pepohonan. Karena penasaran, aku berjalan mencari sesuatu itu. Dan ternyata itu kamu, dengan segerombolan monyet-monyet liar."

"Lalu, bagaimana dengan monyet-monyet itu yang langsung lari begitu saja saat kamu hanya menatap mereka satu persatu? Apa yang kamu lakukan sehingga mereka sepertinya takut denganmu?" Ini sebenarnya pertanyaanku sedari tadi, tapi aku selalu saja lupa.

"Heh? Begitukah? Aku menatap mereka satu persatu karena merasa was-was saja, kalau-kalau mereka tiba-tiba menerkam. Aku juga berpikir seperti itu tadi, tapi karena sudah aman, aku tidak terlalu memikirkannya."

"Oh, begitu." Aku mengangguk tanda mengerti, masuk akal juga.

"Lalu, setelah ini apa kegiatanmu?" Raja bertanya.

"Setelah ini, aku akan mengikat ranting-ranting dan kayu yang aku dapatkan tadi. Setelah itu, aku akan membawanya ke warga desa yang akan mengadakan hajatan." Jawabku.

"Baiklah kalau begitu, aku akan membantu mengikatkannya.Tetapi aku tidak bisa untuk membantu membawakannya ke rumah warga yang menginginkan kayu bakar itu, karena aku harus segera pulang."

"Oh tidak masalah Raja, aku juga bisa mengikatkannya sendiri. Kamu pulang saja, aku tak masalah."

"Tak apa, sebelum pulang aku masih bisa menolong sedikit lagi. Berikan aku tali!"

Aku menurut saja, aku masuk kedalam dan keluar dengan membawa tali khusus untuk mengikat kayu-kayu itu. Setelah diikat, ternyata kayu hasil pencarianku tadi sangat banyak. Padahal perasaanku, aku merasa hasilnya tidak sebanyak ini. Apa mungkin aku salah perkiraan?

"Nah, sudah selesai. Aku pamit pulang dulu, besok aku akan kembali."

Ucap Raja dan tersenyum manis kepadaku, setelah itu dia berjalan meninggalkanku. Sesuatu yang aneh, kembali terjadi. Raja lagi-lagi pulang menuju kearah sungai belakang rumah. Lantas, apa yang dia lakukan disana? Bukannya dia barusan bilang, bahwa dia ingin pulang? Seharusnya dia lewat jalan sebelah kiri dari rumahku, untuk keluar dari desa ini.

Ah, mungkin saja dia masih ingin mencari ikan. Siapa tau kan?

Mataku kembali berbinar menatap kumpulan kayu-kayu bakar yang sudah di ikat oleh Raja, aku tinggal membawanya satu persatu kerumah pak Sapri. Ini pun juga tidak sulit, aku akan menggendongnya kebelakang punggungku menggunakan kain.

Dengan dedaunan yang di hancurkan Raja tadi, yang masih menempel di luka-lukaku. Aku mulai membawa satu ikat kayu-kayu tadi, rumah pak Sapri lumayan jauh dari rumahku. Saat di perjalanan, aku bertemu dengan kak Mira.

"Hey, Ayu. Dapat orderan lagi?" Candanya padaku.

Aku lalu menurunkan kayu yang ada di punggung ku itu.

"Eh, iya kak. Alhamdulilah, pak Sapri menyuruhku mencari kayu bakar untuk acaranya. Lumayan, bisa makan enak nanti." Jawabku terkekeh.

"Iya deh iya, oh ya. Tadi kakak lewat di samping rumahmu, kakak lihat kamu seperti berbicara dengan seseorang. Tapi kakak tidak bisa lihat dengan jelas, karena terhalang oleh pohon jambu disampingnya. Emang siapa yu?"

"Oh, itu. Dia Raja, pemuda dari desa sebelah."

"Pemuda? Waaah, sepertinya ada kemajuan nih."

"Kemajuan? Kemajuan apa kak?"

"Hehehe, sudah sana. Antar kayu-kayunya, pak Sapri mungkin lagi menunggu."

Aku mengerlingkan mata, kak Mira selalu seperti itu.

"Baiklah, aku lanjutin dulu ya."

"Eeeh, tunggu... Tunggu!"

Saat aku mulai melangkah, kak Mira menghentikan aku kembali.

"Iya kak?"

"Itu pipi sama tanganmu kenapa? Sepertinya luka, dan itu ada hijau-hijau, kamu kasih apa?"

"Oh, ini tadi ada insiden kecil saat mencari kayu. Ini itu dedaunan yang di beri Raja untuk mengobati lukaku, aku saja tak tau dedaunan jenis apa yang dia anggap sebagai obat itu."

Mendengar itu, dia tersenyum penuh arti sekali, aku semakin penasaran apa yang sedang kak Mira pikirkan.

"Ya sudah, sana lanjutkan." Ucapnya lalu berlalu pergi.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, dan kembali melanjutkan kegiatanku. Sekitar hampir 8x bolak balik untuk membawa kayu-kayu hasil pencarianku, akhirnya semuanya selesai dan telah berada di rumah pak Sapri semua.

"Waaaah, Ayu. Kali ini kamu dapat banyak ya!!" Ucap pak Sapri sambil memandangi kayu-kayu itu.

"Iya pak, saya pun baru menyadarinya setelah semua kayu-kayu itu dibagi dan diikat. Hehe."

"Bagus, nanti jika acara selesai, bapak langsung kasih upahnya ya."

"Oh, baik pak baik. Biasanya kan juga seperti itu, saya pulang dulu ya pak."

Aku kembali berjalan kearah pulang, diperjalanan ternyata perutku sudah perih. Tanpa sadar, hari sudah semakin sore dan hampir menuju Maghrib. Aku harus cepat-cepat sampai rumah, dan bergegas kesungai untuk mandi.

Saat sampai rumah, aku bergegas mengambil handuk dan peralatan mandi. Berjalan menuju sungai, terlihat sungai sudah hampir gelap sempurna. Aku harus cepat-cepat, sebelum sungai benar-benar gelap. Saat sampai, aku melakukan kegiatan mandiku, disela-sela mandiku, aku lagi-lagi merasakan seperti ada sesuatu yang sedang memperhatikanku.

Tak perduli, setelah selesai aku bergegas pulang. Badanku pun tidak sempat aku keringkan, nanti saja saat tiba dirumah. Sepertinya aku sudah tidak bisa berlama-lama di sungai saat hari sudah mulai gelap.

🌷🌷🌷🌷

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!