Mataku tiba-tiba terasa silau, saat aku membuka mata, ternyata sudah ada ibu Joko yang berdiri di depan ku. Melihat itu, aku langsung bangun. Ternyata malam ini, aku tertidur dengan nyenyak.
"Maaf, ibu membangunkanmu. Tapi, ibu hamil tidak baik bangun kesiangan."
"Oh, iya Bu. Maaf, malam tadi aku tertidur dengan lelap."
"Tak apa, sarapan sudah siap. Ayo mandi, ibu dan yang lain menunggu di meja makan."
Mendengar itu, aku merasa terharu, tiba-tiba air mataku luruh seketika.
"Lho, nduk. Kamu kenapa?"
"Aku terharu, Bu. Ibu sangat baik padaku, padahal ibu baru saja mengenalku."
Mendengar itu, ibu Joko menghela nafas lalu tersenyum. Dia mendekat kearahku, dan duduk disampingku.
"Nduk, kamu sudah seperti anak ibu sendiri. Bapak pun begitu, ditambah, bapak sama ibu hanya punya Joko. Makanya, ibu dan bapak sayang sama kamu sama seperti ibu dan bapak sayang sama Joko."
"Terimakasih, Bu. Aku merasa seperti punya keluarga baru, sudah sangat lama aku merindukan hal ini."
Ibu Joko lalu memelukku, mengelus rambutku.
"Sudah, sudah. Joko dan bapakmu sudah menunggu, mereka akan kelaparan nanti. Ibu melarang mereka makan, sebelum kamu bergabung dengan kami di meja makan. Ayo, mandi!!"
"Baik, Bu."
Aku menatap punggung ibu, ya. Mulai saat ini aku akan memanggilnya ibu, dan aku sudah punya keputusan. Aku akan menikah dengan Joko, karena mereka sudah sangat baik padaku dan aku akan memiliki keluarga baru.
Akupun mandi, lalu bergegas berpakaian. Aku bingung, pakaian yang aku pakai adalah pakaian yang sama yang aku pakai saat aku datang kesini. Ternyata aku tidak memiliki pakaian, uang dari mana aku untuk membeli yang baru? Tidak mungkin juga, aku meminta pakaian Joko.
Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Berjalan perlahan menuju meja makan di dapur, letaknya persis antara dapur dan ruang tv. Saat sampai, wajah-wajah yang melihatku tersenyum.
"Maaf, telah membuat kalian menunggu lama."
Ibu mendekat lalu merangkul bahuku dan membantuku berjalan menuju meja makan.
"Tak apa, nduk. Ayo duduk."
Baru saja akan duduk, perutku kembali terasa seperti diaduk-aduk. Mual yang luar biasa kembali aku rasakan, dengan susah payah aku menahan, agar ibu tidak kecewa. Mungkin dia memasak makanan sebanyak ini untuk makan bersama denganku, dia pasti akan kecewa jika aku tidak memakannya.
"Sini piringnya, nasi nya mau sebanyak apa nduk? Biar ibu ambilkan."
"Emm, sedikit saja Bu."
"Baiklah, lauknya mau apa?"
Bapak dan Joko tidak banyak berbicara, tapi kali ini, mereka menonton aksi ibu dengan tertawa.
"Sudah, Bu. Joko dan bapak menertawakan kita, aku bisa sendiri. Ibu juga makan dong,."
"Iya, iya."
Kami tertawa bersama.
Mual itu, terus berulang. Hingga akhirnya aku tak tahan, dan berlari kekamarku. Saat sampai dikamar, baru saja aku menutup pintu, ada sesuatu yang duduk di ujung ranjangku. Sesuatu itu duduk membelakangiku, hingga aku tidak bisa melihat dengan jelas apa itu. Mual ku hilang seketika melihatnya.
"Si-siapa?"
Sesuatu itu kemudian berubah menjadi asap hitam, lalu berbalik melihat kearahku.
"Aku sudah pernah bilang padamu, jauhi dia. Tapi kau tak mendengar. Sekarang, kau mengandung anaknya. lebih baik, kau keluarkan janin itu dari rahimmu, sebelum sesuatu yang besar terjadi!"
Suara itu terdengar tak asing, aku seperti pernah mendengarnya. Apakah itu asap hitam yang menemuiku, saat malam badai sehari sebelum Raja membawaku keistananya? Siapa asap itu.
"Ka-kau siapa?"
"Kau tidak perlu tau, aku hanya ingin memberitahu bahwa janin itu tidaklah baik. Dia akan membuat mu semakin dekat dengan makhluk itu, selama janin itu masih bersamamu, maka makhluk itu tidak akan bisa jauh darimu meski kau berpindah ke ujung dunia sekalipun."
Aku diam, mungkin tak ada gunanya menjawab ucapan sosok asap hitam itu. Aku lalu menundukkan kepala, dan memejamkan mata. Sosok itu tidak berbicara lagi, saat aku mengangkat kepala, sosok itu sudah tidak ada.
TOK!! TOK!! TOK!!
Aku terperanjat kaget, dan reflek membukanya. Saat ketika pintu terbuka, Joko dengan tiba-tiba memelukku.
"Ayu! Kamu tidak apa-apa? Berkali-kali aku mencoba untuk mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam. Aku khawatir denganmu."
Apa? Aku bahkan baru mendengar ketukan pintu itu sekali.
"Ma-maafkan, aku. Aku berada di kamar mandi, aku benar-benar merasa mual." Jawabku berbohong.
"Apa aku perlu memanggilkan mbah Surti lagi kesini? Kamu tidak apa-apa? Apa ada keluhan lainnya?"
"Joko, aku tidak apa-apa. Tidak perlu memanggil mbah Surti, kamu tidak perlu khawatir."
"Ya sudah, aku hanya khawatir saja."
"Ibu mana? Aku merasa tak enak dengannya, karena aku tak memakan masakannya."
"Sudah, ibu tidak tak masalah. Dia pasti memaklumi dengan apa yang sedang kamu alami saat ini, oh ya. Apa kamu mau berjalan-jalan siang ini?"
"Aku mau, tapi aku sudah tak nyaman dengan pakaian ini."
Joko lalu memperhatikan aku dari atas sampai bawah, tiba-tiba dia menepuk keningnya.
"Oh, astaga. Aku bahkan sampai lupa, ayo kita kepasar. Aku akan memberikanmu beberapa pakaian."
"Joko, sudah cukup semuanya. Aku selalu merepotkanmu, antarkan saja aku kedesaku."
Joko terdiam sejenak, lalu menunduk. Aku merasa bersalah dengan nada bicaraku yang sedikit keras.
"Ma-maaf, bukan maksudku. Tapi, kamu dan keluargamu terlalu baik padaku."
"Maka dari itu, aku ingin menikahimu. Agar tidak ada rasa itu lagi yang mengganggumu,"
"Apa kamu yakin ingin menikahiku?"
"Sangat yakin!"
Kulihat di matanya, ada keyakinan dan harapan disana.
"Sudah, ayo kita pergi kepasar." Ucapnya langsung menarik tanganku.
"Tapi, kita belum pamit sama ibu bapak."
"Mereka sedang disawah sekarang, nanti saat pulang, kita mampir kesana."
Aku diam dan menurut saja, dalam hatiku seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk menerima Joko. Tak ada alasan bagiku untuk menolaknya, bukan hanya dia, orang tuanya juga sangat baik padaku.
Kami berjalan, kali ini desa Joko ramai oleh lalu lalang warganya. Ternyata hari ini adalah hari pasar di desa, dan ternyata juga, pasar hanya di adakan sekali dalam seminggu.
"Di desa ini, hanya ada satu pasar. Dan itupun hanya ada setiap hari Minggu, jadi rakyat selalu berbondong-bondong datang untuk berbelanja." Jelas Joko.
"Joko! Siapa gadis ini? Cantik sekali." Sapa ibu-ibu desa yang sepertinya juga ingin kepasar.
Mendengar itu, Joko seperti kikuk dan tak bisa menjelaskan. Dia hanya bisa tersenyum.
"Saya, calonnya mas Joko, Bu." Jawabku.
Seketika, Joko menatapku terkejut. Begitu juga ibu-ibu yang ada di depan kami.
"Waaah, Joko. Selamat ya, kapan acaranya? Jangan lupa diundang ya."
"E-hehe, iya Bu. Nanti saya akan kabari, permisi Bu ibu."
Kamipun lanjut berjalan, Joko terus menatap lekat wajahku.
"A-apa maksud dari ucapanmu tadi?"
"Aku sudah putuskan, aku menerima lamaranmu."
"Benarkah?"
"Ya!"
"Terimakasih, aku bahagia sekali. Aku kira, kamu tidak akan mau menerimaku."
"Tak ada alasanku untuk menolakmu, Joko."
Joko tertawa lepas dan tersenyum menatapku.
"Ayo, pasarnya sudah dekat."
Aku dan Joko mulai melihat-lihat.
POV AUTHOR.
"Wah, Joko. Hebat betul, bisa dapat gadis cantik. Kapan ya aku bisa seperti Joko, dia yang jauh lebih muda dariku saja sudah mau menikah. Sedangkan aku, masih saja jadi bujang lapuk." Gumam Agus.
Agus yang kebetulan berpapasan dengan Joko dan Ayu, saat hendak pulang dari sawah ingin makan siang. Agus sedikit tercengang, pasalnya, Joko sangat jarang terlihat. Agus tak tau pasti, namun dia pernah mendengar, bahwa Joko sedang bekerja di kota. Jadi, dia hanya pulang sesekali.
Agus bahkan sedikit terpesona oleh paras Ayu, dalam hati pun Agus merasa iri. Pasalnya, di umurnya yang sudah menginjak kepala tiga, tapi dia belum juga menikah. Agus melamun sambil berjalan, tiba-tiba langkahnya terhenti karena mendengar suara panggilan.
"Agus!! Kalau jalan itu jangan ngelamun, nanti kesandung. Ayo sini, makan gorengan dulu!!" Teriak mbah Gusti dari jauh.
Pria paruh baya itu terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya, Agus pun tanpa berkata-kata, berjalan menghampiri Mbah Gusti.
"Kenapa, toh Gus."
"Si Joko, Mbah. Pulang-pulang dari kota, sudah gandeng gadis cantik saja. Sedangkan aku, entah kapan." Keluh Agus, sambil mencomot gorengan yang ada di depannya.
Mbah Gusti terdiam, lalu dia berdehem penuh arti.
"Gus, sini duduk dekat sedikit." Ucap Mbah Gusti sedikit berbisik, sambil menepuk-nepuk bagian bangku yang kosong disampingnya.
Agus menurut, lalu menggeserkan bokongnya agar duduk lebih dekat dengan Mbah Gusti.
"Kamu mau dengar saran dari Mbah, tidak?"
"Saran apa Mbah?"
"Didesa sebelah, ada orang sakti mandraguna. Dia bisa mempertemukan kamu dengan jin yang bisa membuatmu kaya tanpa harus bekerja keras lagi, dan juga akan membuatmu cepat dapat jodoh tentunya." Bisik mba Gusti.
Agus terkaget, dia sedikt tidak percaya dengan ucapan pria paruh baya itu.
"Ah, yang bener Mbah? Memangnya ada yang seperti itu? Bukannya itu hanya ada di cerita-cerita dan di film-film saja?"
"Aduh gus, nggak ada gunanya Mbah berbohong. Kalau tak percaya, malam ini Mbah antarkan kesana."
Agus terdiam sejenak, dalam hati yang paling dalam, dia ingin sekali. Selain ingin cepat mendapatkan jodoh, dia juga bosan sekali hidup miskin.
"Lalu, jika benar. Kenapa Mbah tidak melakukannya sendiri? Mbah juga sama seperti saya, bedanya Mbah sudah menikah."
"Mbah hanya tidak ingin melakukannya saja, tapi jika kamu tidak mau, ya Mbah tidak memaksa." Ucap Mbah Gusti, lalu berdiri dan meninggalkan Agus dengan sejuta pikirannya.
Sepeninggalnya mbah Gusti, Agus perpikir keras. Cukup lama dia terdiam, akhirnya dia memutuskan untuk menemui Mbah Gusti malam itu juga. Agus berjalan menuju rumah, Agus hidup hanya dengan ibunya. Dia sudah tidak memiliki ayah, saat dia masih berumur 10 tahun.
"Nak, sudah pulang? Ayo, makan siang dulu." Ucap ibunya menyambut kedatangan Agus.
"Iya, Bu. Agus mau cuci tangan dulu,"
Agus pun kebelakang, dalam hatinya, dia semakin bertekad. Meski dia tau bahwa itu adalah dosa besar, dia menepisnya demi ingin kekayaan instan.
'Akan banyak gadis yang mengantri ingin aku nikahi nanti jika aku kaya' bathin Agus.
Setelah selesai mencuci tangan, Agus kemudian makan bersama ibunya. Ibu Agus merasa ada yang berbeda dengan anak nya itu, biasanya Agus akan banyak mengobrol tentang hal yang sepele. Tapi kali ini, dia banyak diam.
"Agus udah selesai, Bu. Agus mau kembali kesawah lagi saja, Agus juga ingin membersihkan sawah dari rumput-rumput liar sebelum sawah kita di tanami kembali."
"Oh, baiklah. Ini botol air minummu, biar nggak susah-susah untuk kewarung keluar uang buat beli minuman."
"Makasih, Bu. Agus pergi."
Agus pun kembali berjalan menuju sawahnya, kali ini dia berjalan melewati depan rumah Joko. Saat tiba di depan rumah Joko, Agus berhenti sejenak sambil menatap rumah sederhana namun terkesan mewah itu.
'Aku pasti bisa melebihi mu, Joko' bathin Agus.
Malam harinya, setelah Agus selesai mandi dan makan malam. Agus bergegas pergi menuju rumah Mbah Gusti, tentunya tanpa sepengetahuan sang ibu. Agus yang masih bujangan, biasanya sering berkumpul di warung gorengan. Disana tempat dia bercengkrama ria bersama teman-temannya, jadi sang ibu, tidak pernah menanyakan kemana ia akan pergi setelah makan malam.
Rumah Mbah Gusti tidak jauh dari rumah Agus, hanya butuh melewati 5 rumah dari rumahnya.
TOK TOK TOK
Pintupun terbuka, ternyata Mbah Gusti yang membukanya. Sesaat setelah pintu terbuka, Mbah Gusti terlihat menyunggingkan senyumnya.
"Mbah tau bahwa kamu akan datang, Agus. Persiapkan dirimu, Mbah mau kebelakang sebentar."
Agus hanya mengangguk lalu diam, dia duduk di kursi yang tersedia di teras rumah Mbah Gusti. Tak lama, Mbah Gusti keluar membawa sesuatu di tangannya.
"Ayo,"
Mbah Gusti berjalan di depan Agus, sementara Agus mengikuti dari belakang. Perjalanan kedesa sebrang lumayan jauh, karena desa Agus dan desa sebrang di batasi oleh sungai besar.
Setelah hampir setengah jam perjalanan, langkah Agus dan Mbah gustipun terhenti di depan sungai besar tersebut. Tepat di depan mereka, terdapat sebuah perahu kecil.
"Ayo, naiklah dulu." Suruh Mbah Gusti.
Agus pun menurut, dalam perjalanan, Agus tak berkata apa-apa. Dia bahkan tak menanyakan, milik siapa perahu tersebut. Sebagai salah satu warga desa itu, Agus belum pernah sekalipun pergi menuju desa sebrang. Maka dari itu, dia tak banyak bicara dan tak banyak tanya.
"Nanti, jika sudah sampai di rumah Ki Darso, Mbah akan meninggalkan kamu disana. Mbah tidak tau, mungkin saja ritual yang akan dilakukan membutuhkan waktu yang lama."
Agus sedikit terkejut.
"Lalu, bagaimana nanti jika aku ingin kembali Mbah?"
"Tenang, kamu menginap lah dulu di sana. Besok pagi, Mbah akan datang menjemputmu."
"Baiklah."
Hanya itu jawaban dari Agus, Agus kembali menatap air yang bergerak karena dayungan Mbah Gusti. Sungai itu tidak terlalu deras, hanya mengalir sangat pelan. Jadi, perjalanan mereka untuk menyebranginya juga lumayan membutuhkan waktu.
Perahupun akhirnya menepi, Mbah Gusti dan Agus pun turun. Mata Agus menyusuri kanan dan kiri, tepat di depan sana, sayub Agus melihat sebuah cahaya merah.
"Ayo, rumahnya tidak jauh. Hanya berjalan beberapa meter saja."
Ternyata, yang Agus lihat itu adalah lampu dari rumah Ki Darso.
Agus berjalan mengikuti dari belakang, tak butuh waktu lama, akhirnya mereka pun sampai di gubuk kecil.
"Kamu tunggulah disini, Mbah akan berbicara sebentar dengan Ki Darso."
Agus mengangguk, dan Mbah Gusti meninggal Agus di halaman gubuk kecil itu. Agus memandangi kesekitar, tak ada apapun yang bisa dia lihat. Ternyata, dugaan Agus bahwa desa sebrang adalah desa yang sangat ramai itu salah, hanya ada gubuk kecil milik Ki Darso lah yang dapat dia lihat
"Gus, ayo masuk!"
Agus sedikit terkejut, lalu dengan cepat melangkah memasuki gubuk kecil itu.
Saat berada di dalam, disambut oleh sosok pria paruh baya. Ki Darso terlihat jauh lebih tua dari Mbah Gusti, Ki Darso dengan posisi yang tengah duduk dan punggung yang sedikit bongkok.
Dalam keadaan menunduk, Ki Darso lantas mengangkat kepalanya. Terlihatlah oleh Agus, bahwa Ki Darso hanya memiliki satu mata, mata yang lainnya di tutupi oleh kain hitam yang diikat kebelakang.
"Silahkan duduk." Ucap suara parau dari Ki Darso.
Mbah Gusti dan Agus pun duduk berhadapan dengan Ki Darso.
"Jadi ini, anak yang kau bilang tadi Gusti??"
"Iya, Ki. Ini anaknya,"
Ki Darso mengangguk-anggukan kepalanya, sambil mengusap-usap janggut tebalnya.
"Syarat pertama, kau bawa?"
"Ada, Ki. Ini."
Ternyata kresek hitam yang di bawa oleh Mbah Gusti itu adalah untuk di berikan kepada Ki Darso, Ki Darso meraih kantong itu dari tangannya. Saat kantong itu di buka, menguap lah bau busuk yang seketika membuat Agus menutup hidungnya.
"Baiklah, kau bisa pulang sekarang."
"Baik, Ki. Agus, Mbah pulang dulu. Besok pagi, Mbah kembali datang menjemputmu."
Agus mengangguk dengan gugup, perasaannya bercampur aduk. Ingin rasanya kembali kedesa bersama Mbah Gusti, tapi perjalanan yang sangat jauh, membuatnya urung. Dia pasti akan membuat Mbah Gusti marah, karena sudah bermain-main.
Setelah Mbah Gusti pergi, Ki Darso pergi kearah belakang gubuknya sambil membawa kantong itu. Cukup lama Agus menunggu, akhirnya Ki Darso kembali masuk.
"Ayo, kita mulai."
Ki Darso kembali keluar, dan Agus mengikut dari belakang. Mereka berjalan menuju arah sungai, Agus mengira bahwa mereka akan menyebrangi sungai kembali. Namun, prasangka nya salah, mereka hanya berjalan di pinggiran sungai saja.
Agus melihat, Ki Darso membacakan mantra sambil berjalan. Agus tak dapat mendengar mantra apa yang sedang di baca, karena Ki Darso hanya terlihat berkomat-kamit saja. Karena fokus memperhatikan Ki Darso, Agus tak sadar bahwa mereka sudah sampai di depan sebuah goa.
Agus memperhatikannya dengan seksama, gelap sekali. Ki Darso tidak membawa apa-apa sebagai penerangan, mereka hanya mengandalkan penerangan dari bulan yang lumayan terang. Mungkin karena, mereka hanya berjalan di sisi sungai, jadi tidak perlu menggunakan penerangan berlebihan.
"Lalu, apa Ki?" Bisik Agus.
Tak menjawab, Ki Darso hanya meletakkan jari telunjuk kebibirnya tanda mengisyaratkan untuk diam saja. Akhirnya, Agus menurut dan diam.
Ki Darso maju tiga langkah kedepan, lagi-lagi Agus memperhatikan Ki Darso komat-kamit membaca mantra. Kali ini, Agus tak berani bertanya. Hampir lima menit, Agus melihat ada sesuatu yang keluar dari lubang goa tersebut.
Agus tak bisa melihat dengan jelas, akan tetapi Agus yakin, bahwa itu persis seperti gumpalan asap hitam yang sedang terbang. Namun bedanya, asap hitam itu bermata merah menyala.
"Agus, kemarilah!"
Agus tergopoh mendekat, kini jarak mereka berdua dengan gumpalan asap hitam itu hanya berkisar dua meter saja.
"Mohon ampun, Baginda rajaku. Hamba datang untuk membawakan pengikut barumu, dia ingin kekayaan dan kesejahteraan darimu." Ucap Ki Darso.
Asal hitam itu memperhatikan Agus, dia melihat sesuatu dari diri Agus.
"Mudah saja, tapi tentu ada syarat sebagai imbalannya!!" Ucap asap hitam itu lantang.
"A-apa itu, Baginda." Jawab Agus.
"Berikan aku tumbal gadis yang bernama Ayu, maka semua keinginanmu dalam hitungan detik akan terkabulkan."
Agus terperanjat kaget, dia berusaha keras memikirkan siapa gadis yang dimaksud oleh makhluk itu. Hingga beberapa detik, Agus teringat akan sesuatu. Ternyata Ayu yang dimaksud adalah calon istri Joko, karena di desanya tidak ada gadis yang bernama Ayu. tiba-tiba Agus mengernyitkan dahi kebingungan. Ada apa dengan gadis itu?
"Ha-hanya itu, Baginda?"
"Ya, tapi jika kau gagal. Tumbal itu akan aku gantikan dengan dirimu sendiri!!"
Seketika, Agus berkeringat dingin. Ternyata, ingin kaya dan sejahtera dengan jalan seperti itu tidaklah mudah.
"Bagaimana? Apa kau bersedia?"
"Y-ya, saya bersedia Baginda."
Seketika, gumpalan asap hitam itupun pergi meninggalkan suara tawa yang menggema.
Di sisi lain, Raja yang menjelma menjadi asap hitam itu berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Dalam hati, dia sangat berharap bahwa pemuda yang bertemu dengannya tadi bisa mendapatkan Ayu kembali. Meski dia tau bahwa dia tidak bisa bersatu dengan Ayu, akan tetapi dia masih tidak bisa menerima bahwa Ayu pergi begitu saja meninggalkannya.
🌷🌷🌷🌷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments