Chapter 11

Bagaimana keadaan mereka? Apa yang sedang mereka pikirkan? Apa mereka tau, bahwa aku dibawa pergi oleh Raja?

Aku selalu memikirkan Joko dan orang tuanya, pernikahan kami tinggal sehari lagi. Mereka pasti menanggung malu atas hilangnya aku, sedangkan aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Jalan keluar dari dunia ini, hanya Joko yang tau.

Benar ucapan asap hitam yang menemuiku waktu itu, karena janin ini, Raja masih bisa berada di dekatku dan masih bisa meninjau keberadaanku. Anak ini bukan keinginanku, tapi semua masalah ini, bukan salahnya. Di satu sisi, aku masih mencintai Raja, tapi selama aku bersama Joko, semua rasa itu aku tepis perlahan.

Hingga akhirnya, Joko mulai menggantikan Raja. Ya, meskipun belum ada rasa apapun terhadap Joko, walau Joko juga tidak kalah tampan dari Raja. Raja pun masih memberlakukan aku dengan baik, dia masih bersikap lembut padaku. Lalu, apa yang harus aku lakukan.

Apa aku harus pasrah begitu saja? Jelas sekali, bahwa Raja menginginkan kembali melaksanakan pernikahan yang tertunda. Apa aku harus menikah dengannya? Oh ya ampun, aku benar-benar dalam sistuasi yang menyedihkan.

POV JOKO

"Hey, nak. Kenapa melamun? Itu burung-burung, sudah banyak yang hinggap di padimu. Satu jam lagi, jika tidak di halau, tahun ini keluargamu tidak dapat menikmati hasilnya."

Aku langsung terkejut, benar saja, sawahku yang padinya sudah mengunig, telah banyak di hinggapi hama burung. Oh astaga, sudah berapa banyak yang mereka makan. Aku lalu menarik tali yang kugantungkan beberapa kaleng, jika tali ku tarik, akan terdengar suara ribut kaleng yang bersentuhan satu sama lain, itu akan membuat mereka pergi.

Setelah semua pergi, aku lalu menoleh kearah Mbah Gusti. Pria tua, yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Dia hidup bersama dengan istrinya, sedangkan anak-anaknya, pindah ke kota karena sudah menikah.

"Makasih, Mbah. Kalau tidak ada mbah, padiku pasti sudah habis."

"Memangnya ada apa? Mungkin berkenan bercerita."

"Sudah lama aku ingin mencari pekerjaan, Mbah. Sudah hampir kepala tiga, tapi aku belum bisa membantu ekonomi orang tuaku."

Mendengar itu, mba Gusti mengangguk.

"Kenapa tidak coba mencari pekerjaan di kota saja?"

"Ibu dan bapak tidak mengizinkan, Mbah."

Mbah Gusti terdiam sejenak, dia menatap hamparan sawahku yang sebentar lagi akan panen. Kami duduk di pondok kecil milik bapak, pondok itu sengaja dibuat, agar bisa melihat hama-hama yang datang atau sekedar untuk beristirahat.

"Mbah punya cara, tapi Mbah yakin kamu menolaknya."

Aku reflek menatap kearah Mbah Gusti, penasaran apa cara dari nya.

"Apa itu Mbah?"

"Di desa sebrang, terdapat seorang yang sakti mandra guna. Dia salah satu pengikut jin, jin yang bisa di mintai apapun. Termasuk kekayaan, dan jodoh."

"Maksud Mbah, aku meminta bantuan kepada jin?"

Mbah Gusti mengangguk.

"Aku tidak mau, Mbah. Itu musryik, dosanya besar. Meski aku bukan orang yang suci dari dosa, tapi sebisaku untuk menjauhi itu."

Mbah Gusti tertawa, "Baiklah, baiklah. Mbah hanya memberi saran, tidak memaksamu."

Lalu kami berdua terdiam sejenak.

"Bagaimana dengan cara lain?"

Tiba-tiba, Mbah Gusti kembali membuka suara.

"Apa itu?"

"Dengan bekerja di dunia yang berbeda."

"Maksudnya, Mbah?"

"Kamu akan bekerja di dunia 'mereka', tentu dengan gaji yang besar. Mbah akan bantu, jika kamu berminat. Mbah juga akan pastikan, 'mereka' tidak akan tau bahwa kamu adalah manusia."

Aku kembali terdiam sejenak, sepertinya menggiurkan. Lebih tepatnya, aku tidak sekedar meminta dengan jin, aku bekerja. Meski pun itu tetap lah berdosa, tetapi aku tidak menduakan Tuhanku.

"Aku bersedia, Mbah. Bagaimana caranya?"

Mbah Gusti tersenyum padaku.

"Temui Mbah malam ini, akan Mbah antarkan kepada yang tau."

"Kepada yang tau?"

"Ya, Mbah hanya manusia biasa. Tapi, mbah memiliki seseorang yang punya kemampuan khusus. Jika kamu benar-benar yakin, kerumah lah malam nanti."

Mbah Gusti berdiri, lalu menepuk pundak ku dan pergi.

Aku masih menatap hamparan sawah yang luas di depanku, sepertinya aku harus mencobanya. Nanti malam, aku akan menanyakan, tentang bagaimana caranya keluar dari dunia itu. Jadi, jika aku ingin kembali, aku tinggal kembali.

Hari sudah berganti malam, aku dan orang tuaku baru saja selesai makan malam bersama. Setelah selesai makan, aku mandi dan bersiap. Ibu sempat heran melihatku, karena aku sangat jarang keluar rumah ketika malam hari.

"Nak, mau kemana?"

"Mau kerumah teman, Bu. Katanya ada informasi pekerjaan, Joko mau tanya-tanya lebih lanjut lagi." Bohongku.

"Oh, begitu. Ya sudah, asal pulangnya jangan larut ya."

"Iya, Bu. Joko pamit."

Aku pun pergi meninggalkan rumah menuju rumah Mbah Gusti, memang tidak jauh, setelah hampir dekat, kulihat di depan sana Mbah Gusti sedang duduk di teras rumah nya.

Melihat kedatanganku, dia tersenyum.

"Ayo, duduk. Biarkan Mbah habiskan kopinya dulu." Ucapnya.

Aku menurut dan duduk, Mbah Gusti kali ini tidak banyak bicara. Dia hanya terus menikmati kopi hitamnya itu.

"Nanti jika sudah disana, lakukan lah hal yang semestinya kamu lakukan. Jangan lakukan hal yang aneh-aneh, mungkin nanti akan di beri syarat dan pantangan, jadi lakukan syaratnya dan jauhi pantangannya."

Mendengar itu, aku meneguk air liurku dengan susah payah. Apapun itu, semoga saja tidak melanggar norma agamaku.

"Ba-baiklah, Mbah."

"Ayo!"

Mbah Gusti berdiri, dia berjalan lebih dulu di depanku. Aku yang masih sedikit tegang, mengikuti langkahnya dari belakang. Berjalan menyebrangi sungai, untuk menuju desa sebrang. Setelah kami sudah berada di atas perahu kecil, Mbah Gusti lalu mendayung nya dengan perlahan.

Karena sungai yang tak terlalu deras, dayungan Mbah Gusti sedikit lambat.

Tak lama, perahu kami pun menepi. Mbah Gusti turun lebih dulu dan lanjut berjalan, sedangkan aku, masih tetap mengikut dari belakang. Masih terus berjalan, hingga akhirnya kami berhenti di sebuah rumah, lebih tepatnya seperti gubuk, karena ukurannya yang kecil.

Mbah Gusti mengetuk pintu dan tak lama pintu di buka oleh seseorang di dalamnya.

"Gusti, ada apa?"

"Ada seseorang ingin mencari pekerjaan,"

"Apa maksudmu?"

Mbah Gusti lalu melangkah lebih dekat dengan orang itu, lalu Mbah Gusti membisikkan sesuatu ketelinganya. Mengerti yang diucapkan oleh Mbah Gusti, pria pemilik gubuk ini yang terlihat lebih tua dari Mbah Gusti itu lalu mengangguk.

"Baiklah, apa kau juga ingin ikut?"

"Tentu, jika di perkenankan."

Pria tua itu kemudian berjalan bersama dengan tongkat kayu di tangannya, lagi-lagi, aku yang tak tau apa-apa, hanya mengikut dari belakang saja. Kami terus berjalan di tengah kegelapan, yang hanya di bantu penerangan lampu petromax dari pria tua pemilik gubuk itu.

Tiba-tiba, langkah kedua pria tua itu berhenti. Aku lalu menatap sesuatu yang ada di depan kami, sebuah goa yang cukup besar, namun memiliki mulut atau lebih tepatnya pintu masuk yang sangat kecil.

"Hey, nak. Kemarilah!"

Pria tua itu memanggilku untuk lebih dekat lagi, aku menurut dan melangkah mendekat kearahnya.

"Kau lihat goa ini?

"I-iya."

"Masuklah kedalamnya, setelah nanti kau keluar, kau akan langsung mendapat pekerjaan."

"A-apa? Semudah itukah?"

"Ya, nak. Di dalam sana, tidak akan ada yang menyadari bahwa kau adalah manusia. Tapi, ada satu orang yang aku tidak yakin."

"Siapa, Ki?"

Kali ini, Mbah Gusti yang bertanya.

"Raja, dia adalah jin penguasa disana. Tentu dia memiliki kemampuan lebih dariku, aku hanya bisa membantu yang ku bisa.

Mendengar itu, Mbah Gusti menoleh kearahku.

"Ki, bagaimana dengan jalan keluar dari sana? Semisal, aku ingin kembali, apa adakah jalan?"

"Pergilah menuju jalan di mana kau masuk, jalan ingin kembali, pergi ke jalan pertama kau masuk. Yaitu, goa ini. Kau tandai saja, dan jangan lupa."

Aku terdiam sejenak? Semudah itukah keluar masuk dunia lain?

"Goa ini di khususkan untuk bertemunya jin itu dengan pengikutnya, disini hanya aku yang mengetahui jalannya dan aku lah yang mempertemukan mereka. Sebenarnya, jalan ini ditutup selagi tidak di butuhkan. Akan tetapi, karena akulah pemegang kunci untuk pintu keluar masuknya, kau bisa dengan mudah masuk dan keluar dari dunia itu. Aku tidak bisa membiarkan sembarang orang untuk menggunakan nya, hanya saja, aku dan Gusti sudah berteman lama, maka aku percaya padamu."

Aku terdiam, tiba-tiba terasa sentuhan di pundakku. Ternyata itu Mbah Gusti sambil tersenyum, setelah itu dia pergi begitu saja. Tinggalah aku dengan pria tua itu, dia juga mendekat dan memegang pundakku lembut.

"Ayo, kau bisa memulai nya sekarang. Aku akan disini, sampai kau tak terlihat lagi."

Aku mengangguk, menghela nafas sedikit. Lalu perlahan melangkahkan kaki, ternyata bagian dalam goa sangatlah sempit. Aku harus melata seperti ular, untuk melewati nya. Jangan kan berjalan jongkok, merangkak saja aku tidak bisa.

Saat semua badanku sudah masuk, di depanku terlihat cahaya yang sangat terang. Ternyata goa ini tidak terlalu panjang, aku perlahan merayap, hingga akhirnya aku sampai di ujung pintu keluar. Aku melongokkan kepala, untuk melihat keluar.

Hampir mirip seperti desa, namun ini berbeda. Penduduknya sangat ramai, aku lalu perlahan mengeluarkan seluruh badanku. Membersihkan baju dan celanaku dari debu, lalu kemudian kembali melangkah dengan pelan. Ternyata dunia ini memang berbeda, disaat sebelum masuk ke goa, suasana sudah gelap karena malam. Tapi, saat aku masuk ke dalam goa, suasana terlihat terang benderang.

Oh astaga, ada apa denganku? Aku bahkan tidak membawa apa-apa, pakaian dan bekal aku tidak membawanya. Dan juga, ibu dan bapak belum ku beritahu. Aku tidak tau, berapa lama aku berada disini. Semoga saja, ucapan teman Mbah Gusti itu benar, bahwa kapan saja aku bisa pulang kembali melalui goa ini.

Ku lihat kanan dan kiri ku terdapat warga desa yang berlalu lalang, ada yang sepertinya pulang dari ladang. Tapi, mengapa aku tidak mendengar suara mereka? Maksudku, banyak dari mereka yang berjalan beriringan, tidak mungkin sepanjang perjalanan menuju rumah masing-masing, mereka tidak saling mengobrol satu sama lain.

Dan lagi, hampir semua yang kulihat wajahnya pucat. Benar-benar pucat, aku tau membedakan mana yang berkulit putih dengan pucat. Lebih tepatnya seperti, mayat hidup. Ya ampun, Joko. Sadarlah, aku bahkan lupa sedang ada dimana aku saat ini.

Wajar, jika semua yang kulihat terlihat aneh. Karena mungkin saja, hanya aku yang manusia disini.

"Hey, kau siapa?"

Baru saja aku melangkahkan kaki beberapa langkah, aku kembali terhenti ketika seseorang memanggilku.

"Emm, aku.... Aku orang baru disini, pak. Ingin mencari pekerjaan, jika ada." Ucapku, semoga saja, orang itu tidak tau aku sedang berbohong.

"Begitu, mari ikut saya. Diistana sedang membutuhkan tenaga kerja, ayo!"

Aku senang, benar saja yang diucapkan oleh teman Mbah Gusti. Dia bilang, ketika aku sampai disini, aku akan segera mendapatkan pekerjaan. Akupun mengikutinya dari belakang, cukup jauh ternyata. Di sepanjang jalan, tidak sepi oleh penduduk yang berlalu lalang.

Seperti yang aku bilang tadi, tak ada sedikitpun suara riuh ataupun suara orang yang sedang berbicara. Orang yang ada di depanku ini, juga tidak banyak bicara. Dia banyak diam dan tatapannya hanya tertuju kearah depan saja, oh ya. Orang ini juga pucat, tentu saja.

Hampir setengah jam perjalanan yang lumayan melelahkan, akhirnya kami sampai di depan bangunan yang sangat besar. Benar-benar besar, aku yang melihatnya harus menengadahkan kepala. Bukan cuma besar, tapi juga tinggi. Istana yang sangat mewah, dengan warna kuning keemasan.

Orang yang membawaku tadi, lantas berjalan mendekat kearah penjaga gerbang. Setelah berbicara, orang itu memanggilku dan menyuruhku masuk. Kali ini, bukan orang itu lagi yang mengantarkan ku, tetapi dua orang pengawal, penjaga gerbang di depan. Mereka mengapitku di tengah-tengah, aku sampai tegang karena masing-masing dari mereka membawa tombak yang sangat tajam.

Saat telah memasuki istana, mereka berhenti di tengah-tengah istana yang benar-benar luas. Entah mengapa, mereka tiba-tiba berhenti lalu diam dan berdiri tegak. Aku sempat kebingungan, hingga akhirnya suara langkah kaki memecah keheningan.

Seorang wanita yang kukisar berumur 30an lebih, berjalan mendekat kearah kami dengan anggun. Saat langkah wanita itu terhenti, penjaga kiri dan kananku bergegas menundukkan kepalanya dengan sedikit membungkukkan badan. Melihat itu, aku juga ikut melakukan hal itu.

"Mohon ampun, ibu suri. Salah satu penduduk, membawa tenaga kerja istana."

"Langsung saja bawa dia kebagian belakang istana, biar mereka yang akan memberitahu apa tugasnya."

Setelah berkata seperti itu, wanita itu lalu pergi begitu saja. Penjaga itu kembali berjalan menuju belakang istana, saat sampai, ternyata ada beberapa orang sudah ada di dalamnya. Belakang istana, lebih mirip seperti dapur, tapi bedanya tak ada alat masak atau alat dapur pada umumnya.

"Ada anggota baru, jelaskan padanya apa yang harus dia kerjakan."

Semua yang ada hanya mengangguk tanpa bersuara, aku merasa merinding ketika dua penjaga gerbang itu meninggalkan ku di tengah-tengah makhluk yang tak kutahu makhluk apa.

Saat sedang terdiam memperhatikan, salah satu dari mereka mendekat kearahku.

"Ayo, akan kutunjukkan pekerjaanmu."

Ucapnya dengan datar, lalu berjalan. Dia lalu menjelaskan pekerjaan yang harus aku kerjakan, ternyata pekerjaan ini tidak cukup hanya aku saja. Masih ada beberapa 'orang' yang pekerjaannya sama dengan ku.

Hari pertama bekerja, ternyata tidak terlalu lelah. Aku lebih banyak duduk dan bersantai, dari pada bekerja. Sebab, seluruh istana jika sudah di bersihkan, tidak mudah kotor. Ada beberapa titik tertentu yang jarang di lewati, karena istana yang cukup besar ini.

Seperti contoh, para pengawal hanya di tugaskan menjaga di beberapa titik saja. Di depan pagar, di taman istana, di samping kiri, kanan dan belakang istana. Bagian dalam istana, juga ada beberapa penjaga. Ada beberapa titik yang tidak ada pengawal atau penghuni istana yang berlalu lalang.

Salah satu keanehan di istana ini adalah, semua penghuninya tidak makan ataupun minum. Ya, aku tidak melihat sesuatu yang bisa di makan. Bahkan air putih pun juga tidak ada, oh astaga. Aku benar-benar terjebak di dunia yang menyeramkan.

Pantas saja, di dalam istana ini tidak ada dapur. Maksudku, ruangan yang mirip dapur ada, tetapi tidak memiliki alat masak yang biasanya ada di dunia manusia. Aku juga sampai lupa, mereka tidak makan apapun, hanya aku disini yang memiliki darah di dalam tubuhku.

Saat masih dengan keadaan duduk santai, beberapa pengawal datang. Semua yang sedang beristirahat, berdiri dan menundukkan kepalanya, aku yang ingin mencari aman juga ikut melakukannya.

"Pekerjaan hari ini selesai," ucap pengawal itu.

Semuanya mengangguk dan bubar, berjalan menuju keluar istana. Aku masih sedikit bingung, pun juga ikut-ikutan keluar. Setelah sampai di luar, aku berpikir. Kemana aku harus pulang? Apa aku bisa pulang kerumah sekarang, dan besok bisa kembali lagi?

Penjaga gerbang saja, tidak memperdulikan aku yang berdiri kebingungan. Iseng ku berjalan menuju goa, dimana tempat aku masuk kedunia ini. Jika benar yang di ucapkan oleh teman Mbah Gusti, aku akan pulang pergi lewat jalan itu dan tidak perlu mencari tempat tinggal di sini.

Terus berjalan, hingga sampai lah aku di goa itu. Aku sedikit menundukkan kepala, melihat apakah bagian dalam goa itu masih tetap sama. Di ujung sana, aku melihat sesuatu yang terang. Apakah itu desaku? Aku langsung saja masuk dengan cara yang sama, yaitu merayap seperti cicak.

Meski besar terlihat dari luar, namun ketika berada di dalam, goa ini sangatlah sempit. Juga, tak butuh waktu lama untukku menuju ke pintu keluar di depan ku ini. Aku lalu melongokkan kepala, benar saja. Apa yang kulihat, sama. Yaitu desa sebrang, letak goa ini persis di pinggir sungai.

Namun, seperti ada perbedaan. Aku merasa, desa sebrang masih sangat gelap. Padahal, aku sudah bekerja seharian di dunia itu. Tapi, disini belum ada tanda-tanda akan pagi. Apa aku salah mengingat waktu? Ah, aku rasa tak ada yang salah.

Aku keluar dari goa itu, dan berjalan mencari perahu kecil di pinggir sungai. Setelah menemukannya, aku langsung menaikinya dan mendayungnya. Benar-benar gelap, aku tidak ada penerangan sama sekali. Tapi karena aku sudah terbiasa, aku hafal arah jalan pulang.

Setelah berhasil menyebrang, berjalan menuju rumahku. Saat sudah memasuki desaku, lampu-lampu dari rumah-rumah warga sedikit membantuku. Benar saja, keadaan di desaku masih sama saat aku pergi.

Saat sampai, aku melihat bapak yang sedang duduk di depan rumah sambil menikmati sesuatu.

"Joko, bagaimana? Kata ibumu, kamu sedang mencari informasi tentang pekerjaan?"

Aku duduk disamping bapak, sambil mengatur nafas.

"Iya, pak."

"Lalu bagaimana?"

"Joko dapat, pak. Pekerjaannya tidak berat, tapi gajinya lumayan. Itu yang Joko dengar dari teman."

"Benarkah? Bagus itu, nak. Kapan mulai kerjanya."

"Besok, pak."

Aku harus bohong pada ibu dan bapak untuk sementara ini, aku akan memberitahu mereka jika aku siap. Mulai besok, aku akan membawa bekal. Tak sanggup jika bekerja tetapi tak makan apapun, nasibku.

🌷🌷🌷🌷🌷

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!